Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang: Kekayaan Habis Gak Sampek 7 Turunan

Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang: Kekayaan Habis Gak Sampek 7 Turunan

Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Nauru sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik, dengan luas wilayah hanya 21 kilometer persegi dan populasi sekitar 10.000 orang.

Mungkin terlihat seperti setitik kecil di peta, tetapi Nauru memiliki sejarah yang menarik dan tragis dari dampak kolonialisme, kapitalisme, dan perubahan iklim pada masyarakat yang rentan.

Inilah rekap kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang yang sangat kontras, dulu pernah jadi negara dengan pendapatan per kapita paling tinggi di dunia, kini berbalik 180 derajat.

Jika penasaran bagaimana ulasan kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang ini maka simak ulasannya sampai selesai.

Sejarah dan Budaya Awal Nauru

Nauru dihuni oleh orang Mikronesia sekitar 3.000 tahun yang lalu, dan ada bukti kemungkinan pengaruh Polinesia.

Penduduk Nauru hidup dari kelapa dan buah pandan, dan terlibat dalam akuakultur dengan menangkap ikan ibija muda, menyesuaikannya dengan kondisi air tawar, dan membesarkannya di Buada Lagoon, menyediakan sumber makanan tambahan yang dapat diandalkan.

Secara tradisional, hanya pria yang diizinkan menangkap ikan di terumbu karang, dan melakukannya dengan kano atau menggunakan elang yang terlatih.

Secara tradisional ada 12 klan atau suku di Nauru, yang diwakili dalam bintang berujung 12 di bendera negara. Orang Nauru menelusuri keturunan mereka dari pihak perempuan.

Orang Eropa pertama yang menemukan pulau ini adalah kapal penangkap ikan paus Inggris, Snow Hunter, pada tahun 1798 yang lewat dalam perjalanan ke laut Cina.

Mengutip dari laporan The Mit Press Reader, dengan judul A Dark History of the World’s Smallest Island Nation, Ketika kapal tersebut mendekat, ratusan orang Nauru berkano untuk menyambut para pelaut.

Kapten kapal Snow Hunter, John Fearn tidak mengizinkan anak buahnya turun, juga tidak ada orang Nauru yang berani naik ke kapal pula.

Akan tetapi sambutan hangat itu memikat Kapten Fearn, seperti halnya angin hangat dari dataran tinggi tengah pulau hijau itu, dan pantai pasir putihnya membuat pulau ini dinamai Pleasant, nama ini digunakan hingga Jerman mencaplok pulau ini 90 tahun kemudian.

Sejak sekitar tahun 1830, penduduk Nauru melakukan kontak dengan orang Eropa dari kapal penangkap ikan paus dan pedagang yang mengisi persediaan mereka (seperti air tawar) di Nauru.

Penduduk pulau ini menukarkan makanan dengan minuman beralkohol dan senjata api. Orang Eropa pertama yang tinggal di pulau ini, mungkin mulai tahun 1830, adalah Patrick Burke dan John Jones, narapidana asal Irlandia yang melarikan diri dari Pulau Norfolk, menurut Paradise for Sale.

Jones menjadi “diktator pertama dan terakhir di Nauru,” yang membunuh atau mengusir beberapa penjelajah pantai lain yang datang kemudian, sampai penduduk Nauru mengusir Jones dari pulau ini pada tahun 1841.

Masuknya senjata api dan alkohol menghancurkan koeksistensi damai 12 suku yang tinggal di pulau itu. Perang internal selama 10 tahun dimulai pada tahun 1878 dan mengakibatkan penurunan populasi dari 1.400 (1843) menjadi sekitar 900 (1888). Pada akhirnya, alkohol dilarang dan beberapa senjata disita.

Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang

Eksploitasi Kolonial dan Kemerdekaan Nauru

Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang: Kekayaan Habis Gak Sampek 7 Turunan - Nauru Penambangan Fosfat
Image from Weirdworldwire

Kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang dimulai pada tahun 1886, Jerman mendapatkan pulau ini di bawah Deklarasi Inggris-Jerman.

Pulau ini dianeksasi oleh Jerman pada tahun 1888 dan dimasukkan ke dalam Protektorat Nugini Jerman. Nauru diduduki pada tanggal 16 April 1888 oleh pasukan Jerman, yang mengakhiri perang saudara.

Pada tahun 1900, seorang insinyur pertambangan Inggris menemukan bahwa Nauru memiliki cadangan fosfat yang kaya, sebuah pupuk yang berharga.

Penemuan ini mengubah nasib pulau dan penduduknya, kiranya ini adalah titik paling penting dari rekab kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang dalam ulasan ini.

Pemerintah Jerman mulai mengeksploitasi fosfat tersebut, dan pada tahun 1906, sebuah perusahaan patungan antara Jerman, Inggris, dan Australia dibentuk untuk mengelola operasi penambangan.

Suku Nauru hanya menerima sedikit atau bahkan tidak menerima kompensasi atas tanah dan sumber daya mereka, dan menjadi sasaran kondisi kerja yang keras dan diskriminasi rasial.

Penambangan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, karena lapisan tanah atas terkikis dan terumbu karang tercemar.

Selama Perang Dunia I, Nauru direbut oleh pasukan Australia pada tahun 1914. Setelah perang, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Australia, Inggris, dan Selandia Baru untuk mengelola Nauru, menciptakan dewan yang disebut sebagai British Phosphate Commision (BPC) tahun 1919.

Penambangan fosfat berlanjut di bawah pengaturan yang sama, dengan keuntungan yang diberikan kepada kekuatan kolonial. Penduduk Nauru mulai menuntut lebih banyak hak dan otonomi, dan membentuk Dewan Pulau Nauru pada tahun 1927. Namun, upaya mereka mendapat perlawanan dan penindasan.

Selama Perang Dunia II, Nauru diduduki oleh Jepang dari tahun 1942 hingga 1945. Jepang melakukan kekejaman terhadap orang Nauru, seperti kerja paksa, eksekusi, dan deportasi.

Sekitar 1.200 orang Nauru dikirim ke kepulauan Chuuk, di mana hanya 737 orang yang selamat. Jepang juga mengintensifkan penambangan fosfat, menggunakan tawanan perang sebagai pekerja. Pulau ini dibom habis-habisan oleh Sekutu, dan banyak bangunan serta infrastruktur yang hancur.

Setelah perang, Nauru menjadi wilayah perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah Australia, Inggris, dan Selandia Baru. Penambangan fosfat dilanjutkan, dan penduduk Nauru menerima bagian yang lebih besar dari royalti.

Namun, mereka masih menghadapi diskriminasi dan marjinalisasi, dan degradasi lingkungan semakin parah. Orang Nauru terus memperjuangkan kemerdekaan mereka, dan pada tahun 1966, mereka membentuk Dewan Pemerintah Lokal Nauru, yang memiliki kekuasaan lebih besar daripada dewan sebelumnya.

Pada tahun 1967, mereka mengadakan referendum, di mana 71% memilih kemerdekaan. Pada tanggal 31 Januari 1968, Nauru menjadi republik independen terkecil di dunia.

Ledakan dan Kemerosotan Ekonomi Nauru

Kondisi Negara Nauru Dulu dan Sekarang: Kekayaan Habis Gak Sampek 7 Turunan - Bendera Nauru
Image from lloydslist

Setelah merdeka, Nauru mengambil alih industri pertambangan fosfat dan menjadi salah satu negara terkaya di dunia per kapita.

Penduduk Nauru menikmati standar hidup yang tinggi, dengan perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan gratis. Mereka juga berinvestasi di aset-aset luar negeri, seperti hotel, maskapai penerbangan, dan bank.

Namun, kekayaan tersebut tidak terdistribusi secara merata, dan korupsi serta salah urus merajalela. Cadangan fosfat juga menipis dengan cepat, dan kerusakan lingkungan tidak dapat dipulihkan. Pada akhir 1970-an, Nauru menghadapi krisis ekonomi dan ekologi yang serius.

Pada tahun 1989, Nauru menggugat Australia atas perannya dalam penambangan fosfat dan perusakan lingkungan.

Kasus ini diselesaikan pada tahun 1993, dengan Australia setuju untuk membayar A$107 juta dan memberikan A$2,5 juta per tahun selama 20 tahun untuk rehabilitasi.

Namun, uang tersebut tidak cukup untuk memulihkan pulau tersebut, yang telah kehilangan 80% dari luas daratan dan sebagian besar keanekaragaman hayatinya. Penambangan juga mempengaruhi pasokan air, karena lensa air tawar terkontaminasi oleh intrusi air laut. Pulau ini menjadi tergantung pada makanan, air, dan bahan bakar impor.

Nauru mencoba mendiversifikasi ekonominya, tetapi tidak banyak berhasil. Nauru menjadi surga pajak dan pusat pencucian uang, sehingga menarik perhatian masyarakat internasional.

Negara ini juga menjual paspor dan pengakuan diplomatik, dan menjadi tuan rumah bagi bank Rusia yang mengeluarkan “Liberty Dollar” yang meragukan.

Pada tahun 2000, Nauru dimasukkan ke dalam daftar hitam oleh Satuan Tugas Aksi Keuangan, dan menghadapi sanksi dan isolasi. Nauru setuju untuk bekerja sama dengan peraturan internasional, dan menutup sektor perbankan luar negerinya.

Pada tahun 2001, Nauru menandatangani perjanjian dengan Australia, yang dikenal sebagai Solusi Pasifik, untuk menampung para pencari suaka yang dicegat oleh Australia dengan imbalan bantuan keuangan.

Para pencari suaka ditahan di kamp-kamp di pulau itu, di mana mereka menghadapi kondisi yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia. Perjanjian ini dikritik oleh PBB, kelompok-kelompok hak asasi manusia, dan oposisi Nauru.

Perjanjian tersebut ditangguhkan pada tahun 2008, namun dilanjutkan pada tahun 2012, dengan nama yang berbeda, yaitu Pengaturan Pemukiman Kembali Regional.

Perjanjian ini kembali dikecam oleh komunitas internasional, dan memicu protes dan insiden melukai diri sendiri di antara para pencari suaka. Perjanjian tersebut diakhiri pada tahun 2019, dan pencari suaka terakhir dipindahkan ke Australia atau negara lain.

Situasi Nauru Saat Ini dan Tantangan di Masa Depan

Saat ini, Nauru adalah salah satu negara termiskin dan paling banyak berhutang di dunia, dengan PDB per kapita sekitar 8.000 dolar AS dan utang publik lebih dari 100% PDB.

Negara ini sangat bergantung pada bantuan asing, terutama dari Australia, Taiwan, dan Selandia Baru. Negara ini memiliki sumber pendapatan yang terbatas, seperti lisensi penangkapan ikan, nama domain internet, dan ekspor fosfat.

Memiliki tingkat pengangguran, kemiskinan, dan obesitas yang tinggi. Negara ini juga menghadapi masalah sosial, seperti kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Itulah rekap dari kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang, dari berbagai masalah yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan dampak dari kolonialisasi yang berkepanjangan, pulau kecil ini menanggung akibatnya yang hampir tidak mungkin dipulihkan.

Sekian artikel kondisi Negara Nauru dulu dan sekarang, semoga menambah wawasanmu tentang sejarah dari bagian dunia lain yang belum terekspos terlalu dalam, terimakasih telah membaca.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel