Mengenal Uwaki, Budaya Selingkuh di Jepang!

Mengenal Uwaki, Budaya Selingkuh di Jepang!

Selingkuh Jepang

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Topik mengenai selingkuh cukup kompleks dan sensitif. Penting untuk mengetahui peran budaya di balik untuk menghindari penarikan kesimpulan secara umum. Selingkuh memang terjadi di mana saja, tetapi Jepang memiliki pandangan unik mengenai perselingkuhan.

Dalam bahasa Jepang, selingkuh disebut sebagai uwaki. Uwaki adalah adalah melanggar kepercayaan dan komitmen saat seseorang menjalin hubungan. Mayoritas orang Jepang sangat menghargai monogami dan loyalitas dalam menjalan hubungan.

Namun, hal menariknya adalah pasangan yang belum menikah dan sudah menikah memiliki kewajiban secara legal untuk saling setia satu sama lain. Dan jika mereka ketahuan selingkuh, salah satu pihak wajib membayarkan denda ke salah satu pihak.

Perempuan di Jepang menganggap selingkuh menyehatkan

Mengenal Uwaki, Budaya Selingkuh di Jepang! - pexels ron lach 8060018 1
Pexels/ Ron Lach

Menurut statistik tahun 2020, sekitar 20 persen penduduk Jepang melaporkan pernah berselingkuh di masa lalu. Beberapa tahun sebelumnya, Pew Research Center melakukan penelitian yang menempatkan Jepang sebagai negara ketujuh di mana kecurangan dianggap ‘dapat diterima secara moral.’

Salah seorang responden mengatakan bahwa perselingkuhan seringkali terjadi pada pasangan yang sudah menikah, punya anak, dan sering kali orang yang berhenti tidur di ranjang yang sama. Mereka sering menganggap perselingkuhan sebagai sesuatu yang umum.

Faktanya, survei internal yang dilakukan oleh Ashley Maddison menemukan bahwa 84 persen wanita dan 61 persen pria di Jepang melaporkan perselingkuhan mereka bermanfaat bagi pernikahan mereka.

Menurut Mariko, seorang pelatih bisnis dan kehidupan yang berbasis di Tokyo, ia mengatakan teman-teman Jepangnya sering berselingkuh.

“Temanku berkata, ‘saya tidak terlalu keberatan Anda melakukannya, tapi bisakah Anda bersikap sedikit lebih elegan tentang hal itu?’ Intinya lakukanlah dengan cara yang tidak menyakiti orang lain,” ujarnya.

Konsep perselingkuhan di Jepang terjadi lebih dulu

Mengenal Uwaki, Budaya Selingkuh di Jepang! - close up woman taking wedding ring off
Freepik

Mariko mengamati bahwa konsep-konsep seperti etika non-monogami atau poliamori, yang tampaknya merupakan perjanjian relasional yang lebih baru di Barat, telah lama ada di Jepang.

“Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa perjanjiannya, dan apa yang kita langgar? Bagi beberapa pasangan, perselingkuhan mungkin bukan sebuah pengkhianatan, tapi bersikap ceroboh bisa jadi merupakan sebuah pengkhianatan,” kata Mariko.

Sosiolog dan Wakil Direktur Institut Jerman untuk Studi Jepang di Tokyo, Dr. Barbara Holtus, menghabiskan karirnya mempelajari beberapa pertanyaan ini. Menurutnya, sangat penting untuk memahami pendekatan orang Jepang terhadap pernikahan untuk memahami perselingkuhan.

“Jepang melihat pernikahan dari sudut pandang fungsional. Pernikahan sangat terkait dengan melahirkan dan membesarkan anak dan sangat rendahnya angka kelahiran anak di luar nikah merupakan salah satu indikatornya,” jelasnya.

Di Jepang pernikahan dianggap sebagai langkah untuk benar-benar menjadi dewasa dan diterima sepenuhnya di masyarakat Jepang.

“Jika kamu memiliki pandangan fungsional tentang pernikahan, maka ketika pasangan tidak menginginkan anak lagi, ketidakberhubungan seks adalah semacam langkah perkembangan dalam hal ini,” kata Barbara.

Sebanyak 84 persen perempuan dan 61 persen laki-laki melaporkan perselingkuhan dalam pernikahan cukup bermanfaat untuk pernikahannya. Masyarakat Jepang sebagian besar didasarkan pada cinta berbakti dibandingkan cinta romantis, seperti yang ditunjukkan orang-orang pada umumnya.

“Mereka adalah orang-orang yang sangat mandiri, yang menurutku sangat keren, tapi aku belum pernah melihat mereka menunjukkan sedikit pun kasih sayang terhadap satu sama lain – baik secara fisik maupun romantis,” kata Barbara.

Hal ini tidak berarti bahwa perempuan menikah dan mempunyai anak tidak melakukan hubungan seks sama sekali, mungkin hanya saja tidak dengan pasangannya. Dalam penelitaanya, Barbara menemukan bahwa perselingkuhan pada perempuan terus meningkat sejak tahun 1980an.

Ia berargumentasi bahwa hal ini merupakan sebuah pertanda yang menjanjikan, karena hal ini menunjukkan bahwa perempuan merasa lebih berdaya untuk menegaskan diri mereka sebagai anggota masyarakat yang setara.

Tingkat perceraian juga meningkat seiring dengan berkurangnya stigma terhadap hal ini, namun perceraian masih merupakan keputusan finansial yang sangat berisiko bagi perempuan. Ini adalah aspek lain dari perselingkuhan di Jepang – dinamika gender dalam pernikahan dan perselingkuhan.

“Bagi perempuan di Jepang, hal-hal seperti pembayaran tunjangan membuat sangat sulit menjadi ibu yang bercerai,” ujar Barbara. Fakta menyedihkannya sebanya 75 persen ibu tunggal di Jepang masih hidup di bawah garis kemiskinan meski sudah memiliki pekerjaan.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel