Bentrokan antara warga dan aparat gabungan TNI dan Polri terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis, 7 September 2023. Aparat polisi menembakkan gas air mata untuk memasang patok batas lahan Rempang Eco-City, yang merupakan proyek strategis nasional.
Dikutip dari Kompas, penembakan gas air mata oleh aparat di Pulau Rempang dilatarbelakangi oleh penolakan warga untuk direlokasi.
Mereka terdampak dan terancam penggusuran karena Pulau Rempang akan diubah jadi Rempang Eco City. Setidaknya, ada 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang yang terdampak dari proyek besar ini.
Penembakan gas air mata di Pulau Rempang
Penolakan masyarakat adat dilatarbelakangi fakta bahwa hidup mereka telah terikat erat dengan Pulau Rempang. Mereka tak ingin kehilangan ruang hidup yang mereka tinggali secara turun temurun. Di lain sisi, proyek strategis Rempang Eco City dirancang guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah video yang tersebar di media sosial menunjukkan gas air mata membuat kepanikan terjadi di beberapa area. Media-media melaporkan ada beberapa warga yang terdampak oleh penembakan gas air mata.
Tempo melaporkan bahwa berdasar penuturan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, tidak ada korban akibat gas air mata dalam bentrokan ini.
“Tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian adalah dengan menyemprotkan gas air mata, tertiup angin. Sehingga, terjadi gangguan penglihatan untuk sementara,” kata Ramadhan pada Jumat (08/09/2023) di Gedung Bareskrim Polri.
Setidaknya ada 2 sekolah yang terdampak gas air mata, yakni SD 24 Galang dan SMP 33 Galang.
Di lain pihak, Amnesty International Indonesia mengecam keras tindakan aparat yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam merespon protes masyarakat.
Penembakan gas air mata terjadi sebagai cara aparat merespon perlawanan warga yang melempari aparat dengan batu.
Amnesty International Indonesia dalam situs resminya menulis, “Sulit untuk membenarkan bahwa gas air mata memasuki area sekolah karena tertiup angin. Tindakan eksesif ini jelas merendahkan harkat dan martabat manusia yang diakui hukum internasional dan hukum nasional.”
Mengutip dari Tempo, ada 8 warga yang ditangkap dalam peristiwa ini. Kegiatan belajar mengajar di sekolah juga dihentikan demi menghindari jatuhnya korban akibat gas air mata.
Kasus penembakan gas air mata di Indonesia
Penembakan gas air mata oleh aparatur negara bukan barang baru di Indonesia. Ingatan tentang tragedi Kanjuruhan hampir setahun lalu kembali menyeruak.
Tragedi Kanjuruhan sendiri terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang. Perkembangan kasus juga menyatakan gas air mata di Kanjuruhan juga dipengaruhi oleh angin.
Tak terpaut jauh dari penembakan gas air mata di Pulau Rempang, beberapa waktu lalu gas air mata juga jadi senjata menghadapi ricuh di Dago, Bandung pada 14 Agustus 2023.
Goodstats.id mencatat sejak 2015 hingga 2022 ada 115 kasus penembakan gas air mata. Data yang sama juga ada dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Setidaknya, tahun 2019 merupakan tahun ketika gas air mata paling sering ditembakkan oleh aparat negara. ICW menilai penembakan gas air mata kerap terjadi saat aparat merespon protes masyarakat. Pada 2019 sendiri, sejumlah kebijakan dikebut oleh pemerintah dan ini jadi salah satu pemicu protes masyarakat.
“Tahun 2019 itu banyak sekali kebijakan-kebijakan yang coba dikebut oleh pemerintah, salah satunya revisi Undang-Undang KPK,” terang Wana Alamsyah pada 9 Juli 2023 dalam konferensi pers daring di akun YouTube ICW.
Wana juga menuturkan bahwa aparat kerap reaktif saat menangani aksi massa. Mereka cenderung menggunakan gas air mata sebagai cara membubarkan masa.
- 2015 – 8 kasus
- 2016 – 16 kasus
- 2017 – 12 kasus
- 2018 – 15 kasus
- 2019 – 29 kasus
- 2020 – 24 kasus
- 2021 – 17 kasus
- 2022 – 23 kasus
Pada 2023 setidaknya ada 2 kasus penembakan gas air mata yang jadi perhatian khalayak, yakni di Pulau Rempang dan Dago Elos.
Aturan penggunaan gas air mata sebagai cara menangani massa
Penggunaan gas air mata oleh kepolisian tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Peraturan ini menyorot tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh aparat kepolisian saat menangani masyarakat. Tujuannya ialah mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.
Pada pasal 5 ayat 1 peraturan tersebut ada 6 tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang terdiri dari:
- Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan;
- Tahap 2: perintah lisan;
- Tahap 3: kendali tangan kosong lunak;
- Tahap 4: kendali tangan kosong keras;
- Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;
- Tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Pasal 5 ayat 2 menyebut “Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.”
Pasal 3 sendiri menyorot bahwa penggunaan kekuatan mesti mempertimbangkan 6 prinsip, yakni: legalitas; nesesitas; proporsionalitas; kewajiban umum; preventif; dan masuk akal.