Sediksi – Biaya kuliah niscaya meningkat setiap tahun. Keadaan ini tak hanya membuat mahasiswa tertantang untuk merampungkan kuliah lebih cepat, tetapi juga memaksa sejumlah mahasiswa menyambung kuliah dengan bekerja.
Meski UUD 1945 mengamanatkan pendidikan untuk setiap warga negara, biaya pendidikan tak selalu terjangkau. Keadaan pendidikan saat ini baru mengakomodir pendidikan untuk semua di jenjang pendidikan dasar. Di jenjang pendidikan tinggi, keadaan berkata lain.
Jika kita kerap mendengar mahasiswa-mahasiswa menyerukan atau menuntut biaya kuliah lebih murah, tak perlu kaget karena keadaannya memang demikian.
Sediksi ngobrol dengan empat mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar UKT. Ketiganya menghadapi berbagai dinamika ketika dua hal yang dijalani sama-sama prioritas penting.
Bekerja apa saja buat melanjutkan kuliah
“No miracles, no fair, no means, no fate, life is just what is it to be.”
Kalimat di atas adalah rangkuman dari perjalanan berharga dari dinamika seorang Rama Babbur Jazzura (24). Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang menjalankan hidup mirip seperti Hong Du Sik, tokoh di drama korea Hometown Cha-Cha-Cha. Apa saja dilakukan asal bisa bertahan.
Setidaknya ada delapan pekerjaan yang dilakukan Rama selama masa kuliah agar bisa bayar UKT, praktikum, buku, kos, dan kebutuhan sehari-hari. UKT Rama 5 juta.
“Saya pernah jadi guru les IPA di semester 1 sampai 3, kerja di percetakan semester 1 sampai 5, di pabrik kayu semester 2 sampai 4, jadi kernet saat liburan semester 1, dan jadi jurnalis di semester 3 sampai lulus,” terangnya.
Rama melakukan setidaknya empat pekerjaan dalam waktu bersamaan. Kuliahnya tetap prioritas nomor satu, karenanya ia melakukan siasat pemilihan kerja dengan mempertimbangkan kesibukan pada semester berjalan.
Saat pandemi melanda, Rama tidak bisa pulang karena harus praktikum angkatan, harus menetap di Surabaya selama dua semester. Semua hal terdampak, termasuk pekerjaan Rama dan penghasilannya yang tidak menentu.
“Dari kondisi tersebut muncul ide untuk mencari tambahan penghasilan dengan mengamen, mencari udang galah, dan stand up comedy,” katanya.
Kondisi tersebut diiringi dengan cerita pilu dan mengharukan. Saat sedang bekerja mencari tambahan penghasilan, ia pernah dihajar orang mabuk di dekat Tunjungan Plaza, ada pula momen di mana ia tak sengaja bertemu saudaranya saat sedang ngamen. Ia pun pernah tak sengaja memecahkan baling-baling mesin kapal nelayan.
Pekerjaan-pekerjaan yang dilakoni Rama tentu saja membuatnya terganggu di perkuliahan, apalagi di tiga semester awal. Memasuki semester 4 hingga lulus, ia sudah bisa menerima keadaaan. Pun menyadari ada keuntungan dengan pergaulan yang semakin luas.
Momen-momen bertarung dengan UKT dan kehidupan kuliah sudah berlalu. Ia telah merengkuh gelar sarjana tahun lalu. Kini Rama bekerja sebagai quality control di salah satu perusahaan rokok.
Tak semua punya privilese kuliah tanpa beban
Andhika (22), adalah mahasiswa jurusan Psikologi di salah satu kampus di Malang. Ia angkatan kuliah 2019 dan saat ini menempuh skripsi. Sekarang, impiannya tak lebih dari ingin lulus, dapat pekerjaan yang layak, dan keluar dari kesulitan ekonomi.
“Sekarang fokus skripsi. Harapannya supaya cepat lulus dan dapat pekerjaan tetap yang cukup,” ujarnya.
Akan tetapi, sampai di titik ini pun bukanlah hal mudah. Andhika harus cuti sepanjang tahun 2022. Ia harus bekerja dipaksa keadaan. Mencukupi diri dan adiknya.
Saat mendaftar di kampus, ia diwalikan oleh seorang PNS yang kemudian membuat golongan UKTnya berada di Golongan 6 yang artinya membayar 6,5 juta setiap semester. Pandemi melanda, keadaan ekonomi menjadi sulit dan karena satu dan lain hal ia tak lagi diwalikan oleh walinya yang PNS tersebut.
“Banyak tekanan supaya cepat lulus, dapat kerja, dan mengurus keluarga tapi di satu sisi susah lulus cepat kalau masih kerja juga,” katanya.
Natasya (21), mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) harus bekerja untuk membantu orangtuanya bayar UKT. Ia bekerja sebagai penyiar radio paruh waktu sejak semester 4. Ia kemudian menambah pekerjaan sebagai pengajar ekstrakurikuler di semester selanjutnya.
Saat mendaftar kuliah, kedua orangtuanya sama-sama bekerja. Namun, nahas ibunya kena PHK di semester pertengahan. Sedangkan UKT Natasnya terlanjur berada di golongan 5.
“Udah disarankan turun golongan UKT, sih, dengan ngajuin keringanan, tapi nggak bisa karena turun golongan UKT nggak bisa ngangsur. Jadi, harus bayar kontan. Sementara uangku sama uang mamaku nggak cukup kalau bayar kontan,” katanya.
Peraturan penurunan golongan UKT di kampusnya tidak bisa dibayar dengan mengangsur. Apabila melakukan pembayaran dengan angsuran maka tidak bisa menurunkan golongan UKT. Dua hal tersebut menjadi poin peraturan kampus yang membuat Nastasya dilema.
“Jadi, ya, gitu deh, melewati sisa semester dengan terseok-seok,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Kuliah sambil kerja tak pernah mudah
Kepada Sediksi, Andhika menceritakan berbagai dinamikanya selama dua tahun belakangan. Di tahun 2022, ia bekerja secara penuh menjadi barista sepanjang tahun serta nyambi jadi tutor bahasa inggris untuk adik temannya. Di tahun 2023, sejak Maret hingga Juni dirinya bekerja sebagai kitchen crew di salah satu tempat makan.
Bekerja untuk pertama kalinya jadi tantangan baru. Dunia dan kondisi baru yang dihadapinya sebagai jalan satu-satunya bertahan.
Dunia kerja tampak seperti abstrak, berbeda dengan kuliah, menurut Andhika. Awal bekerja adalah masa-masa paling sulit yang ia jalani.
“Kalau kuliah jelas gimana aja dan apa aja yang perlu dikerjain. Kurang lebih ada panduannya lah nggak kayak kerja. Kalau kerja meskipuna ada panduan tapi nanti ada aja kendala di luar dugaan. Hal itu harus bisa dihadapi dengan tenang,” katanya.
Saking sulitnya keadaaan kala itu, ia mengaku sering harus menahan lapar saat bekerja. Makan sehari sekali. Kondisi ini terjadi di awal-awal tahun 2022.
Memasuki April di pekerjaan kedua, tantangannya adalah menghadapi perilaku atasan. Mulai dari senang menyuruh-nyuruh di luar kerjaan hingga pada akhirnya ia bekerja dengan beban ganda bahkan tiga kali lipatnya,
“Aku barista tapi harus ngitungin kas, laporan juga, bantuin rekap penjualan,” kata Andhika.
Di tahun berikutnya, Andhika bekerja di dapur. Sebenarnya ia melamar di posisi barista tapi ditempakan di dapur. Meski kurang sreg, ia tak bisa menolak karena sangat membutuhkan uang untuk keperluan adiknya.
“Awalnya nggak masalah pagi sore kuliah, sore malam kerja. Susahnya ketika UAS dan pekerjaan kelompok, aku nggak bisa handle dan control UAS-nya,” kata dia.
Di posisi ini, tak jarang ia juga kena damprat senior karena salah melakukan sesuatu. Diincar waktu dan dicecar atasan. Menahan tangis dengan mata berkaca-kaca.
“Aku ke kamar mandi, nangis. Beberapa kali kayak gitu. Seniornya cukup tidak sehat mentalnya,” kata dia.
Di bulan terakhirnya bekerja sebagai kitchen crew dan bertepatan dengan UAS, ia nyaris tak bisa beristirahat. Ia pulang larut malam dan pagi saat bangun harus menggarap UAS.
“Pas itu aku ingat apa yang diomongin orang, kuliah sambil kerja itu jadinya lupa, nggak kuliah. Aku dapat kesan kalau kuliah diutamakan, tapi apa ceritanya kalau kita perlu kerja juga, buat bisa tenang dalam kuliah. Aku nggak bisa tenang kuliah karena aku nggak bisa ngasih apa-apa buat adekku, dan ada tagihan yang perlu aku bayar. Mau nggak mau perlu kerja pada saat itu,” jelasnya.
Menurut Andhika, previlese bagi orang-orang yang memang fokusnya hanya kuliah tanpa menanggung beban apapun. Salah satunya keterbatasan finansial atau dorongan kerja. Apesnya lagi kampus tidak mengakomodir kesulitan dan kebutuhan tersebut.
Dua hal membebani Andhika, kuliah dan kebutuhan hidup. Sebelumnya ia bukannya tak mengurus penurunan UKT tetapi penurunan itu tak signifikan membantunya. Apalagi pengumumanan keringanan UKT diinformasikan belakangan setelah KRS dibuka. Jadinya Andhika hanya punya pilihan sedikit untuk mengatur waktu kuliah dan bekerja.
“Intinya kerja itu nggak enak, kerja yg bukan pilihannya. Apalagi bukan lahir dari keluarga yg enak,” tegasnya.
Ia bertanya-tanya kenapa di umurnya yang masih muda begini sudah harus memikirkan cicilan dan tuntutan hidup. Namun, perlahan ia menerima keadaan sembari mensyukuri hal-hal kecil.
“Kalau buat pelajaran yang bisa aku bawa sampai ke depan. Menghargai hal-hal kecil kayak jajan 2,5 ribu dapat makan cookies yg enak. Karena aku malam pulang pasti jam 12 lewat, jalan sepi, aku bisa jalan kaki, enak buat sambil dengarin lagu yang aku suka,” pungkasnya.
Sama seperti Andhika, Natasya juga mengakui kalau kuliah sambil kerja tak segampang perkara membagi waktu. Apalagi, Natasya menjalani dua pekerjaan sekaligus. Melakoni dua pekerjaan sembari kuliah dalam sekali waktu bukanlah hal mudah. Ia harus mampu menyeimbangkan pencapaian akademik dan performa dalam bekerja.
Akan kuhadapi semuanya tapi sambil nangis. Begitulah meme yang seringkali muncul di dunia maya buat menggambarkan keriweuhan kehidupan ini. Natasya hidup dalam realita meme tersebut.
Ia mengalami kesulitan di semester 4 dan semester 5 karena tugas kuliah menumpuk. Sedangkan dirinya baru pulang bekerja jam 20.30.
“Pantang tidur sebelum tugas kelar. Sering tidur jam 2 dini hari atau habis salat subuh,” katanya.
Untungnya kesibukan Nastasya tak terlalu memengaruhi nilai akademik. Meski di sisi lain, ia harus legowo tak bisa ikut organisasi dan tak punya banyak teman di kampus.
Kepada saya Natasnya juga bercerita, bukan hanya kesulitan yang didapatnya saat kuliah sembari bekerja. Kini ia menyadari lebih pandai membagi waktu dan merasa lebih produktif. Bertemu dengan banyak orang di tempat kerja juga membuat dirinya belajar mengendalikan emosi.
“Hal paling aku syukuri adalah udah bisa mengubah pribadiku yang awalnya gampang nggak bersyukur jadi lebih ikhlas dan bisa berdamai dengan keadaan,” ujarnya.
Walaupun tampak seperti tak ada pilihan karena harus bekerja demi bayar UKT, Natasnya tetap bangga bahwa yang sedang dijalaninya adalah cara untuk meringankan beban orang tua.
Sulit kerja kelompok dan berorganisasi
Pandai-pandai membagi waktu memang keniscayaan bagi mereka yang kuliah sambil bekerja. Azizah (21), mahasiswa UB lain yang saya temui juga menceritakan dirinya susah ikut kerja kelompok dan berorganisasi. Apalagi nongki-nongki sebagaimana kebiasaan mahasiswa pada umumnya.
“Kalau harus kerja kelompok atau Zoom Meeting buat kerja kelompok selalu nggak bisa, atau organisasi jam 7-9 malam itu selalu nggak bisa karena memang bekerja. Aku nggak bisa jam segitu karena aku mengajar,” katanya yang saat ini jadi pengajar les bahasa Inggris.
Kadang-kadang ia merasa sungkan karena seringkali izin. Namun, keadaan membuatnya tak punya pilihan.
“Bekerja karena butuh uang. Kuliah aja nggak menghasilkan, kalau minta orangtua sungkan. Sedangkan kuliah juga karena keinginan sendiri bukan keinginan orang tua, apalagi berada di ekonomi kurang beruntung, mama single parent,” terang Azizah.
Ia pernah mencoba jadi penulis lepas dan joki tugas. Serta mengajar les bahasa Inggris dari pintu ke pintu. Baginya saat ini keadaaan jauh lebih baik karena dirinya bisa melakukan pekerjaan dari rumah.
Sebagai pengajar yang punya murid, Azizah bertemu banyak orang yang kerapkali memuji caranya mengajar. Apresiasi-apresiasi yang meluncur dari para murid menjadi penambah energi di kala tak ada pilihan untuk berhenti bekerja.
Cerita-cerita mahasiswa yang ‘harus’ kuliah sambil kerja membuat kami bertanya-tanya: “apakah ini wajar?”