Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyederhanakan kurikulum pendidikan mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satu poin yang disorot tajam adalah rencana penghapusan mata pelajaran sejarah dari kurikulum sekolah, terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sorotan ini muncul dari draf sosialiasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tanggal 25 Agustus 2020 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (PP-MSI) meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar mempertahankan mata pelajaran sejarah. “Pelajaran sejarah tetap dipertahankan sebagai pelajaran wajib di sekolah menengah karena merupakan instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter siswa”, ungkap Hilmar Farid, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia dalam keterangan tertulis, Ahad, 20 September 2020.
Desakan keras untuk mempertahankan pelajaran sejarah juga datang dari Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi. PB PGRI menolak rencana menghapus pelajaran sejarah di jenjang SMA dan SMK. Dalam keterangan tertulisnya, pelajaran sejarah menempati posisi sangat penting bagi pembentukan karakter peserta didik, terutama sejalan dengan sejarah pendirian bangsa sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Senada dengan PB PGRI, sejumlah anggota dewan juga menyorot hal yang sama. Sorotan pada rencana kebijakan Kemendikbud ini di antaranya disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dan Anggota DPR RI Fadli Zon. Fadli Zon menilai, kebijakan ini sangat bertentangan dengan semangat dan tujuan pendidikan nasional.
Baca Juga: Antara Baboe dan Kicau Fahri Hamzah
Tanggapan Mendikbud
Kritik dari berbagai pihak tersebut ditanggapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim melalui channel Youtube Kemendikbud, Minggu (20/9) lalu. Nadiem mengatakan, isu penghapusan mata pelajaran sejarah tersebut muncul setelah beredarnya presentasi internal tentang penyederhanaan kurikulum akhir Agustus lalu. Nadiem mengakui, terdapat banyak usulan penyederhanaan kurikulum di draft yang masih digodog. Usulan ini berasal dari FGD dan uji publik yang saat ini sedang dilakukan. Namun, Nadiem menjelaskan draft penyederhanaan kurikulum tersebut belum final.
Nadiem menegaskan, penyederhanaan kurikulum tidak akan dilakukan sampai 2022. Kemendikbud merencanakan, pada 2021 membuka kemungkinan akan dilakukan uji coba (prototype) di sekolah penggerak yang terpilih dan bukan dalam skala nasional. “Jadi sekali lagi tidak ada kebijakan apapun yang akan keluar di 2021 dalam skala kurikulum nasional, apalagi penghapusan mata pelajaran sejarah,” ujar Nadiem.
Nadiem mengaku terkejut karena pemberitaan yang terkesan menyudutkan Kemendikbud dianggap bakal menghilangkan mata pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, sedari awal Nadiem memiliki misi untuk memajukan pendidikan sejarah agar kembali relevan dan menarik untuk anak-anak Indonesia.
Sorotan Mata Pelajaran Sejarah Selama ini
Isu penghapusan mata pelajaran sejarah dari bangku sekolah menjadi polemik, seolah melengkapi ketidakbecusan pemerintah menghadapi Corona. Yang menjadi pertanyaan, memang bagaimana dunia Pendidikan kita sampai hari ini menempatkan mata pelajaran sejarah di sekolah? bukankah sejarah sekadar jadi tambahan jam mengajar untuk memenuhi sertifikasi guru mata pelajaran yang membosankan dan bergantung pada hafalan yang melekat hanya lima menit di kepala?
Kekhawatirkan para pemerhati Pendidikan pada rencana kebijakan Kemendikbud tersebut terlihat sangat beralasan. Jika sejarah dihilangkan, para siswa akan menjadi manusia yang amnesia sejarah dan kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia dalam proses selanjutnya. Kekhawatiran ini sebenarnya patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Tapi, kita juga harus membuka mata bahwa sejauh ini mata pelajaran sejarah di kurikulum Pendidikan selama ini belum berdampak pada kesadaran sejarah perjuangan bangsa. Hampir setiap saat, peristiwa tawuran antar sekolah maupun perilaku korup dari para petinggi abdi Negara kerap mengisi halaman media massa. Lantas pertanyaannya, di mana posisi sejarah saat dihadapkan pada perilaku bar-bar seperti itu? Pada titik ini, kita harus mengakui ada sesuatu yang salah dari mata pelajaran sejarah.
Jika masing-masing mengingat pelajaran sejarah di sekolah, sering kali ditemukan cara mengajar materi sejarah masih old school ala-ala Orba. Guru berdiri di depan kelas menerangkan kepada murid tanpa upaya kontekstualisasi yang asik terhadap perkembangan kontemporer. Kalau tetap begini, sejarah tidak akan menjelma hidup: ia akan mati lalu dilupakan. Terlebih, jika pertanyaan ujian mata pelajaran sejarah menanyakan “tahun berapa Jendral Soedirman wafat?”. Tentu menegaskan sejarah itu arkheik dan membosankan.
Selain metode pembelajaran, sering ditemukan materi pada buku paket sejarah berisi doktrin yang bias kekuasaan. Misalnya istilah G30S/PKI yang bahkan masih dipakai dalam buku-buku terbitan K-13 yang alurnya adalah pemberontakan PKI dan Soeharto muncul sebagai pahlawan.
Bukankah sejatinya pelajaran sejarah adalah tentang bagaimana kita semua belajar dari sejarah masa lalu yang kompleks? Sejarah engga melulu soal rentetan peristiwa yang linier macam timeline twitter. Ada banyak hal yang bersifat kemanusiaan dan perasaan yang terlibat yang bisa dihadirkan kepada siswa. Misalnya bagaimana perjalanan Tan Malaka, sang bapak republik yang perjuangannya berdarah-darah namun namanya disembunyikan selama puluhan tahun. Lagi, betapa mengerikannya pembantaian tentara militer Indonesia terhadap pemuda-pemuda Timor Leste di Santa Cruz? Atau tentang betapa romantisnya Hatta saat ia menikah dengan mas kawin kemerdekaan Indonesia?
Jika benar Kemendikbud berencana untuk menjadikan mata pelajaran sejarah menjadi pilihan, tentu langkah tersebut harus ditolak. Tapi jika rencana revisi kurikulum diarahkan untuk menemukan metode baru dalam menyampaikan mata pelajaran sejarah agar relevan pada anak didik, terlebih tidak bias kekuasaan, rencana tersebut patut diapresiasi. Toh selama ini, mata pelajaran sejarah di sekolah seolah hanya sebagai nama mata pelajaran, belum sebagai sarana untuk menyadarkan nalar sejarah secara kongkrit.
Memang, materi sejarah yang demikian tidak mudah untuk disampaikan dengan cara yang sederhana. Jika pola Pendidikan kesejarahan dibiarkan tanpa upaya revolusioner, sejarah akan menjadi monopoli satu pihak, entah oleh guru maupun bias penguasa. Siswa dibatasi dan hanya menjadi objek mati. Kata Paulo Freire siswa menjadi investasi dan sumber daya potensial; sebagai komoditas Pendidikan sejarah. Sebelum memulai pelajaran sejarah, sudah saatnya guru bertanya kepada siswa, “sejarah apa yang ingin anda diketahui?”. Tentu saja, dengan desain kurikulum sesuai tingkat Pendidikan.