Bukannya Woman Support Woman, Malah Teman Makan Teman

Bukannya Woman Support Woman, Malah Teman Makan Teman

Bukannya Woman Support Woman Malah Teman Makan Teman
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Kompetisi yang nggak sehat antar perempuan ini bahkan mengarah ke sikap patriarkis, melebihi laki-laki itu sendiri. 

Dunia perempuan bisa lebih keras daripada dunia laki-laki. Terutama adanya kompetisi tak kasat mata yang kerap terjadi antar perempuan. 

Biasanya nih ya, didasari oleh perasaan ingin menjadi lebih baik dari perempuan lainnya. Sebenarnya oke-oke aja sih, kalo sehat.

Tapi jeleknya, beberapa perempuan seakan merasa berhak merendahkan perempuan lainnya agar dirinya merasa lebih baik. 

Misalnya fenomena pick me girl yang membuat seorang perempuan berusaha keras untuk membuat pria terkesan dengan memastikan bahwa dia “tidak seperti perempuan lain agar kemudian di-notice oleh laki-laki.” Haus banget, mbak?

Perempuan Menjadi Serigala bagi Perempuan Lain

Kompetisi yang nggak sehat antar perempuan ini bahkan mengarah ke sikap patriarkis, melebihi laki-laki itu sendiri. 

Misalnya perempuan yang sudah menikah mengolok-olok perempuan yang masih single, perempuan yang melahirkan secara normal dipandang lebih baik daripada sesar, perempuan yang bekerja mengolok-olok ibu rumah tangga, dan lain sebagainya.

Parahnya, pada saat ada perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, ada perempuan lainnya yang malah komen “yaa bajumu tuh soalnya seksi, makanya aurat tuh ditutup,” atau “kamunya aja yang jal*ng makanya dilecehin sama orang.”

Masih ingat sama video syur Rebecca Klopper pada 26 Mei lalu? Meski itu salah si perekam yang menyebarkan videonya, banyak sekali perempuan yang malah mengomentari fisik Rebecca. 

Yang lebat lah, yang ini lah, itu lah. Lebih parahnya lagi, kok bisa ada perempuan yang ikut-ikutan menyebarkan link video tersebut sambil menjelek-jelekkan?

Kek apa yaa motivasinya komen-komen negatif sambil nyebar link gitu? Sejauh ini, saya menangkap bahwa perempuan-perempuan yang melakukannya, ya agar merasa lebih baik daripada si Rebecca, yang sebenarnya hidup mereka tidak sebaik hidup si Rebecca.

Ibaratnya nih, kalian perempuan yang begitu apa bedanya dengan orang-orang tak beradab yang menggelandang perempuan telanjang keliling kampung hanya untuk dipermalukan?

Perang Dingin yang Nggak Chill

Sikap perempuan yang seperti itu tentunya nggak muncul begitu aja. Ibarat puncak gunung es, sebenarnya pergesekan antar perempuan udah terjadi bahkan sejak hal-hal kecil yang sebenarnya tidak pantas diributkan. 

Misalnya soal adu-aduan merk lipcream, yang pasti ada sikap atau obrolan nggak enak ketika kita membeli produk lipcream yang bagus. Contoh lain saat kita sedang curhat ke sebuah circle, dia malah adu nasib cerita sedih demi meraih simpati dari yang lain. Pokoknya nggak mau kalah deh.

Mungkin laki-laki menganggap hal ini remeh. Tapi kasus-kasus kaya gini bagi perempuan tuh nyebelin pol, nggak chill. Perseteruan antar perempuan emang nggak main fisik atau adu jotos, tapi adu mental. Kalo udah bermasalah, kita bisa dibikin nggak betah di manapun.

Fenomena perang dingin di antara perempuan ini berujung pada internalized misogyny. Menurut artikel “Misogyny as Violence in Gender Perspective”, hal ini merupakan kecenderungan perempuan untuk saling membenci, yang berakibat terproyeksinya pemikiran seksis terhadap perempuan lainnya. 

Hidup di masyarakat patriarkis membuat perempuan sering menjadi target diskriminasi dan kekerasan. Namun, perilaku misoginis dan seksis tak hanya dilakukan oleh laki-laki. 

Perempuan pun bisa berperilaku seksis dan mengekspresikan kebencian terhadap sesama perempuan. Sehingga alih-alih mendukung satu sama lain, perempuan justru bisa mempermalukan, mengecilkan, hingga menjatuhkan sesama.

Implikasinya, perempuan memperlakukan perempuan lain seperti benda. Perempuan sering kali dibanding-bandingkan, dievaluasi, dan dikompetisikan satu sama lain. Istilahnya, objektifikasi yang terjadi bahkan terhadap sesama perempuan.

Ciri-cirinya adalah berusaha menciptakan standar ideal yang nggak jauh beda dengan standar patriarki. Perempuan harus gini, kudu gitu, dan sebagainya. Akhirnya perempuan dinilai dari penampilan, barang branded, kemampuan reproduksi, dan semacamnya yang jauh dari nilai empati.

Hal ini menciptakan atmosfer persaingan yang tidak sehat di antara kaum perempuan sendiri. 

Omong Kosong Woman Support Woman

Salah satu gerakan untuk meredam perang dingin antar perempuan yang tak berkesudahan ini adalah woman support woman

Kampanye ini bertujuan agar perempuan saling mendukung dan menguatkan satu sama lain demi memperjuangkan kesetaraan gender. 

Namun kayaknya jauh panggang dari api. Boro-boro bergandengan tangan memperjuangkan kesetaraan gender, banyak perempuan yang malah saling tikam. Akhirnya slogan woman support woman hanya terdengar seperti omong kosong yang jauh dari kenyataan.

Seakan-akan gerakan ini hanya berlaku untuk mendukung perempuan yang sedang berada dalam kasus tertentu. Kasus yang masif seperti pelecehan dan sebagainya. Tapi tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tentu hal tersebut tidak salah. Tapi woman support woman juga berlaku untuk kasus-kasus kecil yang bahkan dekat dengan keseharian sosial perempuan satu dengan yang lainnya.

Woman support woman harusnya bersifat universal dan tidak pandang bulu. Bukan mendukung secara buta, namun lebih ke bagaimana sikap saling mendukung dan menghargai, dimulai dari sesama perempuan.

Dengan mengubah cara pandang ini, kita dapat berhenti menjustifikasi dan merendahkan terhadap sesama perempuan, lalu kita bisa memulai untuk saling memberikan dukungan satu sama lain.

Editor: Rizqi Ramadhani Ali
Penulis

Mita Berliana

Instagram: @berliana_mita
Opini Terkait
Mlijo: Sinetron Desa ala Foucault
Sesat Pikir Konten Bersyukur ala TikTok
Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh
Bagaimana Caramu Membaca Dongeng?
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel