Masyarakat sering kali melupakan bahwa merokok adalah suatu pilihan individu, dan setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, berhak untuk membuat keputusan mengenai gaya hidup mereka.
Apa-apa yang dialami Jeng Yah, mirip dengan yang terjadi pada perempuan masa kini. Kinerja perempuan yang selalu dibatasi. Terutama kesenjangan di dunia kerja.
Di bayangan mayoritas, permainan sepak bola perempuan seperti pertunjukan badut. Orang-orang akan memvisualisasikan sekumpulan ibu-ibu dengan gerakan random menendang bola sambil memekik-mekik di tengah lapangan.
Menurut saya, anggapan dan bayangan seperti itu sama sekali nggak mashook!
Sejarah perempuan adalah sejarah penaklukan tubuh. Perempuan tidak hanya dianggap berbahaya, tetapi juga hiasan—perabotan. Ia seakan lumrah diperebutkan dan kerap dijadikan barang hadiah sayembara—dalam sejarah, film, dan sastra.
Saking mengakarnya budaya patriarki yang merendahkan perempuan, perempuan bisa merepresi, menindas, atau merendahkan dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah lagu Sang Dewi. Loh kok bisa?
“Hah, tidak bisa nyambel? Tidak bisa masak? Masa sih kalah sama aku”. Sebuah pernyataan terbuka yang merujuk pada pada gagalnya masa PDKT. Padahal masih banyak kemampuan lain selain memasak, yaitu, menghabiskan makan dan cuci piring.