Kabupaten Autopilot Sidoarjo dan Kenangan Memancing

Kabupaten Autopilot Sidoarjo dan Kenangan Memancing

Memahami Kabupaten Autopilot Sidoarjo Lewat Memancing
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Keriangan memancing bukan sekadar menarik joran dan menggulung reel saat ikan menggigit umpan. Keriangan memancing juga terkait dengan perjalanan menyusuri jalan setapak yang terkadang jeblok dan menyaksikan panorama tambak di pelosok Sidoarjo.

Membaca keluhan bermotif mendiskreditkan pria hobi memancing yang berseliweran di linimasa media sosial membuat saya terheran-heran.

Memancing dicitrakan sebagai hobi seorang pengangguran, dianggap kegiatan yang tidak keren, sampai dampaknya yang disamakan dengan kecanduan game online dan merokok. Pria yang melakukan hobi ini bahkan juga distigma sebagai bukan idaman wanita dengan masa depan suram.

Saya khawatir pengaruh media sosial dan cara berpikir ahistoris akan mengantarkan banyak wanita untuk percaya bahwa kegiatan berdosa besar yang perlu dihindari para pria dalam ajaran Moh Limo adalah madat, main (judi), minum, maling, dan mancing (menggantikan posisi madon, hehe).

Padahal, kawan saya yang hobi memancing, Rusdi, termasuk spek idaman wanita karena tampan, cerdas, family-oriented, serta yang terpenting pekerjaannya sebagai pe en es.

Rusdi sering diajak memancing rekan-rekannya ke empang atau kolam pancing berbayar di daerah-daerah penyangga Jakarta. Akan tetapi, ia kerap mengeluhkan pengalamannya memancing di empang yang kurang menantang dan tidak memberikan ketenangan.

Menurutnya, empang di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) terlalu sempit dan berada terlalu dekat dengan perkampungan. Rusdi merindukan suasana sepi memancing di kawasan minapolitan Sidoarjo, bukan nuansa metropolitan Jakarta.

Yang didambakan Rusdi bukanlah kegiatan menunggu umpan disambar bersama perasaan terkekang dengan batasan ruang, waktu, dan jumlah perolehan ikan, melainkan memancing sembari berpetualang dan berkontemplasi.

Saking inginnya bisa menikmati kesenangan memancing, ia mengajak saya ke beberapa danau di daerah-daerah penyangga Jakarta yang hasilnya lebih ke arah tidak sesuai harapan.

Kuatnya hasrat untuk merasakan kembali sensasi memancing seutuhnya dapat ditelusuri dari pengalaman masa lalu Rusdi di Sidoarjo. Mulanya, Rusdi ogah-ogahan ketika diajak memancing di kebun bambu (istilah Jawa barongan) belakang rumah saya.

Namun, semuanya berubah saat Rusdi berhasil mendapat ikan gabus berukuran besar. Bagi kami berdua, pengalaman memancing dengan ayah, paman, sampai tetangga, menjadi kenangan terindah di masa kanak-kanak.

Sebenarnya, keriangan memancing bukan sekadar menarik joran dan menggulung reel saat ikan menggigit umpan. Keriangan memancing juga terkait dengan perjalanan menyusuri jalan setapak yang terkadang jeblok dan menyaksikan panorama tambak di pelosok Sidoarjo.

Memancing mujair dan keting di tambak-tambak saat itu diperbolehkan lantaran kedua ikan tersebut dianggap hama yang serius. Bahkan, saking cepatnya reproduksi dan pertumbuhan mujair, ikan lain yang dibudidayakan di tambak kalah saing dalam mencari makan.

Perkembangan Sektor Perikanan Sidoarjo

Perikanan tambak merupakan katalisator hobi memancing orang Sidoarjo. Perekonomian Sidoarjo sendiri bertumpu pada sektor pertanian dan perikanan tambak sejak masa kolonial Belanda.

Dari pertengahan abad ke-19 sampai tahun 1930, terjadi perluasan kawasan bisnis dan permukiman di Kota Surabaya. Menurut Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota; Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960-an, perluasan area perkotaan yang berlangsung sangat progresif itu telah menggusur sebagian besar lahan pertanian.

Perluasan perkotaan di Surabaya juga menggusur sebagian lahan perikanan tambak ke wilayah Sidoarjo. Surat kabar Indische Courant voor Nederland edisi 7 Juli 1948 melaporkan areal tambak di perbatasan Surabaya diperluas ke arah selatan hingga lebih dari 16 ribu hektare.

Bahkan, pada Februari 1948, perluasan areal tambak ke wilayah Sidoarjo sudah mencapai 19.000 hektar. Perluasan areal tersebut menghasilkan 2 juta kg bandeng dengan nilai 5 juta gulden.

Total areal perikanan tambak mencapai sekitar 40 ribu hektar dengan sebagian wilayah Sidoarjo ini bisa menghasilkan 11,5 juta kg ikan bandeng per tahun.

Pasca kemerdekaan, Sidoarjo menjadi daerah penyangga Surabaya yang menyokong ketersediaan pangan dengan mempertahankan produktivitas sektor pertanian dan perikanan tambak.

Namun, memasuki era Orde Baru, banyak terjadi alih fungsi lahan dari pertanian dan perikanan tambak menjadi industri di Sidoarjo.

Hal ini dituliskan Daud Wasista dan Nawiyanto dalam Perubahan Lingkungan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 1970-2006, di mana Surabaya kembali mempengaruhi perekonomian Sidoarjo dengan industrialisasi yang terjadi seiring dengan perbaikan di bidang transportasi.

Jumlah industri di Sidoarjo meningkat dari 37 pada 1978, menjadi 128 di tahun 1990. Perubahan tersebut turut berdampak pada lingkungan di Sidoarjo yang tercemar berbagai limbah.

Pradita Rahma Hijriani dalam Program Minapolitan pada Perkembangan Perikanan Tambak di Kabupaten Sidoarjo (tahun 2005-2015)mengungkapkan bahwa industri-industri membuang limbah dan mencemari lingkungan sekitar tambak. Imbasnya, produksi bandeng dan udang pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan.

Akan tetapi, pasca diberlakukannya program minapolitan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi bandeng dan udang di Sidoarjo mengalami peningkatan sangat besar pada periode 2011-2015.

Program tersebut menggunakan perikanan tambak pemerintah Kabupaten Sidoarjo di Kecamatan Sidoarjo, Candi, serta Sedati sebagai percontohan budidaya udang dan bandeng.

Sementara ikan nila dan mujair menjadi penunjang perikanan karena mulai dianggap sebagai komoditas yang bernilai ekonomi. Apalagi, ikan mujair asap yang telah menjadi kuliner khas Sidoarjo. Ini kemudian menyebabkan banyak tambak memasang plang dilarang memancing.

Kabupaten Autopilot: Alih Rupa Identitas Sidoarjo

Saya ingat pernah memancing di tambak milik saudara dari seorang teman SMA yang tinggal di Desa Damarsi, Kecamatan Buduran. Namun, pada tahun 2022, saat kembali mengunjungi rumah teman SMA tadi, saya mendapati banyak tambak sudah berubah menjadi perumahan.

Selain menjadi kawasan industri, beberapa tambak, sawah, dan perkebunan tebu di Sidoarjo perlahan-lahan beralih fungsi menjadi perumahan.

Potensi yang dilirik dari Sidoarjo berangsur-angsur berubah, dari komoditas pertanian dan perikanan menjadi tempat penyediaan permukiman. Padahal, alih fungsi lahan tersebut malah mempengaruhi identitas Kabupaten Sidoarjo.

Ikan bandeng dan udang merupakan identitas sentral dari Kabupaten Sidoarjo. Itu terlihat dari inti lambang Kabupaten Sidoarjo, yaitu ikan bandeng dan udang membentuk huruf S dalam latar belakang warna biru.

Keduanya memang menjadi komoditas unggulan perikanan tambak di Sidoarjo. Warna biru dalam lambang menggambarkan Sidoarjo dikelilingi air sungai dan laut yang merepresentasikan kawasan perikanan tambak penghasil ikan bandeng serta udang.

Penyusutan lahan tambak yang beriringan dengan penurunan produksi akan memudarkan identitas Sidoarjo serta berdampak pada perekonomian kawasan tersebut.

Terlebih, hasil perikanan tambak diolah menjadi kuliner atau oleh-oleh khas Sidoarjo. Di antaranya, petis udang, kerupuk udang, terasi udang, bandeng presto, bandeng asap, hingga otak-otak bandeng.

Di sisi lain, lambang Kabupaten Sidoarjo juga mengakomodir setangkai padi dengan delapan belas butir serta sebatang tebu lima ruas yang melingkari ikan bandeng dan udang berbentuk huruf S.

Setangkai padi dan sebatang tebu tersebut mencerminkan identitas penunjang yang disarikan pula dari komoditas Sidoarjo sejak masa kolonial.

Dari sini bisa dilihat bahwa sejarah alih fungsi lahan dari pertanian dan perikanan tambak menjadi industri maupun perumahan menggambarkan perubahan identitas Sidoarjo. Bahkan, Sidoarjo terkesan terus berkembang dalam bayang-bayang Surabaya.

Jarak yang tidak terlalu jauh dari Surabaya menyebabkan Sidoarjo terseret permasalahan Kota Pahlawan. Urbanisasi telah mengikis lahan pertanian dan perikanan tambak di Sidoarjo dengan berbagai perubahan yang ditentukan kekuatan pasar.

Situasi tersebut berandil menebar sentimen pembangunan di Sidoarjo yang seolah-olah tidak terkendali dan berjalan otomatis atau bekerja dengan sendirinya.

Penyematan ‘Kabupaten Autopilot’ terhadap Sidoarjo menunjukkan minimnya campur tangan pemerintah daerah setempat dalam pembangunan lintas sektor, serta perencanaan dan pengelolaan tata ruang.

Nahasnya, penyematan ‘Kabupaten Autopilot’ itu selaras dengan kenyataan bahwa sejak diberlakukan desentralisasi pasca disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, semua bupati Sidoarjo terjerat kasus korupsi.

Jika gelar ‘Kabupaten Autopilot’ tetap dilestarikan, maka ke depannya Rusdi dan saya kemungkinan tidak akan bisa membedakan lagi antara pengalaman memancing di tambak Sidoarjo dan di empang-empang Bodetabek. Yah, karena suasananya terasa sama saja.

Penulis

Manda Firmansyah

Seseorang yang bercita-cita menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel