Absennya Isu Perempuan dalam Cita-cita Pembangunan Capres-Cawapres

Absennya Isu Perempuan dalam Cita-cita Pembangunan Capres-Cawapres

Absennya Isu Perempuan dalam Cita-cita Pembangunan Capres-Cawapres
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Semua paslon memang memiliki visi pembangunan yang kuat. Sayangnya, dari semua cita-cita pembangunan nasional tersebut, belum ada yang spesifik membahas mengenai kaitannya dengan perempuan.

Ditengah hiruk pikuk debat Capres-Cawapres, saya rasa ada satu isu penting yang absen. Yakni isu perempuan, utamanya dalam kaitannya dengan pembangunan.

Semua paslon memang memiliki visi pembangunan yang kuat. Mulai dari ide membangun 40 kota setara Jakarta, hingga Proyek Ibukota Nusantara (IKN).

Sayangnya, dari semua cita-cita pembangunan nasional tersebut, belum ada yang spesifik membahas antara kaitannya dengan perempuan dan lebih banyak berorientasi pada aspek ekonomi, pemerataan, dan berkelanjutan.

Jangankan mengenai permasalahan perempuan dalam pembangunan, tema perempuan sendiri saja sebenarnya cukup minim dibahas dalam debat capres dan cawapres.

Data dari konde.co menunjukkan bahwa penyebutan kata ‘perempuan’ dalam dokumen visi misi ada sebanyak 9 kali (pasangan 01), 6 kali (pasangan 02) dan 2 kali (pasangan 03). Sementara, jumlah halaman visi misi cawapres terbanyak mencapai 143 halaman.

Jika dalam dokumen visi misi yang hanya diakses oleh sebagian kecil masyarakat saja sangat minim dijabarkan, bagaimana cara memperkenalkan isu perempuan ke natizen yang setiap harinya menghabiskan waktu lebih banyak di medsos daripada membaca buku?

Perempuan di Tengah Cita-cita Besar Para Capres

Saat berbicara isu perempuan dan pembangunan, saya teringat tulisan Julia Cleves Mosse dalam buku “Gender dan Pembangunan” (1992).

Salah satu pembahasan dari buku itu terkait dengan tradisi lama suku Bhil di India yang salah satu ciri khasnya ialah pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Kaum perempuan Bhil adalah aktor kunci dalam pertanian dan pengambil keputusan penting dalam rumah tangga, meskipun tidak dilibatkan dalam badan pembuatan keputusan komunitas.

Namun, peran perempuan Bhil yang teramat penting akhirnya tergusur setelah adanya inisiasi pembangunan dengan dalih modernisasi.

Pembangunan tersebut diprakarsai oleh anggapan bahwa kemajuan bangsa dapat diraih dengan cara menghilangkan tradisi kesukuan yang primitif, dan ingin membawa suku Bhil kedalam mainstream masyarakat India.

Hal demikian juga tidak asing kita temui di Indonesia. Kasus pembangunan pabrik semen di Rembang, yang menarasikan kemajuan dan pembanguan masyarakat Karst Kendeng ternyata menyisakan dampak kerugian terbesar bagi para perempuan.

Masyarakat yang awalnya memiliki kebudayaan bertani dan berkebun harus dipaksa menyerahkan hak produksinya pada Industri. Seorang istri yang awalnya bercocok tanam dan membantu perekonomian keluarga, kini tidak memiliki pekerjaan.

Bukan hanya karena sarana produksinya dirampas, namun juga karena perjanjian kerja di pabrik semen tersebut lebih banyak membutuhkan tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan.

Perempuan pun Masih Ada yang Belum Aware

Halah itu kan terjadi pada perempuan di daerah. Di di kota-kota yang pembangunannya maju sudah banyak kok parempuan yang berpikiran maju bahkan menjabat posisi penting di pemerintahan.

Pasti ada yang berargumen demikian.

Bagi saya, ya bagus, memang hal itu yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan. Namun, ketika berbicara pembangunan, dampaknya terhadap perempuan dengan latar pendidikan menengah ke bawah kerapkali luput dari pembahasan.

Jumlah perempuan seperti ini, yang biasanya hidup di pinggiran kota, tentu lebih banyak daripada perempuan yang memiliki akses pendidikan dan akses terhadap sumber kekayaan.

Justru yang membuat saya khawatir ialah bahwa perempuan yang berada di kawasan urban, yang memiliki privilege, lebih memilih untuk tidak peduli terhadap isu perempuan. Alih-alih memperjuangkan, malah sibuk memerangi narasi kritis para aktivis perempuan.

Contohnya nih, saat pak Mahfud MD mengatakan jika suami-suami yang selingkuh, dikarenakan istinya memiliki perilaku hedon dan banyak menuntut. Hal tersebut tentu saja tidak nyambung dengan perilaku korupsi suami.

Korupsi kan mens rea—keinginan jahat dari pelaku. Namun, tetap saja si istri yang disalahkan dengan membangun citra perempuan yang hedon dan mengakibatkan laki-laki mengalami nasib buruk.

Bukankah selama ini laki-laki dipersepsikan sebagai makhluk logis? Mengapa dia bisa begitu saja terpengaruh keinginan istrinya?

Mirisnya, kebanyakan perempuan jusrtu mengamini narasi Pak Mahfud.

Pembangunan Nasional vs Subordinasi Perempuan

Pembangunan suatu negara sangat berdampak terhadap isu perempuan, baik secara ekonomi dan mentalitas. Hal ini seharusnya juga menjadi perhatian bagi para calon pemimpin negara yang suka menggemborkan soal pembangunan.

Apa yang disampaikan harusnya memiliki dampak yang positif dan mengedukasi. Bukan hanya sibuk mengejar gimmick dan simpati publik melalui jargon-jargon kosong yang cenderung temporal.

Ngomongin isu perempuan memang nggak akan ada habisnya, dan permasalahan pembangunan dalam model yang dianut pemerintah saat ini akan selalu linear dengan subordinasi perempuan.

Permasalahan ini tidak akan berhenti selama pemerintah tidak serius membahas isu perempuan yang terdampak pembangunan besar-besaran di masa mendatang. Mereka perlu memahami peran dan keterampilan perempuan dalam mempertahankan identitas kulturalnya.

Keberadaan kementerian PPPA juga seperti angin-anginan. Kadang nampak, kadang enggak. Tugas pencerdasan dan kampanye yang menyuarakan kesejahteraan justu lebih banyak digaungkan oleh aktivis LSM, NGO, dan kelompok mahasiswa.

Perubahan sosial memerlukan katalis dan gerakan perempuan yang ada di Indonesia saat ini dapat menjadi katalis itu sendiri.

Gerakan yang berorientasi keadilan antar gender, ras, dan kelas yang secara tradisional tersisih dari proses politik. Gerakan yang tidak boleh berhenti untuk menjadi oposisi kritis terhadap kebijakan pembangunan yang tidak ramah perempuan.

Mari kita tunggu. Apakah pembahasan isu ini selanjutnya akan tepat sasaran, entah itu di debat capres terakhir maupun pada program-program yang dijanjikan presiden terpilih nantinya.

Ataukah isu ini tetap terpinggirkan dan para calon pemimpin tetap sibuk pada menampilkan gimmick-gimmick saja seperti yang sudah-sudah.

Penulis

Suci Nor Afifah

Manusia kelebihan energi yang biasa disalurkan melalui tulisan, baking dan nonton anime. Mengikuti isu lingkungan dan perempuan. Mari berteman di instagramku @suciahimsa_
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel