Sediksi – Indonesia saat ini telah meratifikasi 8 konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan 2 protokol opsional tentang hak asasi anak-anak.
Secara garis besar, tujuan Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang HAM adalah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 sebagai negara berdaulat yang menghormati kebebasan, kemerdekaan, serta ketertiban dunia.
Sebagai bentuk komitmen negara melindungi kebebasan dan hak-hak warga negaranya, pemerintah menandatangani serta mengadopsi nilai-nilai dari konvensi tersebut ke dalam undang-undang (UU) dan produk hukum turunan dibawahnya.
Menurut The Office of the High Commissioner for Human Rights (OCHR), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak dalam promosi nilai-nilai HAM, kedelapan konvensi yang diratifikasi tersebut merupakan nilai-nilai universal yang juga bagian dari International Bill of Rights.
UDHR dan 2 konvensi inti
OCHR menyebutkan International Bill of Rights utamanya terdiri dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan perjanjian HAM inti yaitu International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Indonesia menunjukkan kesungguhannya menerima International Bill of Rights dengan mengadopsi nilai-nilai dari Deklarasi Universal HAM lewat pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pemerintah juga mengubah UUD 1945 dengan amandemen kedua untuk menambahkan poin-poin tentang HAM di pasal 28A-28J pada tahun 2000.
Langkah itu dilanjutkan dengan meratifikasi ICESCR lewat UU No. 11 Tahun 2005 mengenai Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Bersamaan dengan ratifikasi ICESCR, Indonesia juga meratifikasi ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005 yang berisi Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
ICESCR dan ICCPR diratifikasi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nilai-nilai dari kedua konvensi internasional tersebut sebagian telah diakomodasi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dengan menandatangani konvensi-konvensi tersebut, Indonesia setuju keberlangsungan penegakan HAM di dalam negeri secara berkala dipantau oleh badan internasional.
Untuk mengevaluasi penerapan ICCPR di negara-negara peratifikasi, PBB membentuk Human Rights Committee.
Sedangkan untuk memonitor negara-negara yang meratifikasi ICESCR dilakukan oleh Committee on Economic, Social, and Cultural Rights.
Konvensi HAM lain yang ditandatangani Indonesia
Konvensi sebagai perjanjian internasional mengikat negara-negara setelah melalui tahapan menerima, menandatangani, dan meratifikasi.
Evaluasi dan pemantauan penerapan masing-masing konvensi dilakukan oleh PBB melalui badan dan komite independen.
Indonesia saat ini telah meratifikasi 8 konvensi tentang HAM Internasional.
Dua diantaranya telah disebutkan sebelumnya, yaitu ICCPR dan ICESCR.
Sedangkan 6 konvensi lainnya antara lain,
Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) disampaikan oleh PBB pada tahun 1965.
Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No. 29 Tahun 1999 yang disahkan saat kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Indonesia lalu mempunyai UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
UU ini mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk menghormati hak setiap orang terlepas dari latar belakang ras dan etnisnya.
UU No. 40 Tahun 2008 merinci bentuk-bentuk diskriminasi ras dan etins yang dapat dikenai pidana.
UU ini masih berlaku, kecuali bagian ketentuan pidana pada pasal 15 dan 17 yang dicabut karena disahkannya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pada UU No. 1 Tahun 2023, tindak pidana atas dasar diskriminasi ras dan etnis diatur di paragraf 4, pasal 244 dan 245 dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun serta denda maksimal sebesar Rp 50 juta.
Konvensi Internasional Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang hak-hak dan pelindungan pekerja migran melalui UU No. 6 Tahun 2012.
Ratifikasi International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families diikuti dengan dibuatnya UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2017, pemerintah wajib menjamin keselamatan warganya yang menjadi pekerja migran ke luar negeri dari sejak penempatan, keberangkatan, hingga kembali pulang ke tanah air.
Saat ini ketentuan pada UU No. 18 Tahun 2017 diubah sebagian setelah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan.
UU Cipta Kerja, mengubah pasal-pasal di UU PPMI diantaranya terkait kewenangan pemerintah pusat, syarat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran, dan menghapus ketentuan jangka waktu Surat Izin Perusahaan Penempatan PMI (SIP3MI).
Baca Juga: Tragedi Tanjung Priok 1984: Kronologi dan Keterlibatan Militer dalam Pelanggaran HAM Berat
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Indonesia meratifikasi Convention on Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak penyandang Disabilitas.
Setelah ratifikasi, pemerintah membentuk UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berlaku sejak tanggal 15 April 2016.
Ditetapkannya UU No. 8 Tahun 2016 mencabut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Selain mengubah penamaan UU dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas yang lebih inklusif, pemerintah berupaya menyesuaikan kebutuhan warga dengan keterbatasan fisik maupun mental melalui UU Penyandang Disabilitas.
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment
Konvensi yang disebut juga sebagai United Nation Convention against Torture (UNCAT) ini disampaikan kepada negara-negara anggota PBB pada tahun 1985.
Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998.
Adopsi nilai-nilai UNCAT dilakukan melalui perumusan KUHP.
Namun, sejak menandatangani UNCAT, kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan kejam masih terjadi di Indonesia.
Mengutip Amnesty International, berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di tahun 2021-2022, kasus kekerasan dan penyiksaan di Indonesia justru dilakukan oleh aparat penegak hukum dan sebagian besar korbannya adalah masyarakat sipil.
Konvensi tentang Hak-Hak Anak
Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990.
Berdasarkan International Convention on The Rights of The Child (ICRC), Indonesia merancang UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah melalui UU No. 35 Tahun 2014.
Selain meratifikasi konvensi, Indonesia juga menandatangani Optional Portocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict lewat UU No. 9 Tahun 2012.
Ratifikasi tersebut bertujuan melindungi hak anak untuk tumbuh dan berkembang, bebas dari dari konflik senjata, dan larangan bagi anak-anak di bawah umur 18 tahun dilibatkan dalam angkatan bersenjata.
Indonesia juga meratifikasi Optional Protocol to the Convention on the Rights of Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornogaphy dengan mengesahkannya di UU No. 10 Tahun 2012.
Tujuan utama ratifikasi protokol opsional tersebut yaitu untuk melindungi anak-anak Indonesia dari perdagangan, prostitusi, dan pornografi yang melibatkan anak.
Namun, pelaksanaan pelindungan anak-anak terus menghadapi tantangan seiring dengan semakin canggihnya teknologi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan di tahun 2020, ada 526 aduan terkait kasus pornografi dan kejahatan online yang melibatkan anak.
Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
Indonesia meratifikasi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 mengenai Pengesahan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada 24 Juli 1984.
Ratifikasi tersebut diikuti dengan kewajiban Indonesia memberikan laporan secara berkala kepada PBB mengenai perkembangan pelaksanaan HAM bagi perempuan Indonesia.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999, Indonesia mengatur secara khusus terkait Hak Wanita pada Bagian Kesembilan di pasal 45 sampai pasal 51.
Penerapan konvensi ini masih terus diupayakan termasuk keterwakilan perempuan di dalam pemerintahan hingga pemenuhan hak perempuan pekerja.
Baca Juga: Korelasi Ruang Digital dan Hak Asasi Manusia