Serial Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala dengan judul yang sama, memang menjadi penantian lama bagi saya. Saya cukup antusias dengan serial ini karena dari trailernya saja terlihat digarap dengan serius.
Beberapa bulan sebelum serialnya rilis, saya membaca buku tersebut dengan seksama. Hal itu bertujuan agar saya bisa mengerti perbedaan dari novel maupun serialnya. Setelah serialnya tayang, saya pun segera menamatkannya.
Ada kutipan yang perlu diingat, yaitu “a book never can be a movie and vice versa,” artinya sebuah buku tak bisa menjadi film dan sebaliknya. Menariknya dari serial Gadis Kretek, saya justru mendapatkan perspektif baru yang kurang digambarkan di novelnya.
Perempuan Selalu Menjadi Korban
Serial Gadis Kretek menceritakan tentang Jeng Yah anak pertama dari Idroes dan Roemaisa. Jeng Yah, tidak seperti anak perempuan pada umumnya pada kala itu. Ia nggak suka bermain dan melakukan sesuatu yang kental dengan stigma tugas perempuan pada kala itu, seperti memasak, menata bunga, hingga menjahit.
Jeng Yah juga sangat membenci keramaian, ia lebih suka menghabiskan waktunya sendiri. Berbeda dari sang Adik, Rukayah, yang menyukai hal-hal ramai seperti melihat pertunjukkan, bermain, dan sebagainya.
Jeng Yah memiliki ambisi yaitu ingin membuat rokok dengan saus racikannya sendiri. Coba kamu bayangkan, rokok sangat lekat dengan laki-laki, apa jadinya jika ia membuat rokok? Semuanya menolak, bahkan Idroes mencoba membatasi ambisi putrinya sendiri. Jeng Yah, dilarang membuat saus, bahkan dilarang mendekati ruang saus. Sebab, jika perempuan masuk ke ruang saus katanya akan menjadi malapetaka, rokoknya bakal asam!
Pada bagian pertama itu, penonton diajak untuk menyelami duka menjadi perempuan di tahun orde lama yang pertama. Ya, benar, perempuan dengan segudang bakat, seperti Jeng Yah, nyatanya harus bersembunyi selamanya, karena industri rokok melarang perempuan untuk turut andil.
Saya jadi ikutt gemas. Memang apa salahnya sihh kalau perempuan meracik saus?
Apa-apa yang dialami Jeng Yah, mirip dengan yang terjadi pada perempuan masa kini. Kinerja perempuan yang selalu dibatasi. Terutama kesenjangan di dunia kerja.
Lagi-Lagi, Laki-Laki yang Menang
Kabar baiknya, Jeng Yah bisa membuat racikan sausnya sendiri setelah bertemu dengan Soeraja. Raja (dibaca Raya), membantu Jeng Yah agar bisa masuk ke ruang saus. Singkat cerita keduanya jatuh cinta karena hanya Raja yang melihat Jeng Yah dengan cara yang berbeda.
Berkat bantuan Raja, yang merupakan orang kepercayaan Idroes, Jeng Yah berhasil mencoba berbagai eksperimen untuk sausnya. Sampai pada titik Raja yang mengajukan rokok yang diracik Jeng Yah kepada Idroes.
Idroes menyukai rasa rokok yang diracik oleh Jeng Yah, karena terasa manis dan harum mawar. Akhirnya rokok itu diberinama Kretek Gadis. Semua berjalan lancar, sampai ketika tentara datang untuk menangkap para ‘pemberontak’ atau yang dikenal dengan komunis. Idroes diduga membiaya beberapa kegiatan komunis sehingga ia dipaksa ditangkap dan Jeng Yah pun harus ikut.
Usaha rokok yang didirikannya bertahun-tahun terpaksa lenyap, dan mimpi Jeng Yah harus terkubur, lagi!
Melihat itu, Raja dengan gagahnya ingin menyelamatkan Jeng Yah, nyatanya ia malah disandera Djagad (saingan berat Idroes). Dengan terpaksa Raja harus bekerja sama dengan Idroes, karena diiming-iming dapat menemukan Dasiyah.
Djagad ini maunya banyak, ia menginginkan rokok seperti Kretek Gadis. Alhasil, Raja diam-diam mencuri resep Jeng Yah yang ada di pabrik. Rokok buatan Raja pun sukses besar bertahun-tahun dengan mencuri resep-resep Jeng Yah.
Meskipun membesarkan rokok tersebut sangat dilematis bagi Raja, tapi lagi-lagi, laki-laki selalu menang. Dan jika dia benar-benar mencintai Jeng Yah, bisakah ia melepas semua kesuksesan dan rela untuk kehilangannya?
Ternyata hal ini tidak hanya menimpa Jeng Yah saja. Banyak penemuan besar yang ditemukan oleh perempuan tetapi diklaim oleh laki-laki. Misalnya saja penemuan pembelahan nuklir oleh Lise Meitner, awalnya ini ditemukan oleh dirinya. Namun diklaim oleh rekannya, Otto Hanh karena Lise adalah seorang Yahudi (ketikat Hitler berkuasa di Jerman), dan kedua dia adalah seorang perempuan yang ketidakhadirannya sangat tidak umum di bidang nuklir.
Sama seperti Jeng Yah, ia memiliki catatan karena mantan tahanan selain itu perempuan yang bekerja di industri rokok. Oh, beginikah nasib menjadi seorang perempuan dari dulu sampai sekarang?
Realita Pekerja Perempuan di Industri Rokok
Menyambung dari yang dialami Jeng Yah, nasib perempuan dalam industri rokok nyatanya seperti industri-industri pada umumnya yang kerap dijadikan obyek seperti dalam iklan-iklan rokok.
Boro-boro jadi kayak Jeng Yah, menurut laporan dari A Global Tobacco Industry Watchdog, pekerja perempuan di Industri rokok hampir 50% dari total populasi. Sayangnya mereka berpendapatan rendah. Hal itu dikarenakan mereka hanya bekerja di sektor linting, yang mana artinya pekerja perempuan tidak mendapatkan gaji setinggi pekerja laki-laki.
Berbicara perempuan sebagai obyek, sejak tahun 1960an, industri tembakau telah melakukan pemasaran dengan dana besar kampanye terhadap perempuan melalui iklan yang bernuansa gender stereotip dan secara keliru menghubungkan penggunaan tembakau dengan konsep kecantikan, kelangsingan, kecanggihan, prestise, emansipasi, kebebasan, romansa dan daya tarik seksual.
Sayangnya, konsep-konsep tersebut menempatkan perempuan sebagai subordinat bukan pemeran utama. Industri rokok sering menggambarkan kenikmatan sebatang rokok sama seperti seorang perempuan cantik.
Mereka juga mengibaratkan lelaki sesungguhnya adalah laki-laki yang bisa menaklukan perempuan, dengan merokok. Dari iklan-iklan tersebut juga terkonstruk bahwa perempuan menyukai laki-laki yang merokok. Dan fenomena perempuan sebagai obyek ini masih terus berulang sampai sekarang.
Nyatanya ketidakadilan yang dialami perempuan tidak hanya sampai pada masa Jeng Yah saja. Pada masa kini pun partisipasi perempuan di industri mana pun selalu di bawah laki-laki. Mulai dari gaji yang lebih kecil, kesempatan naik jabatan yang dipersulit, hingga stigma bahwa pekerjaan tersebut terlalu ‘laki-laki’ untuk perempuan. Walah, jancuk tenan!
Apa selamanya kita akan bernasib sama seperti Jeng Yah?