Sediksi – Apakah kamu cenderung menyimpan semua uang di satu rekening atau membaginya ke dalam beberapa rekening berdasarkan tujuan penggunaannya? Jika iya, maka kamu sedang menerapkan suatu bentuk perilaku keuangan yang dikenal sebagai mental accounting. Memang apa itu mental accounting?
Mental accounting adalah sebuah bias dalam behavioral finance atau kecenderungan dalam mengelola keuangan yang mengatur alokasi dana untuk tujuan tertentu. Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda terkait keuangan, yang pada gilirannya menciptakan perbedaan dalam kebiasaan berbelanja dan menabung.
Memahami konsep mental accounting dapat membantu untuk mengubah cara berpikir dan mengambil keputusan terkait keuangan, termasuk bagaimana mengatur perilaku finansial kita. Nah, artikel di bawah ini akan mengupas tentang apa itu mental accounting dari awal hingga akhir. Yuk, simak sampai habis!
Apa Itu Mental Accounting?
Mental accounting adalah proses dan metode di mana seseorang mengelola, menghabiskan, dan menginvestasikan uangnya. Menurut Indeed, konsep ini mengacu pada cara individu menyusun dan memperlakukan dana mereka.
Investopedia mendefinisikan mental accounting sebagai suatu kondisi di mana individu menetapkan nilai yang berbeda pada jumlah uang yang sama berdasarkan kriteria subjektif, seringkali dengan hasil yang merugikan.
Teori mental accounting merupakan bagian dari behavioral economics dan pertama kali diperkenalkan oleh Richard Thaler pada tahun 1999 melalui Journal of Behavioral Decision Making. Konsep yang dijelaskan dalam mental accounting melibatkan bagaimana kepercayaan dan pola pikir seseorang terhadap uang dapat mempengaruhi perilaku finansial yang kurang optimal.
Mental accounting mendorong seseorang untuk mengalokasikan sejumlah uang ke dalam kategori pengeluaran tertentu, memisahkannya ke rekening-rekening yang berbeda, dan cenderung menolak untuk memindahkan alokasi dana ke kategori lain.
Pendekatan ini didasarkan pada ketidakpercayaan bahwa uang memiliki nilai yang sama di setiap tempat penyimpanan. Meskipun dapat membantu mengendalikan pengeluaran, namun jika diterapkan secara eksklusif, ada risiko kegagalan dalam optimalisasi pengelolaan dana.
Pentingnya Memahami Mental Accounting
Memahami mental accounting menjadi penting karena beberapa alasan berikut:
Membatasi Pandangan Individu Terhadap Kondisi Keuangan
Mental accounting menjadi penyebab utama ketika individu kesulitan melihat kondisi keuangan secara menyeluruh. Memandang uang secara eksklusif untuk kategori tertentu dapat membuat sulit menghadapi krisis keuangan.
Sebagai contoh, jika seseorang memiliki ‘mental account’ khusus untuk alokasi dana hangout setiap Sabtu malam, keputusan untuk menghabiskan uang dalam kategori tersebut menjadi lebih mudah. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan kehilangan kontrol dan evaluasi apakah pengeluaran tersebut masih sesuai batas wajar.
Membuat Individu Percaya akan Taktik Pemasaran
Terlibat dalam mental accounting membuat seseorang cenderung lebih percaya pada taktik pemasaran. Sebagai contoh, mereka mungkin akan membeli produk mahal karena ‘mental account’ tertentu memiliki dana yang mencukupi, tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan secara keseluruhan.
Mendukung Sunk-Cost Fallacy
Sunk-cost fallacy adalah kecenderungan untuk terus menerus terlibat dalam suatu perilaku. Dalam konteks mental accounting, hal ini dapat terjadi pada keputusan keuangan yang berlanjut tanpa pertimbangan mendalam. Sebagai contoh, dalam ‘mental account’ untuk kegiatan hangout setiap Sabtu, keputusan untuk terus menghabiskan uang tanpa membatasi atau memikirkan dampak jangka panjang dapat mengakibatkan sunk-cost fallacy.
Memahami mental accounting dengan baik membantu individu untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang pada setiap keputusan keuangan, sehingga mereka dapat menghindari sunk-cost fallacy dan membuat keputusan yang lebih tepat.
Contoh Mental Accounting
Contoh kasus mental accounting yang sering terjadi adalah ketakutan untuk berinvestasi, seperti yang dialami oleh Aidan dalam contoh berikut:
Aidan telah bekerja sebagai software engineer di sebuah startup bidang agrikultur selama lima tahun dan berhasil menabung sejumlah Rp100 juta selama periode tersebut. Setiap bulan, ia mendapatkan penghasilan sebesar Rp12 juta, yang ia alokasikan sebagai berikut:
- Rp3,5 juta untuk sewa apartemen dan utilitasnya
- Rp2,5 juta untuk makan
- Rp500 ribu untuk transportasi umum
- Rp1 juta untuk hiburan dan kebutuhan pribadi
- Rp500 ribu untuk asuransi kesehatan
- Rp4 juta untuk ditabung
Meskipun Aidan memiliki keinginan untuk berinvestasi dalam saham, namun ketakutannya muncul karena ia merasa aman ketika uangnya disimpan di rekening tersebut. Selain itu, Aidan terpaku pada pengeluaran yang telah ditetapkan per kategori dan merasa tidak bisa menyimpang dari alokasi tersebut.
Dalam kasus ini, mental accounting telah menyebabkan Aidan menempatkan uangnya dalam rekening khusus karena ia meyakini bahwa itu adalah keputusan yang tidak dapat diubah. Akibatnya, ia melewatkan kesempatan untuk berinvestasi dan memperoleh keuntungan jangka panjang yang mungkin bisa ia dapatkan.
Pernah mengalami apa itu mental accounting seperti di atas? Lalu, apakah kamu punya cara sendiri nggak untuk mengatasi permasalahan keuangan pribadi? Coba share tipsnya di bawah yaa!