Belajar Pada Negara di Afrika dalam Merespon Pandemi Covid-19

Belajar Pada Negara di Afrika dalam Merespon Pandemi Covid-19

Negara di Afrika Merespon Pandemi
ilustrasi: Oky Dwi Prasetyo

Indonesia masih seperti yang lalu-lalu, saran saintis saja belum tentu digubris!

Pas pandemi gini, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Bangun tidur, langsung mandi, gosok gigi, evaluasi. Lah ngindie banget, hehe. Tapi emang gak banyak kegiatan di luar, jadi mending bikin kopi klotok dan nugas di teras. Bosen? Ya tentu. Mau bagaimana lagi, namanya juga kondisi lagi pandemi, daripada keluar rumah nongkrong gak jelas mending stay at home, dong.

Hiburan di kala bosen palingan cuma cek hp dan liatin konten yang lewat mainly dari Instagram dan twitter. Meskipun, sejujurnya beranda saya gak benar-benar menghibur karena isinya juga berita-berita gitu aja. Saya lumayan ngikutin yang terjadi di dunia, dari covid-19 sampai kekonyolan Trump dalam pemilu AS lalu.

Baca Juga: Pengen Jadi Warga Negara Swiss? Netizen Sebaiknya Pikir Ulang

Mengenal Lebih dalam Budaya Negara di Afrika

Yang juga sering muncul di beranda saya, juga konten tiktok yang dibuat oleh gen z yang memuat humor sok gelap. Isinya pornografi kemiskinan or better known as poverty porn yang biasanya didominasi oleh konten Afrika.

Bagi saya, konten seperti ini bermasalah karena poverty porn enggak menunjukan keadaan yang sebenarnya terjadi atau bias di satu sisi saja. Ditambah lagi, pengetahuan orang-orang sekitar saya yang dibanjiri stereotipe buruk tentang benua Afrika.

Misal anggapan bahwa benua terbesar nomor dua di dunia tersebut berisi negara-negara berbalut kasus kemiskinan, kelaparan, dan AIDS. Parahnya, masih saja ada orang yang beranggapan kalau benua Afrika itu isinya hutan-hutan saja, gurung kering, dan binatang-binatang buas. Duh!

Masih dari beranda media sosial, sekali waktu, saya juga ngikutin update di IG TV dr Tirta dan Pandemic Talks-nya @firdzaradiany. Dari konten-konten mereka, saya sadar kalo pandemic response di negara kita sucks.

Kalau dijabarin soal ini mungkin akan lebih banyak ya? Sudah semacam rahasia umum. Bahkan tagar #IndonesiaTerserah tak jarang jadi trending sebagai wujud keresahan warga Indonesia melihat respon pemerintah terhadap pandemi yang, yahh begitulah. Terserah.

Dari dua fenomena yang saya amati di beranda media sosial saya barusan, yaitu stereotyping soal Afrika dan pandemic response di negara kita. Saya jadi tertarik buat research kecil-kecilan perkara dua hal tersebut. Hingga akhirnya saya dapat kesimpulan bahwa Indonesia kalah siap dengan Afrika dalam hal  kedatangan dan penanganan pandemi.

Loh? Kok bisa?

Here is why

Listen, ini yang bikin orang-orang Afrika lebih siap menghadapi covid-19. Sebagian negara-negara di Afrika dulu pernah terdampak virus ebola. Negara-negara tersebut antara lain: Mali, Senegal, Liberia, dan Nigeria. Sehingga saat pandemi Covid-19 datang mereka sudah bersiap lebih awal.

Lucile Imboua, koordinator WHO Senegal, mengatakan bahwa persiapan dimulai pada bulan Januari, berdasarkan pengalaman negara tersebut dalam menangani epidemi Ebola. “Senegal, seperti semua negara lain di sub-Sahara Afrika, terbiasa menangani wabah dan memiliki pengalaman serta kapasitas untuk merespon. Pengalaman yang diperoleh dari wabah Ebola telah berguna dalam memicu kesiapsiagaan dan intervensi respons,” kata Lucile.

Sebenarnya Indonesia juga bukan kali pertama menghadapi wabah penyakit. Sebelumnya pada tahun 2009, negara kita pernah diterpa wabah Flu Babi. Jauh sebelum itu, wabah Pes juga terjadi saat masih di bawa pemeritahan kolonial Belanda.

Akan tetapi, respon awal pemerintah kita saat kabar pandemi Covid-19 menerpa malah membuka pintu wisata dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontra produktif yang sudah jadi headline pemberitaan yang kita baca sehari-hari. Hadeh.

Sedangkan, komunitas masyarakat yang dulu pernah terdampak Ebola, mereka sudah terbiasa dengan protokol kesehatan. Seperti mencuci tangan di tempat yang disediakan dan tracing dari lingkungan setempat.

Perlu diketahui bahwa death rate ebola jauh lebih tinggi yaitu pencapai 90%. Apabila kita berbicara tentang ketersediaan tenaga kesehatan di sana terutama negara di afrika barat, di periode 2014 – 2015 WHO dan mitranya melatih lebih dari 8.000 nakes dari lebih dari 80 negara, termasuk negara-negara yang terkena dampak Ebola.

Para tenaga kesehatan tersebut bisa kembali bertugas di era covid sekarang. Infrastruktur yang sudah ada akibat epidemi ebola waktu itu pula masih bisa digunakan lagi sekarang. Faktor lain, dilihat secara demografis, didominasi penduduk usia muda jadi, sehingga punya kondisi fisik yang cenderung baik. 

Warga Afrika sana sudah tau rasanya dihajar pandemi di awal abad ini. Kalo kita lihat dan bandingkan respon negara-negara yang dulu pernah terdampak ebola dibandingkan Indonesia yang gini gini aja aku rasa kita pantas untuk mengambil pelajaran berharga dari mereka. Terutama buat netizen +62, jangan lagi deh melanggengkan stereotyping buruk terhadap negara-negara di benua Afrika.

Pengalaman pandemi sebelumnya sudah menggembleng masyarakat post-ebola untuk menghadapi era covid. Termasuk pilihan untuk menunda kegiatan politik elektoral, lho!

Sedikitnya sudah ada 9 negara di Afrika yang memilih untuk menunda kalender pemilihan umum. Mulai dari Nigeria, Kenya, hingga negara yang sering disindir oeh netizen Indo sebagai negara miskin seperti Zimbabwe. Ethiopia pun telah menunda pemungutan suara nasional, parlemen dan regional sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Bagaimana dengan Indonesia? Masih seperti lalu-lalu, banyak saran penting bahkan dari saintis yang tidak digubris oleh pemerintah. Termasuk agar menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Nampaknya, pemerintah memang imun dari kritik publik. Peduli apa dengan kesehatan, yang penting kekuasaan.  

Yass, ternyata dalam konteks merespon pandemi ini, negara-negara di Afrika jauh lebih siap dibanding negara kita. Sekarang, adalah tanggung jawab kita untuk menjaga kesehatan masing-masing.

Bagi kamu yang masih minat berpartisipasi dalam Pilkada, jangan lupa jaga imun dan patuhi protokol kesehatan ya! Kalau ragu, mungkin bisa seperti saya, menjadi kaum rebahan dengan stay at home saja.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Raihan Akbar

Raihan Akbar

kerjaannya nugas goleran ngopi dan mencuci piring
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel