>
Liputan: Malang Kota Parkir: Jukir vs Every Body, Siapa yang Paling Diuntungkan?

Malang Kota Parkir: Jukir vs Every Body, Siapa yang Paling Diuntungkan?

Malang Kota Parkir Malang Darurat Parkir
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

“Pritttt!”

Adalah bunyi peluit, yang lebih sering didengar ketimbang bunyi notifikasi WhatsApp dari gebetan. Jika kamu tinggal di kota Malang, jomblo, dan sering wira-wiri ke alun-alun, minimarket, mall, kedai kopi atau tempat umum lainnya, maka lengkap sudah penderitaan yang kamu alami.

Bahkan tak jarang saat kita mampir ke ATM untuk mengambil uang tunai yang tak seberapa itu, bunyi peluit kembali terdengar, merasuk ke sukma hingga terbawa dalam mimpi. Tak heran bila kota ini kemudian memiliki julukan baru, ‘Malang Kota Parkir’.

‘Malang Kota Parkir’ adalah salah satu celetukan warganet yang kerap terdengar. Bukan karena penataan parkirnya baik, bukan juga karena lebih murah, tetapi karena juru parkirnya yang ada di mana-mana.

Keluhan terkait parkir ini mudah kita jumpai di berbagai forum warga di media sosial seperti facebook dan X (twitter). Tahun 2016 sempat muncul petisi melalui petisionline.com yang meminta agar Wali Kota menjabat kala itu, Mochamad Anton menertibkan parkir di Kota Malang.

Petisi berjudul ‘Malang Darurat Parkir’ tersebut menilai biaya retribusi parkir sebesar Rp 2.000 itu mahal dan menyebut para juru parkir sebagai preman pungli berkedok parkir.

Lebih dari 6 tahun sudah petisi yang ditandatangani 11.246 orang itu berlalu. Mochamad Anton lengser dan digantikan Sutiaji yang juga habis masa jabatannya pada September 2023, namun keluhan warga Kota Malang masih sama yakni, tata kelola parkir yang ruwet.

Uang Kembalian 98 Ribu? Kenapa Tidak?

Awan H. (23) beneran sebel dengan juru parkir ATM. Ia punya sejumlah pengalaman kurang menyenangkan, mulai dari juru parkir yang tidak berkontribusi apa-apa tapi minta dibayar karena hanya cekcok karena juru parkir tak terima hanya diberi 1.500 rupiah. Lengkap dengan omelan dalam bahasa Jawa yang tidak ia mengerti.

Mahasiswa FISIP UB ini bercerita kalau biasa mengambil uang tunai di ATM. Suatu ketika, ia benar-benar kehabisan uang kemudian mesti ambil di ATM di daerah Suhat yang hanya menyediakan pecahan 100 ribu.

Setelah selesai, tiba-tiba muncul juru parkir dan meminta ia membayar. Awan menerangkan kalau ia tak punya uang kecil.

“Emang uang Masnya berapa? Kan habis dari ATM?” kata si juru parkir.

Awan menjawab,”Uangnya pas 100 ribu, Pak,” dengan harapan si juru parkir yang tidak memberikan kontribusi itu untuk membiarkan saja. Namun, ternyata malah dijawab, “Oh, ini saya ada kembalian 98 ribu.”

Di waktu yang lain, dia pun pernah diomeli karena hanya memberi 1.500, sebab memang hanya itu yang dimilikinya. Si juru parkir ngotot harus diberi 2000. 

Sebenarnya kejadian-kejadian kurang menyenangkan ini menjadi salah satu gegar budaya yang dihadapinya saat merantau di Malang. Di kampung halamannya, ia tak menemukan juru parkir, apalagi bisa sampai cekcok.

Kepada saya, Awan mengaku selama ini ia selalu menahan diri saat diomeli karena tidak mengerti bahasa jawa. Kebetulan dia mahasiswa perantau asal Kalimantan, “Kebetulan kita perantau. Di mana bumi dipijak di situ langit di junjung,” kata Awan.

Pengalaman Vanessa (23) tak beda jauh. Warga Kota Batu ini mengatakan kalau ia menyiapkan uang parkir tiap bawa kendaraan. Sebagai warga lokal, ia tahu perkara ini mesti diantisipasi, meski kadang-kadang agak nggondok.

“Bayangin aja, keluar 2 ribu tiap berhenti di ruko, toko, warung, maupun ATM. Dihitung-hitung kalau mesti banyak berhenti, duit parkir bisa senilai bensin, lah,” ujarnya.

Baginya, sudah bukan barang baru jika keberadaan juru parkir menjamur. Ada banyak lahan ramai dan tarif parkirnya pun lumayan.

Sasa, panggilannya, punya pengalaman yang serupa dengan Awan, yakni juru parkir yang tiba-tiba muncul kemudian menagih uang parkir. Kalau sudah begitu, ia mengharuskan juru parkir menata motornya agar siap dinaiki, dan kalau perlu menyeberang jalan, ia juga minta agar dibantu untuk menyeberang.

Ujug-ujug datang. Kudu berani minta sih, kita bayar kok. Lagian, yang kayak gitu juga harusnya dilakukan tanpa diminta, kan?” tuturnya.

Ia juga mengamati kalau ada perlakuan berbeda pada motor dan mobil yang parkir. Kalau motor, ia menilai pengendara tak banyak menerima bantuan. Sebaliknya, hampir selalu ada bantuan juru parkir untuk pengendara mobil. 

“Beda ukuran (dimensi) kendaraan kali ya waktu masuk jalan. Tarifnya juga beda, sih,” imbuhnya.

Sebenarnya tidak satu dua warga saja yang saya tanyai perihal kondisi parkir di Kota Malang. Tapi, nyaris semuanya memiliki cerita yang serupa dengan Awan dan Vanessa. 

Saya jadi tertarik untuk mencari tahu pendapat juru parkir. Tahukah mereka bahwa selama ini profesi yang mereka jalani bisa menjadi diwakilkan desain kaus dengan tulisan “Juru parkir vs Everybody”? Bagaimana perasaan mereka menjaga kendaraan milik orang yang sebenarnya tidak mengharapkan kehadirannya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang coba saya bayangkan jika saya harus menjadi seorang juru parkir.

Juru parkir percaya mereka jadi garda terdepan keamanan

parkiran malang
Foto: Sara Salim/Sediksi

Akhirnya saya pun ngobrol dengan sejumlah juru parkir di salah satu wilayah padat, yakni sekitaran Merjosari yang ramai terutama oleh mahasiswa. Mereka adalah Andri (21) juru parkir ATM Merjosari, Bidin (30) juru parkir kompleks perkopian Merjosari, dan Gandi (42) juru parkir Alfamart Jl Gajayana.

Ketiganya menjelaskan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tidak dijalani sendirian. Melainkan ada pihak yang lebih berwenang seperti karang taruna, pemilik lahan, pengeolola parkiran hingga dinas terkait.

Andri sudah tujuh bulan belakangan menjadi juru parkir di salah satu ATM kawasan Merjosari. Ia mengaku jadi juru parkir yang dipekerjakan perorangan dengan jalur warga lokal. 

“Saat saya masuk ke sini, semua ini (pengelolaan parkir) sudah ada,” ujarnya.

Per shift-nya ia bisa membawa pulang minimal 20 ribu rupiah. Jumlah itu ia dapat setelah membagi setoran ke berbagai pihak. 

Sepengetahuan Andri, setidaknya ada dua pihak lain yang selalu menerima setoran, yakni ke atasan dan Dinas Perhubungan Kota Malang (Dishub Kota Malang). Detail pembagian lainnya ia tak tahu karena dikelola oleh atasan.

Meski tidak punya KTA, Andri menunjukkan karcis parkir resmi dari Pemerintah Kota Malang. Tarif 2000 untuk motor dan 3000 untuk kendaraan roda empat. 

“KTA masih belum ada, kan ikut orang yo, aku yo barusan gabung. Ada penanggung jawab makanya saya berani (jadi juru parkir di sini)” ujarnya.

Andri bingung menjawab saat saya tanyakan pendapatnya soal orang-orang yang merasa resah ada juru parkir di ATM.

“Aduh aku bingung. Kalau menurut saya apa, ya. Kan biasanya banyak orang antre, misal gini helm ditinggal, kita nggak tahu orang niatnya gimana. Maksudnya itu fungsinya parkiran (buat keamanan)” terangnya.

Andri mengaku dia tak segalak teman-temannya saat meminta uang. Ia cenderung membiarkan kalau ada yang tak mau bayar. Legowo saja, katanya.

Gandi, juru parkir lain yang saya temui, percaya seluruh juru parkir adalah garda terdepan keamanan. Apabila ada orang berniat jahat yang menganggu tempat parkir yang ia jaga, pastilah dirinya maju paling depan.

“Kalau ada orang jahat, bawa senjata tajam, kalau pun kena bacok pasti saya duluan yang kena,” katanya.

Awalnya ia dipekerjakan melalui Karang Taruna setempat untuk mengisi posisi juru parkir Alfamart di Jl. Gajayana. Meskipun saat ini sudah beda pengelola, ia masih jadi juru parkirnya. 

Biasanya ia dapat 40 ribuan per hari, dikurangi uang setor rutin 10 ribu. Dirinya tak mengetahui besaran pasti pendapatan seluruh juru parkir jika dikumpulan setiap harinya. 

“Saya setor, tok. Menjalankan tugas saja. Eman penggawean, kalau enggak setor nanti kerja apa. Selingan dari ngojol juga, sih. Jaga parkir tok, ya nggak cukup,” kata Gandi

Gandi menuturkan tempat parkir yang dikelolanya resmi karena ada setoran ke Dispenda, tetapi ia tidak mengetahui rinciannya.

Minimarket kok diparkir?

Banyak warga mengeluhkan minimarket yang ada juru parkirnya, seperti yang dikeluhkan oleh Awan dan Vanessa. 

“Misal cuma beli air mineral, dan mereka nggak mau bayar, ya mesti ada pengertian juga,” tutur Gandi.

Soal minimarket ada juru parkirnya, Gandi mengaku ikut aturan saja. Baginya kalau minimarket tersebut memang punya lahan sendiri dan mau menggratiskan parkir ya tidak ada masalah. Soal keberadaan juru parkir di tempat yang ada tanda parkir gratis, ia tak mengerti kenapa itu bisa terjadi.

“Saya tergantung wilayah. Kalau parkir gratis ya enggak apa-apa. Tapi kalau misal satu lahan pertokoan atau ruko, satu digratiskan ya semua harus gratis,” katanya menjawab soal keluhan orang-orang mengenai keberadaan juru parkir di minimarket seperti Alfamart dan Indomaret.

Sepengalamannya, soal parkiran itu biasanya ada karena komunikasi banyak pihak. Mulai dari pengelola parkiran maupun karang taruna ke pemilik lahan dan Dispenda. Komunikasi itu termasuk dalam hal izin dan setoran.

Bagi Gandi, ‘nembung’ (izin) itu perlu. Kalau lahan diperbolehkan untuk dijaga parkir, ya dijaga, dan juru parkir wajib memberi setoran. 

Di tiap wilayah jumlah setoran juga macam-macam. Gandi mencontohkan, di lokasinya ada setoran untuk pemilik lahan dan Dispenda.

“Setorannya jelas lebih besar untuk pemilik lahan. Kalau juru parkir di lapangan kan bergantung sepi atau ramai,” terang Gandi.

Dari pengangguran sampai dapat 100 ribu per hari

harga parkir di malang
Foto: Sara Salim/Sediksi

Bidin adalah gambaran juru parkir seperti bayangan kebanyakan orang, tidak seperti dua cerita di atas. Ia bisa mendapat 100 ribu bahkan 150 ribu per hari.

“Total pendapatan keseluruhan bisa 800 ribu per hari. Ada ramai sepinya. Sepi di hari Senin, Selasa, Rabu. Kamis mulai membaik sampai minggu,” kata Bidin yang memang warga setempat.

100 ribu yang dibawanya pulang adalah pendapatan bersih setelah dipotong setoran ke kas karang taruna, kas grup parkir, dan Dishub Kota Malang.

Dirinya menjadi juru parkir di kawasan perkopian Merjosari. Ia adalah juru parkir sekaligus anggota karang taruna setempat yang saat ini menjabat humas.

“Kerjanya dua hari sekali libur (lima kali seminggu). Ganti-gantian yang jaga, biasanya habis maghrib ada teman yang datang,” kata Bidin yang sudah jaga sejak jam 3 sore. Ia akan menjaga parkir sampai jam 12 malam.

Adanya juru parkir sekaligus menjaga kemanan di mana kawasan perkopian Merjosari terdiri dari warung kopi yang buka 24 jam dan café. 

Awalnya tak semua pemilik usaha langsung setuju akan adanya juru parkir, pada akhirnya setelah musyawarah dengan karang taruna, pengelolaan parkir pun diadakan.

“Awal berdirinya kafe belum ada kesepakatan parkir. Terus daripada ada apa-apa. Lebih baik diambil kerja buat yang nganggur,” jelasnya. Kebetulan saat itu Bidin salah satu yang masih menganggur dan langsung sepakat saat ditawari pekerjaan.

Ada kalanya pengunjung tak terima harus bayar parkir dan menganggap illegal. Bidin biasanya menjelaskan bahwa mereka resmi, punya rompi dan KTA. 

Ada juga yang pura-pura tak dengar saat ditagih. Bagi Bidin, diberi uang seribu pun tak masalah asal komunikasinya sopan biar sama-sama enak. 

“Yang saya pribadi agak nggak suka itu kalau ada yang ngomong ‘Maaf Mas nggak bawa tunai’ atau ‘Maaf Mas nggak ada uang’. Tapi itu pikiran saya, saya enggak mau ribut, nggak mau cari masalah, jadi yoweslah,” terang Bidin.

Meski kadang harus menghadapi pelanggan yang mangkir bayar, Bidin mengaku tetap senang dengan pekerjaannya. Ia mendapatkan banyak teman dari profesi ini.

“Kerja kayak nongkrong,” pungkasnya.

Yang penting jukir setor dulu

Bidin dan rekan sejawatnya yang begitu menyeriusi profesi sebagai juru parkir rupanya mendapat perhatian lebih dari pemerintah kota Malang karena telah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 

Pasalnya, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang mencatat hingga pertengahan tahun 2023 pendapatan dari sektor parkir sebesar Rp 5.505.787.000. Pemkot Malang juga menargetkan pendapatan 12,1 Miliar bisa tercapai di akhir tahun dari 1.223 titik parkir resmi.

“Tahun ini kami upayakan tercapai Rp12 miliar. Kami bukan masalah mengejar target, tapi mengupayakan merealisasikan. Yang penting jukir setor,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Malang, R. Widjaja Saleh Putra dilansir dari Jatimkini.com.

Bagaimana stigma masyarakat soal Malang Kota Parkir?

Dilansir dari rri.co.id, Sutiaji, Walikota Malang mengatakan kalau keberadaan jukir juga membantu pendapatan dan menertibkan Kota Malang. Maka, menurutnya mengatasi masalah parkir saat ini harus dengan cara smooth dimulai dengan pembinaan kepada juru parkir.

Ketua DPRD Kota Malang, I Made Ryan Diana Kartika bahkan memberi usulan kalau ingin parkir Malang tertib, perlu ada pemberian reward dan BPJS Ketenagakerjaan kepada juru parkir. 

Apakah solusi tersebut menjawab apa yang dikeluhkan masyarakat? Atau justru kian menguatkan julukan Malang Kota Parkir karena profesi juru parkir nampak semakin menjanjikan?

Penulis

Sara Salim

Melanjutkan hidup dari satu topik ke topik lain.
Baca Opini
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan