Sediksi.com – Konflik Irlandia Utara yang pecah dari tahun 1960-an hingga 1998 disebabkan oleh konfrontasi antara komunitas unionis Protestan yang mendukung keberlanjutan penyatuan Irlandia Utara dengan Britania Raya, dan komunitas nasionalis Katolik yang mendukung penyatuan Irlandia dengan Republik Irlandia.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik ini adalah identitas dan agama, diskriminasi terhadap masyarakat minoritas Katolik, eskalasi kekerasan, dan intervensi Britania Raya.
Kendati Perjanjian Jumat Agung yang disepakati pada tahun 1998 berhasil menjadi perjanjian yang mengakhiri konflik bersenjata ini, potensi eskalasi konflik ini tetap ada sampai sekarang.
Sehingga masing-masing pihak yang terlibat tetap harus waspada dan secara aktif mengupayakan agar perdamaian bisa berlangsung lebih lama.
1. Kampanye memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil (1964-1972)
Gerakan ini mencerminkan upaya kelompok dan individu yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak sipil, kesetaraan, dan penghapusan diskriminasi, terutama terhadap komunitas Katolik yang merasa terpinggirkan.
2. Demonstrasi di Derry (5 Oktober 1968)
Demonstrasi ini diorganisir oleh Komite Hak-Hak Sipil dan menjadi titik awal penting dalam kampanye hak-hak sipil. Kekerasan terhadap para peserta menjadi pendorong utama pergerakan ini.
3. Demonstrasi kelompok Demokrasi Kerakyatan (1-4 Januari 1969)
Kelompok radikal sayap kanan yang dibentuk oleh mahasiswa Universitas Queen Belfast mengadakan demo selama empat hari dari Belfast ke Derry.
Dalam demo tersebut, sejumlah kubu loyalis radikal menyerang mereka di sejumlah titik di sepanjang rute. Yang paling serius terjadi di Jembatan Burntollet, County Derry, dimana 200 loyalis menyergap demo tersebut sehingga 13 demonstran memerlukan perawatan di rumah sakit.
4. Operasi Banner (14 Agustus 1969- 31 Juli 2007)
Pengerahan tentara Inggris di Irlandia Utara menjadi bagian dari Operasi Banner. Operasi ini adalah salah satu operasi militer terpanjang dalam sejarah Angkatan Darat Britania Raya.
Tujuan utamanya adalah untuk menjaga ketertiban dan keamanan, mengendalikan kekerasan sektarian, dan membantu pasukan polisi lokal dalam melaksanakan tugas mereka.
5. Pengasingan (1971-1975)
Kebijakan ini diadopsi oleh pemerintah Britania Raya dengan melibatkan penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan atau internasi terhadap sejumlah individu yang dicurigai terlibat dalam aktivitas paramiliter, terutama dari komunitas nasionalis Katolik.
6. Peristiwa ‘Minggu Berdarah’ (30 Januari 1972)
Pasukan Paras Angkatan Darat Britania Raya menembaki demonstran anti-internasi di Derry, membunuh 14 orang dan melukai puluhan lainnya. Peristiwa ini meningkatkan ketegangan dan menimbulkan kemarahan di kalangan komunitas nasionalis.
7. Pembentukan administrasi Irlandia Utara (30 Maret 1972)
Pembentukan administrasi ini atas perintah secara langsung oleh pemerintah Inggris dan berlangsung dari 1972 hingga 1998 selama berlangsungnya the Troubles atau Konflik Irlandia Utara.
8. Peristiwa ‘Jumat Berdarah’ (21 Juli 1972)
Pada sore hari ‘Bloody Friday’, Tentara Republik Irlandia Sementara (IRA) menanam dan meledakkan 22 bom yang, dalam waktu 75 menit, menewaskan 9 orang dan melukai sekitar 130 lainnya.
Selain bom, banyak pula peringatan hoax tentang alat peledak lainnya yang menambah kericuhan di jalanan sore itu.
Banyak pihak yang meyakini peringatan hoax tersebut sengaja digunakan untuk mengurangi efektivitas aparat keamanan dalam menangani bom yang sebenarnya.
9. Perjanjian Sunningdale (6-9 Desember 1973)
Perjanjian ini bertujuan untuk mengakhiri konflik politik dan sektarian di Irlandia Utara melalui penciptaan pemerintahan koalisi bersama yang melibatkan kedua komunitas utama di wilayah tersebut, yaitu komunitas Katolik (nasionalis) dan komunitas Protestan (unionis).
10. Gencatan senjata IRA (9 Februari 1975- 23 Januari 1976)
Gencatan senjata ini melibatkan keputusan IRA untuk menghentikan serangan bersenjata sebagai langkah untuk mencapai tujuan politik mereka melalui jalur politik dan diplomasi.
Meskipun gencatan senjata diumumkan, terjadi sejumlah serangan sporadis yang dilakukan oleh beberapa elemen paramiliter.
Namun, secara keseluruhan, tingkat kekerasan menurun selama periode gencatan senjata.
Pada 23 Januari 1976, IRA mengumumkan bahwa gencatan senjata tersebut dianggap telah berakhir.
Alasannya termasuk ketidakpuasan terhadap ketidaksetujuan pemerintah Britania Raya untuk memenuhi tuntutan mereka, serta meningkatnya ketegangan dan serangan terhadap kelompok republikan.
11. Aksi mogok makan (1981)
Sekelompok tahanan Republik Irlandia di Penjara Maze di Irlandia Utara memulai aksi mogok makan sebagai protes terhadap status mereka sebagai tahanan “tanpa penentuan waktu” dan kondisi penahanan yang keras.
Salah satu tahanan yang terlibat dalam aksi mogok makan paling terkenal adalah Bobby Sands, seorang anggota IRA yang dipenjara pada 1 Maret 1981.
Sands memulai mogok makan dengan tujuan mencapai status tahanan politik dan hak untuk mengenakan seragam tahanan perang.
Aksi mogok makan di Penjara Maze menciptakan siklus yang berlanjut di mana beberapa tahanan bergantian melakukan mogok makan. Beberapa di antaranya meninggal dunia akibat kelaparan, termasuk Bobby Sands dan sembilan tahanan lainnya.
12. Berdirinya Majelis Irlandia Utara (November 1982- Juni 1986)
Majelis ini dibentuk sebagai tanggapan terhadap kebutuhan untuk membawa kembali otonomi terbatas ke Irlandia Utara setelah penghentian pemerintahan bersama pada tahun 1972 dan upaya untuk memulai proses perdamaian dan rekonsiliasi.
Penutupan Majelis Irlandia Utara menandai tahap tambahan dalam sejarah konflik Irlandia Utara dan menggambarkan kesulitan mencapai konsensus di tengah ketegangan antar-komunitas.
13. Perjanjian Anglo-Irlandia (15 November 1985)
Perjanjian ini juga tidak berhasil menghasilkan perdamaian untuk jangka waktu yang lama.
14. Proses Perdamaian Irlandia (1993-sekarang)
Salah satu tonggak utama dalam proses ini adalah pencapaian Perjanjian Jumat Agung pada tahun 1998, yang merupakan perjanjian politik komprehensif antara berbagai pihak yang bertikai.
Meskipun beberapa tantangan dan krisis politik terjadi, Perjanjian Jumat Agung tetap menjadi dasar bagi proses perdamaian di Irlandia.
Parlemen dan Eksekutif Bersama melanjutkan tugas mereka dengan berbagai tingkat stabilitas.
15. Bom Omagh (15 Agustus 1998)
Selang hanya beberapa bulan sejak Perjanjian Jumat Agung, terjadi peristiwa serangan bom di kota Omagh, Irlandia Utara sekaligus yang paling tragis karena menyebabkan korban jiwa, khususnya warga sipil tidak bersalah.
Ledakan bom mengakibatkan kematian 29 orang dan melukai lebih dari 200 orang. Banyak dari korban adalah warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Serangan ini merupakan salah satu serangan teroris paling mematikan selama The Troubles.