Ki Hajar Dewantara dan Perjuangannya Menentang Ordonansi Hindia Belanda

Ki Hajar Dewantara dan Perjuangannya Menentang Ordonansi Hindia Belanda

Foto Ki Hajar Dewantara/Repro Notepam.com

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Ki Hajar Dewantara lahir di keluarga keraton Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia merupakan sosok dari golongan ningrat.

Ki Hajar Dewantara di kemudian hari didaulat sebagai Bapak Pendidikan Nasional, dan telah menyumbang peran untuk kemerdekaan serta perjuangannya untuk pendidikan Indonesia. Berkat ini, tanggal lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959.

Penasaran dengan kisah sosok Ki Hajar Dewantara seperti apa, sampai dijuluki sebagai Bapak pendidikan Nasional, dan perjalanan apa saja yang telah ia lakukan untuk menentang ordonansi pemerintahan Hindia-Belanda? Simak terus artikel ini hingga akhir!

Pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat

Besar di lingkungan ningrat, Soewardi memperoleh kesempatan besar untuk bersekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa (Belanda) yakni Europeesche Lagere School. Latar belakang darah biru berasal dari ayahnya yakni GPH Soerjaningrat yang juga anak dari seorang Paku Alam III.

Setelah lulus dari sekolah khusus anak Eropa tersebut, ia melanjutkan pendidikan kedokteran di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), sayangnya ia tidak bisa menamatkan pendidikan tersebut karena alasan kesehatan yang buruk.

Perjalanan Karir

Tak berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, tak membuat Ki Hajar Dewantara vakum. Justru ia malah menjajaki dunia kepenulisan dan menjadi wartawan muda.

Beberapa surat kabar yang pernah ia jajal adalah Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaum Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Ki Hajar tergolong sebagai penulis yang handal. Dengan tulisan yang komunikatif dan tajam yang di dalamnya tertanam semangat antikolonial.

Selain gigih sebagai wartawan muda, Ki Hajar juga tergabung dalam organisasi sosial dan politik. Aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908, untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (masih bernama Hindia Belanda) yang pada waktu itu belum merdeka, tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara

Dikenal sangat patriotik karena mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya, tulisan-tulisannya yang terkenal yang berjudul “Satu Untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga” (Judul asli: Een Voor Allen Maar Ook Allen voor Een).

Serta “Seandainya Aku Seorang Belanda” (Judul asli: Als ik eens Nederlander was) yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker pada tahun 1913.

Alasannya menulis artikel tersebut adalah karena sebagai bentuk protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuma tanpa proses pengadilan, berupa pengasingan terhadap Ki Hajar Dewantara yang dibuang ke Pulau Bangka

Bait yang menyulut kemarahan pemerintahan kolonial saat itu adalah berbunyi sebagai berikut:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.

Selaras dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, namun juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Gagasan untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda.

Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama adalah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun”.

Tak terima kawannya diperlakukan tidak adil, Cipto dan Dowes Dekker pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hajar.

Tak terima dengan tulisan mereka, karena menganggap tulisan tersebut menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak kepada pemerintah, akbibatnya mereka berdua juga dijatuhi hukuman yang sama. Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda dan Douwes Dekker dibuang di Kupang.

Namun mereka lebih menghendaki dibuang ke negeri Belanda karena di sana bisa mempelajari banyak hal. Mereka bertiga diizinkan ke Belanda sejak Agustus 1913 dan kembali ke Indonesia pada tahun 1918.

Dari pengasingan tersebut Ki Hajar Dewantara mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh sertifikat Europeesche Akte.

Bersama mereka bertiga juga sebelum diasingkan, mendirikan Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912, yang kita kenal sekarang sebagai partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia.

Pendirian partai tersebut adalah bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Usaha yang telah dilakukan mereka bertiga adalah mendaftarkannya pada pemerintah kolonial Belanda demi memperoleh status badan hukum.

Akan tetapi Gubernur Jenderal Idenburg mencoba menghalangi kehadiran dari partai ini dengan menolak pendaftaran pada 11 Maret 1913.

Mendirikan Taman Siswa

Ki Hajar Dewantara dan Perjuangannya Menentang Ordonansi Hindia Belanda - Ki Hadjar Dewantara with students page 65
Ki Hajar Dewantara bersama murid-murid Taman Siswa (1922)/ Image from Wikipedia

Sekembalinya ia ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Dikutip dari Historia, Ki Hajar mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.

Tujuan dari mendirikan sekolah tersebut adalah karena ia gelisah akan pendidikan di Hindia Belanda yang diskriminatif. Dia mempunyai misi memperluas akses pendidikan bagi semua kalangan, karena pendidikan saat itu sangat elitis, hanya anak-anak priyayi yang boleh bersekolah.

Sekolah Taman Siswa yang didirikannya dan semua sekolah partikelir (swasta) yang tidak diakui oleh pemerintah sebagai lembaga resmi, dianggap sebagai sekolah liar.

Pendidikan yang menekankan mengenai pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik Taman Siswa, agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dianggap mempunyai kecenderungan politik oleh pemerintah

Kekhawatiran pemerintah akan perkembangan sekolah-sekolah pribumi tanpa izin tersebut, akhirnya mereka membuat beberapa peraturan atau ordonansi yang berusaha menekan laju pekermbangannya.

Setahun setelah pendirian Taman Siswa, tepatnya pada 1923, pemerintah resmi mengeluarkan ordonansi pengawasan sekolah partikelir.

Ordonansi adalah peraturan pemerintah yang dalam konteks ini mengatur seseorang atau lembaga yang bermaksud menyelenggarakan pendidikan harus seizin oleh pemerintah, dan pemerintah berhak mencabut izin apabila terbukti melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.

Oleh karena itu Ki Hajar mengirimkan telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge, yang bermaksud meminta membatalkan ordonansi tersebut, yang berbunyi:

Excellentie! Ordonantie yang disajikan amat tergesa-gesa dan dijalankan dengan cara paksaan…. Bolehlah saya memperingatkan, bahwa walaupun makhluk yang tak berdaya mempunyai rasa asali berwajib menangkis bahaya untuk menjaga diri dan demikianlah juga boleh jadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya…”

Walaupun ordonansi tersebut tetap diberlakukan, Taman Siswa tetap dengan sikapnya untuk membangkang, dan malah terus berkembang pesat bahkan ke luar Jawa Tengah.

Masa Tua Ki Hajar Dewantara

Pada usianya yang genap 40 tahun, ia mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama dari yang aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara yang lebih kita kenal saat ini.

Pencabutan gelar bangsawan dan mengganti namanya tersebut dimaksudkan agar ia dapat lebih bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati.

Keseriusannya dalam dunia pendidikan terutama di Taman SIswa, Ki Hajar masih tetap rajin menulis, akan tetapi tema tulisan yang ia angkat dari yang sebelumnya bernuansa politik dengan segala bentuk penentangannya terhadap pemerintahan kolonial Belanda, beralih ke tema pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.

Dengan jumlah tulisannya yang banyak, hingga ratusan, melalui tulisan-tulisan itulah ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi bangsa Indonesia kedepannya.

Dikutip dari Orami, pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera, bersama dengan nama-nama besar lainnya, yakni Drs. Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansur dan Ir. Soekarno.

Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama bagi Republik ini.

Tak heran jika dari perjuangan, peran serta kontribusinya tersebut untuk pendidikan rakyat Indonesia, ia dijadikan sebagai pahlawan nasional dan dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional, serta hari lahirnya dijadikan sebagai Hari Pendiddikan Nasional.

Dia menutup usia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan juga dimakamkan di sana pula. Kemudian untuk mengingat jasanya, pihak penerus Taman SIswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel