Dear Mental Health Professional…

Dear Mental Health Professional…

Dear Mental Health Professional…
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Mencari psikolog/psikiater yang cocok memanglah hal yang sangat tricky dan sungguh sulit. Akan tetapi, yang lebih meresahkan bagi saya bukan hanya soal ketidakcocokan, tetapi juga beberapa psikolog/psikiater yang saya temui justru (maaf) malah memperparah keadaan.

Pernahkah Anda berkonsultasi dengan psikolog, tetapi rasanya mereka tidak membantu sama sekali? Bahkan, terkadang malah terasa lebih memperparah kondisi?

Saya sendiri pernah mengalami perasaan seperti itu. Saya sudah bertemu dengan lebih dari sepuluh psikolog maupun psikiater yang berbeda. Mencari psikolog/psikiater yang cocok memanglah hal yang sangat tricky dan sungguh sulit.

Cocok bagi orang lain belum tentu cocok bagi kita. Jadi, kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan rekomendasi dari orang lain.

Akan tetapi, yang lebih meresahkan bagi saya bukan hanya soal ketidakcocokan, tetapi juga beberapa psikolog/psikiater yang saya temui justru (maaf) malah memperparah keadaan, dan ini bisa berisiko bagi siapapun.

Berangkat dari pengalaman-pengalaman tersebut, lewat tulisan ini, saya merasa perlu untuk berbagi cerita dan pemikiran mengenai pengalaman saya berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater.

Harapannya, sharing ini dapat berguna, baik bagi siapapun yang sedang/ingin berkonsultasi maupun bagi profesional dalam dunia psikologi klinis itu sendiri sebagai salah satu bahan refleksi.

Apabila ada ketidaksetujuan terhadap perspektif yang saya bagi, saya membuka diri untuk segala bentuk diskusi dari sudut pandang lain.

Baca Juga: Mental Health Snobs dan Industri Konten Self Improvement

Validasi Harusnya Menjadi Hal Dasar, Tapi…

Sebelum lebih lanjut, saya ingin membedakan terlebih dahulu secara sederhana terkait psikolog dan psikiater. Keduanya sama-sama bertujuan untuk menganalisis dan membantu kita memperbaiki kondisi mental yang kita punya. Perbedaan utamanya, psikiater dapat memberikan obat-obatan medis.

Salah satu pengalaman terburuk saya saat berkonsultasi adalah ketika sang profesional justru membandingkan kondisi yang saya alami dengan beberapa pasien dia yang lain.

Berangkat dari komparasi tersebut, dia mengatakan bahwa seharusnya saya bersyukur dan tidak mengalami emosi yang sedang saya rasakan sebegitunya.

Sikap judgmental seperti itu, bagi saya, sungguh berbahaya. Bagaimana mereka bisa membantu memperbaiki kondisi kita jika kondisi itu saja tidak diamini? Bukankah validasi perasaan merupakan hal dasar yang mereka pelajari?

Saya membayangkan, bagaimana jika ada seseorang yang sedang berada di titik nadirnya atau bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Kemudian, satu-satunya harapan terakhir yang dia punya adalah bertemu dengan psikolog, yang mana belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Namun, saat bertemu, ia justru merasa di-judge dan tidak divalidasi perasaannya, merasa diremehkan. Bisa jadi ia justru akan jatuh ke dalam kondisi yang lebih parah setelah itu, misalnya, merasa semakin tidak layak atau merasa tidak ada lagi harapan.

Persepsi seseorang ini mengenai psikolog juga bisa jadi berubah, dari yang awalnya punya harapan menjadi sesuatu yang mencekam. Sungguh bahaya, bukan?

Frasa “harus bersyukur” sendiri adalah hal yang sering saya dapatkan dari beberapa expert yang saya temui. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa memahami bahwa hal yang valuable bagi orang bisa berbeda-beda dan justru menimbulkan kesan bahwa trigger yang satu lebih diremehkan ketimbang yang lain.

Padahal, bagi saya, mengatakan “harus bersyukur” kepada orang depresi sama halnya menanyakan kepada orang asma mengapa kesulitan bernapas di tengah banyaknya oksigen?

Lebih parahnya lagi, saya sendiri pernah disalahkan karena mengalami kesedihan akan suatu hal. Yang disalahkan di sini adalah penyebabnya, yang menurut profesional yang saya temui adalah hal eksternal dan di luar kendali saya.

Saya diminta untuk tidak lagi bersedih karena hal-hal seperti itu. Padahal, saya sudah ceritakan bahwa hal tersebut menjadi concern saya dan saya punya keinginan untuk suatu saat bisa memiliki pengaruh terhadap hal tersebut.

Sayangnya, saya malah diminta untuk tidak terlalu memikirkannya lagi. Selain merasa bahwa emosi saya tidak valid, saya jadi merasa apakah salah untuk memiliki concern tertentu? Apakah buruk menjadi orang yang bisa berempati sebegitunya? Padahal, saya berharap agar dibantu mengelola empati, bukan dengan menutupnya sepenuhnya.

Tak jarang, kata-kata yang mereka lontarkan bahkan bisa menyakiti perasaan. Contohnya, saya pernah mendapat kalimat seperti ini persis saat sesi sedang berlangsung: “saat kamu nanti keluar dari ruangan ini, saya juga paling sudah lupa sama cerita kamu.”

What?!!!

Berkutat Pada Solusi yang Itu-itu Saja

Saya tahu, tidak mudah menjadi psikolog maupun psikiater untuk membantu seseorang memperbaiki kondisi mental mereka. Apalagi, bisa jadi psikolog atau psikiater ini juga sedang bergelut dengan kondisi mental mereka sendiri. Namun, sebagai profesional, harusnya mereka juga bisa bersikap profesional.

Selain itu, saya juga merasa bahwa psikolog yang saya temui seringkali bersandar pada “solusi” yang itu-itu saja, yang bahkan terasa sangat superficial ataupun outdated.

Misalnya, pada saat saya berkonsultasi mengenai cara berhenti melakukan self-harm, hampir semua psikolog yang saya temui, kompak berkata seperti ini:

Jika yang dicari adalah rasa sakit, kamu bisa subtitusi dengan jepretin karet. Jika yang dicari adalah sensasi melihat darah, kamu bisa subtitusi dengan menggenggam es batu dari sirup, yang saat mencair akan mengalirkan air berwana merah.

Hal yang membuat saya hah heh hoh karena mereka semua mengatakan itu dengan tingkat confidential yang tinggi, seakan hal tersebut adalah solusi jitu nan mujarab, sebuah panaccea (one size fits all).

Padahal, bagi yang pernah melakukan self-harm, solusi seperti itu seakan membuat kita merasa bahwa mereka sama sekali tidak mengerti. Sama sekali tidak.

Selain itu, saya merasakan bahwa psikolog-psikolog yang saya temui, beberapa di antaranya, seakan hanya mengandalkan teori tertentu saja untuk menganalisis dan membantu kita.

Kantor saya, misalnya, pernah membuat program konseling psikolog secara gratis—hal yang perlu diapresiasi. Namun, saat berdiskusi dengan seorang teman, yang masalahnya tentu berbeda, psikolog yang di-hire tersebut selalu mengedepankan soal attachment style.

Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya juga sama, attachment style melulu yang dibahas. Seakan-akan apapun masalahnya, attachment style solusinya.

Hal repetitif seperti itu yang akhirnya membawa saya sering gonta-ganti psikolog. Biasanya, pada pertemuan kesekian, saya sudah merasa jenuh dengan solusi yang itu-itu saja.

Hal yang sama juga dirasakan oleh salah satu teman saya yang berkata bahwa pada pertemuan kesekian feel yang dirasakan sudah berbeda. Pengandalan repetitif pada hal yang itu-itu saja tentunya kurang cocok dengan permasalahan klien yang dinamis.

Hal ini menandakan bahwa beberapa profesional yang saya temui nampaknya belum membawa dimensi ilmu psikologi secara kaffah. Pun, saya tidak tahu, apakah mereka masih rajin untuk meng-update keilmuan dengan membaca penelitian maupun jurnal terbaru.

Bahkan, bagi saya, mengandalkan ilmu psikologi secara kaffah saja belum cukup. Kompetensi multidisipliner dengan keilmuan lain seperti antropologi, misalnya, dapat membantu mereka lebih capable dalam memahami klien secara kontekstual dari latar budaya dan sosial. Hal yang tentunya dibutuhkan untuk bisa berempati terhadap situasi klien.

Hal lain yang menjadi pengalaman janggal bagi saya adalah bagaimana cara salah satu psikiater mendiagnosis mental issues yang saya alami.

Pada pertemuan pertama, saya disodorkan sebuah kertas berisi check box list mengenai beberapa kondisi. Psikiater tersebut kemudian mendiagnosis penyakit saya dari list tersebut, tanpa terlebih dahulu mendalami lebih lanjut gejala yang saya alami.

Bahkan, check list tersebut hanya berjumlah kurang dari 15 box list. Lalu, apa bedanya dengan survei di internet mengenai “test your depression”? Survei ini saja pertanyaannya jauh lebih banyak.

Pengalaman lain yang tidak mengenakkan bagi saya dengan psikiater adalah ketika saya merasa bahwa saya tidak begitu didengar. Saat itu kebetulan masih dalam kondisi Covid-19 sehingga konsultasi harus dilakukan secara online.

Saya waktu itu perlu membayar 450 ribu rupiah untuk satu keli sesi konsultasi. Yang menjadi masalah adalah sesi hanya berlangsung selama 15 menit.

Memang, tidak ada batasan waktu yang diumumkan saat membuat appointment, tetapi saat sesi, saat durasi sudah mencapai kisaran belasan menit, saya merasakan adanya tendensi untuk segera diakhiri, misalnya, dengan kalimat “sementara itu saja cukup”. Bayangkan, saya membayar 450 ribu hanya untuk 15 menit.

Tapi, Jangan Khawatir, Tidak Semuanya Seperti Itu, kok

Akan tetapi, perlu saya tekankan bahwa tidak semua psikolog maupun psikiater yang saya temui seperti yang saya paparkan di atas. Ada pula yang menurut saya bagus dan cocok bagi saya.

Artinya, jika kita merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiater tertentu, bukan berarti kita harus berhenti berharap. Tidak semua psikolog atau psikiater seperti itu. Sehingga, adalah hal yang lumrah untuk tidak langsung bertemu psikolog/psikiater yang cocok.

Sebagai penutup, semoga tulisan ini bisa sampai kepada para profesional. Saya tahu, dalam beberapa hal, ini sifatnya cocok-cocokan. Namun, meratakan kualitas standar tentunya akan sangat membantu.

Sebab, jangankan untuk bergonta-ganti psikolog ataupun psikiater, untuk sekadar mendapatkan akses konsultasi profesional saja tidak semua dari kami memiliki akses finansial yang cukup.

Salah satu psikolog yang baik yang pernah saya temui, pernah mengatakan, “Hal utama yang dipelajari dalam dunia psikologi adalah belajar berempati tanpa bersimpati.

Saya sendiri terkesima dengan kalimat tersebut. Artinya, dalam koridor profesional, mereka perlu untuk berempati agar tidak judgemental dan mampu memvalidasi perasaan maupun pemikiran dari klien.

Di sisi lain, mereka belajar untuk tidak larut dalam simpati supaya tidak terlalu terbawa perasaan sehingga tetap mampu membantu secara profesional.

Penulis

Ravi Choirul Anwar

Kadang nulis, kadang ngapus
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel