Makeup putih, baju garis-garis, tanpa bicara, dan memeragakan gerakan yang cukup unik. Itulah atribut yang selalu melekat pada Pantomim.
Keunikan dan karakter pada Pantomim itu juga yang menghantarkan saya menemui seorang pegiat Pantomim. Namanya Wahyudi Aprilian. Kak Yudi, panggilan akrabnya.
Sebagai pegiat Pantomim yang juga berprofesi sebagai pengajar ekstrakurikuler Pantomim di Wlingi, Kabupaten Blitar, hari-harinya ditambah dengan kesibukan sebagai pengajar gambar dan Pantomim di Pondok Dheling.
Saya sendiri menemuinya di Pondok Dheling, sore hari. Di bangunan yang tidak terlalu luas itu, setiap sudutnya dipenuhi hal-hal menarik di mata saya seperti, gambaran anak-anak, hiasan dinding, termasuk juga adanya papana – kadal lidah biru yang hidup di daratan Papua.
Nama Pondok Dheling dipilih Kak Yudi karena penyebutan pondok merupakan tempat yang nyaman untuk semua orang. Sementara, Dheling adalah nama anaknya. Sekaligus, jenis bambu dan singkatan dari kata kendhel (berani) dan ileng (ingat).
Sungguh, dedikasinya pada pekerjaan ini tak perlu saya ragukan lagi. Hasil perjumpaan dan obrolan saya dengan Kak Yudi di bawah, akan memberikan jawaban mengapa saya menganggapnya demikian.
Di Tengah Gempuran Profesi Seni Lainnya
“Semenjak tahun 2017-2018, setelah saya mengalami kecelakaan,” ujar Kak Yudi mengawali cerita yang sekaligus menjadi titik balik kehidupannya dengan memilih Pantomim sebagai sebuah profesi.
Kemudian ia bergabung dengan beberapa komunitas yang berhubungan dengan anak-anak. “Saat itu, saya mencoba menarik perhatian anak-anak dengan berperan (Pantomim) dan ternyata mereka tertarik,” imbuhnya.
Dari semenjak itulah, pria berusia 34 tahun ini mulai mengenalkan dunia Pantomim kepada anak-anak hingga ke sekolah-sekolah. Namun, perkenalan Kak Yudi dengan Pantomim sendiri sudah terjadi saat ia masih sekolah.
“Saya sendiri sudah melakukan itu dari zaman sekolah, mungkin biasanya lebih mudahnya jadi badutnya di tempat bermain dulu,” lanjutnya mengenang masa lalu.
Kecintaannya pada seni pertunjukan Pantomim ini lantas dilanjutkannya menjadi sebuah pekerjaan. Meski, tak sedikit orang saat itu yang menganggap bahwa apa yang dilakukannya aneh dan tidak jelas.
Namun, di saat Kak Yudi menggeluti Pantomim dengan mempelajari segala tekniknya, apa yang ia lakukan sekarang menjadi hal yang menarik. Terutama di mata anak-anak, begitupun dengan saya.
“Apalagi Pantomim masuk dalam sebuah program untuk membentuk karakter anak Indonesia lebih baik lagi,” terangnya.
Semenjak dikenal sebagai pegiat Pantomim pun, Kak Yudi makin gencar mengenalkan seni pertunjukan ini.
“Saya mengenalkan Pantomim ke dunia anak-anak dan bahkan sekarang ke sekolah-sekolah, kemudian juga sekarang menjadi program sekolah dengan adanya ekstra Pantomim,” jelasnya penuh antusias.
Kak Yudi pun juga membuat program di Pondok Dheling dengan membuka kelas Pantomim. Tak berhenti di situ, ia membuat beberapa kegiatan untuk mengenalkan Pantomim lebih luas seperti perform di jalanan. “Kalau di Wlingi saya seringnya di taman, depan Taman Wlingi itu,” terusnya.
Meski Pantomim mulai dikenal di Kabupaten Blitar, tapi ekstrakurikulernya sendiri masih kurang dilirik di sekolah-sekolah.
Berbeda dengan seni pertunjukan lainnya, seperti tari atau ekstrakurikuler seni budaya lainnya misal, melukis dan karate, Pantomim menjadi seni pertunjukan yang masih jarang ada.
Seni pertunjukan ini hanya muncul di saat event besar seperti FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) setahun sekali. “Itupun hanya dua anak saja yang tampil,” kata Kak Yudi.
Saya pun jadi heran, bila Pantomim masih kalah populer dengan seni lainnya, mengapa selama bertahun-tahun Kak Yudi tetap menjadi pegiat Pantomim? Sementara, ia juga sangat jago menggambar.
Ia bisa saja hanya menjadi seniman gambar dan pengajar ekstra gambar di sekolah untuk profesinya. Toh, gambar jauh lebih populer bagi anak-anak SD dibanding Pantomim.
“Saya sangat enjoy sekali karena memang orangnya ekspresif dan suka gerak, bisa dibilang passion karena saya sendiri suka sekali memerankan sesuatu” begitu katanya, saat saya tanya apa alasannya tetap bertahan di profesi ini ditengah gempuran profesi seni lainnya yang lebih populer.
Minim Ruang dan Kurang Kondang
Ketidakpopuleran seni pertunjukan pantomim dan ekstra pantomim di Kabupaten Blitar ini, berimbas pada minimnya ruang untuk Pantomim. Menurut Kak Yudi sendiri, dirinya jarang dilibatkan dalam lingkup kecil di lingkungannya.
Hal inilah yang membuatnya akhirnya memutar otak untuk tampil lebih ekspresif dan percaya diri dengan mengadakan street perform art di jalanan. Kak Yudi juga sering membagikan aktivitas ber-Pantomimnya melalui media sosial.
Menyoroti soal kurang populernya ekstrakurikuler Pantomim di sekolah, ini jugalah yang menjadikannya sangat sedikit peminat.
“Saya sendiri sudah sering sekali untuk menawarkan (ekstra Pantomim-red) kepada sekolah,” ia mengawali cerita.
“Kemudian sekolah juga sering sekali melihat antusias anak-anak dengan Pantomim yang sangat besar sekali,” imbuhnya.
Sedari awal Kak Yudi sudah menyadari bahwa ekstra Pantomim memang selalu yang paling sedikit dibandingkan ekstra lainnya.
“Jadi kalau (ekstra, red) yang lain itu bisa sampai 20 anak bahkan 50 anak, ekstra Pantomim itu paling sedikit di mana-mana. Mungkin hanya 5 atau 10, 10 pun itu enggak lama ya,” curhatnya.
Ketidakpopuleran ekstra Pantomim di sekolah sebenarnya bukan tanpa sebab. Terbatasnya ruang untuk anak-anak bisa tampil menjadi salah satu mengapa Pantomim tak se-kondang ekstra lainnya. Alhasil, Pantomim menjadi ekstra dan seni pertunjukan yang lalu-lalang saja.
“Bisa dibilang secara orang tua maupun anak pun untuk mengikuti pantomim ini lama-lama agak kendor karena nggak ada ruang untuk mereka memperlihatkan pantomimnya,” jelas Kak Yudi.
Menyiasati terbatasnya ruang anak untuk berekspresi dalam Pantomim, Kak Yudi sendirilah yang akhirnya berinisiatif membuat wadah itu.
Dalam mengenalkan Pantomim misalnya, ia beberapa kali mengadakan workshop yang dihadiri guru, orang tua, dan anak-anak.
Sementara, dalam waktu dekat ini, dirinya berkeinginan untuk membuat sebuah event yang berhubungan dengan Pantomim.
“Yang paling dekat itu saya mau bikin pertunjukan pantomim di bulan Juni yaitu untuk mengisi kelas liburan anak-anak. Jadi, saya mau bikin pertunjukan full pantomim yang pemainnya full anak-anak,” lanjutnya.
Punya Mimpi Mulia
Semangat mempopulerkan Pantomim pada masyarakat dan anak-anak itu bisa saya lihat dari sinar mata Kak Yudi. Antusiasnya terlihat saat menceritakan pengalamannya melakukan street perform.
Sebenarnya, ada banyak cerita mengesankan yang ingin sekali ia bagikan saat menjadi pegiat Pantomim tapi, kalau saya menuliskannya akan menjadi berlembar-lembar lagi, maka cerita ini yang cukup menyentuh bagi saya.
“Apa sih pengalaman kakak yang paling berkesan selama menjadi pegiat Pantomim,” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
Dengan sigap langsung dijawab “Waktu itu saat street perform secara spontan, kemudian yang merespon paling lama dan paling cepat adalah anak-anak yang menemani orang tuanya berjualan di alun-alun Malang, itu benar-benar saya terenyuh sekali.”
“Mereka benar-benar ada interaksi secara kontak fisik. Mereka ini seolah-olah, saya mau kembali pulang dan menghapus make up itu mereka enggak mau, jadi kayak terus ingin saya ada di situ,” imbuhnya.
Kak Yudi sekaligus menyebut bahwa itu pengalaman yang sangat berkesan sekali karena bisa menghibur orang banyak dan di ruang terbuka tanpa ia ketahui background setiap orang.
Dari banyak pengalamannya bertemu anak-anak itu jugalah yang membuat Kak Yudi punya mimpi untuk membuat Pantomim di dunia anak-anak, terutama anak-anak TK.
Tujuannya satu, agar mereka lebih bisa bermain dengan asyik dan enjoy, mengingat Pantomim selama ini hanya ada di jenjang pendidikan tingkat dasar.
“Saya bisa membentuk karakter-karakter anak Indonesia itu bisa lebih baik melalui Pantomim di usia dini. Apalagi kalau untuk anak-anak kan sangat membantu sekali untuk motorik kasarnya atau halusnya, intruksi, kemudian juga dalam berekspresi. Itu sangat membantu sekali untuk anak-anak TK di era sekarang yang di mana sekarang ini era digital, yang apa-apa anak TK itu kebanyakan bermainnya dengan gadgetnya,” kata Kak Yudi.
Baca Juga: Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah
Pantomim: Seni Pertunjukan yang Harus Tumbuh dan Mekar
Passion dan kecintaannya pada anak-anak, adalah dua kunci yang saya temukan mengapa ia tetap menjadi pegiat Pantomim.
Selayaknya seni dan budaya lainnya yang harus terus tumbuh dan mekar supaya tak layu dan hanya menjadi kenangan, Pantomim juga harus demikian.
Meski di Kabupaten Blitar, pegiat Pantomim dan ekstra Pantomim masih minim, ia menjadi seni pertunjukan yang harus tetap dilestarikan.
Bagi Kak Yudi sendiri dalam melihat Pantomim, bahwasanya kita ini enggak sadar kalau sebenarnya kita sudah melakukan Pantomim dari sejak lahir.
Misalkan dari sisi keseharian saja, kita sudah melakukan Pantomim seperti memanggil teman dari kejauhan, mengajak orang lain makan, atau sekedar menghibur bayi.
“Itulah kenapa Pantomim disebut seni tertua karena tanpa sadar kita ini sebenarnya sudah melakukan Pantomim sejak kecil,” ujar Kak Yudi sembari memberi contoh dengan memperagakan gerakan memanggil seseorang dari kejauhan tanpa suara.
“Kalau di dunia anak-anak, Pantomim menjadi seni pertunjukan yang sangat menarik sehingga bisa membuat mereka antusias dan tertarik bermain bersama. Sementara, di dunia dewasa, Pantomim seolah-olah menjadi ruang bernostalgia di masa muda,” imbuhnya, dan saya merasakan demikian.
Sama seperti Kak Yudi yang berharap agar Pantomim bisa terus lestari dan dinikmati oleh semua orang, ruang untuk kegiatan atau pertunjukan Pantomim ini juga harus ada dan terus tumbuh.
“Wadahnya juga bisa dimana-mana. Harapannya, orang-orang yang (bergerak-red) di bidang pendidikan atau dinas seperti Dinas Pariwisata bisa memberikan wadah kita untuk ber-Pantomim. Terutama mungkin di pendidikan sama di pariwisata ya, mungkin bisa saja Pantomim ini menjadi iconic-nya Blitar juga dalam hal daya tariknya,” tutupnya.