Abu Nawas, Baju Ajaib Sang Kaisar, dan Peran Intelektual

Abu Nawas, Baju Ajaib Sang Kaisar, dan Peran Intelektual

Abu Nawas, Baju Ajaib Sang Kaisar, dan Peran Intelektual
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Gerak dunia hari ini malah menghendaki budaya anti-intelektual dan pengingkaran atas akal sehat. Intelektual yang diharapkan berani mengatakan kebenaran justru jatuh pada pelacuran-pelacuran intelektual demi melayani kemapanan dan kekuasaan.

Ada satu kisah menarik seputar Abu Nawas. Suatu ketika terjadi gonjang-ganjing, huru-hara, atau kondisi sarat konflik di dalam istana Harun Arrasyid. Para menteri dianggap sebagai biang keladi. Masalahnya, belum diketahui menteri mana yang menjadi akar persoalan.

Raja lalu memutar otak, namun tak menemukan jawaban. Jari telunjuk raja pada akhirnya mengarah kepada Abu Nawas, intelektual nyentrik dengan sejuta akal, untuk mengurai kekusutan. Bukan Abu Nawas kalau sampai tak menemukan jalan keluar.

Singkatnya, Abu Nawas mengusulkan kepada raja untuk mengambil kain surban atau sarung milik raja yang sudah sangat lama tak dicuci dan berbau busuk. Lantas, dipanggillah semua menteri untuk berkumpul di pendopo istana.

“Wahai para menteriku, ini ada selembar kain sakral milik istana yang sengaja aku keluarkan. Baunya sangat wangi meski tak pernah tersapu minyak wangi ataupun sabun cuci. Namun, hanya mereka yang hatinya bersih, jiwanya jernih, yang akan mampu mencium baunya,” ucap Sang Raja sembari menyodorkan kepada menterinya.

Setelah kelima menteri kebagian giliran, satu per satu diminta berkomentar:

“Baunya sangat wangi sang raja. Sungguh, hamba tak pernah sekalipun mencium bau sewangi ini,” ucap salah satu menteri. Komentar senada berlanjut sampai menteri ketiga.

Tiba-tiba, suara berbeda keluar dari menteri keempat.

“Ampun Tuan Baginda, bau kain ini sangat busuk dan membuat perut hamba mual. Seolah-olah kain ini terakhir kali dicuci ribuan tahun lalu,” ucap menteri keempat yang langsung diamini oleh menteri kelima.

Wajah Sang Raja berbinar. Sementara ketiga menterinya pucat pasi menahan rasa takut. Kini, ia telah tahu akar masalahnya. Dengan mantap ia berkata, “Kalian bertiga harus dihukum. Kalian penghianat kerajaan.”

Ada juga kisah yang mirip dengan cerita Abu Nawas ini, berjudul “Kaisar dan Pakaian Ajaib” yang ditulis oleh H.C Andersen.

Alkisah, ada seorang Kaisar di sebuah negeri kecil nan kaya yang punya hobi berganti pakaian baru saban hari. Suatu ketika, datang padanya dua orang penjahit yang menawarkan baju ajaib kepada Sang Kaisar. Hasrat Kaisar atas pakaian terusik. Ia pun tanpa berpikir panjang menerima tawaran itu.

Namun, kedua penjahit lebih dulu mengajukan syarat. Tentu hal pertama adalah bayaran yang sangat mahal. Kemudian keduanya menambahkan, “Beri kami waktu dan ruang rahasia yang tidak bisa diintip atau dimasuki oleh orang lain untuk mengerjakan baju ajaib ini.”

Kedua penjahit itu membawa segala bahan dan peralatan yang dibutuhkan ke sebuah rumah kecil yang telah disediakan. Selama berhari-hari, bising mesin jahit, gunting, dan peralatan lainnya terdengar dari dalam rumah.

Kabar tentang baju ajaib kaisar terdengar ke seluruh penjuru negeri. Rakyat penasaran. Mereka menunggu parade besar yang menampilkan baju Sang Kaisar.

Di awal, kedua penjahit sudah menyampaikan kepada Sang Kaisar bahwa, “Hanya orang pandai, cakap mengerjakan tugas, dan bertanggungjawab yang dapat melihat baju ajaib.”

Beberapa hari kemudian, ketika dirasa baju hampir selesai, Sang Kaisar mengutus penjahit pribadinya untuk mengecek baju ajaib itu. Setelahnya, beberapa menteri utama secara bergantian juga menginspeksi kesiapan baju ajaib Sang Kaisar.

Dan kesemuanya menyampaikan kesan yang senada dengan menteri utama. Menteri utama berkata kepada kaisar dengan menyembunyikan rasa takut,” Sungguh indah Yang Mulia. Baju itu sangat cocok bagi baginda. Baju ini harus dilihat oleh seluruh rakyat kita.”

Kaisar penasaran. Esoknya ia mengunjungi kedua penjahit untuk memastikan keajaiban baju tersebut. Takut dianggap bodoh, tak cakap,  dan tak bertanggungjawab, Sang Kaisar turut memuji-muji baju tersebut.

Karnaval besar diselenggarakan untuk mengarak Sang Kaisar dengan baju barunya. Rakyat telah dikondisikan. Mereka juga takut dianggap bodoh dan tak cakap. Di sepanjang jalan, rakyat memuji-muji kerupawanan Sang Kaisar dengan pakaiannya.

Tiba-tiba, seorang anak kecil di tengah kerumunan berseru lantang kepada ayahnya, “Ayah! Ayah! Lihatlah Kaisar kita. Ia tak berpakaian sama sekali. Ayah, kenapa Kaisar kita telanjang bulat?”

Kejujuran anak kecil itu memantik penonton lainnya untuk menyampaikan kebenaran, bahwa Kaisar telanjang. Suara penonton makin jelas dan riuh. Kaisar pun malu. Ia sadar telah tertipu. Dan sejak saat itu, ia tobat untuk tidak gila terhadap pakaian baru.

Saya pikir, banyak yang tak asing dengan dua kisah ini. Jadi, mohon maaf jika terkesan buang-buang waktu. Sebenarnya, saya hanya ingin mengutarakan satu pesan penting yang akhir-akhir ini—meski tak dilupakan—sulit dilakukan. Yaitu, membahasakan kebenaran.

Peran Intelektual

Edward W. Said, seorang intelektual terkemuka berkebangsaan Palestina, pernah menulis risalah berjudul Peran Intelektual. Melalui risalah ini, Said menyajikan tapal batas yang berhubungan dengan intelektual maupun intelektualisme.

Said bertolak dari dua orang tokoh, baik kanan maupun kiri, yang telah lebih dulu bertungkus lumus dengan terma-terma seputar intelektual.

Dari Julian Benda, Said meminjam rumusan abstrak dan adi-luhung terkait siapa kaum intelektual dan apa tugasnya. Intelektual menurut Benda, yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral-filsuf raja.

Kaum intelektual ini bertugas membangun kesadaran umat manusia. Intelektual sejati haruslah mereka yang berdarah-darah menciptakan tatanan dalam masyarakat. Intelektual berpikir dan bekerja berlandaskan standar kebenaran dan keadilan abadi.

Tak banyak manusia yang mampu bekerja dengan standar dewa-dewi, nabi, atau filsuf. Karenanya, intelektual termasuk makhluk langka, lambat laun mungkin akan punah seperti Dinosaurus.

Mereka tak mengejar tujuan-tujuan praktis dan fana, melainkan kepuasan batin dan ganjaran non-materi. Rumusan Benda ini lebih terdengar moralis dan metafisis. Gambaran ini lebih cocok untuk intelektual-intelektual menara gading.

Di sisi lain, Antonio Gramsci mengajukan rumusan yang lebih konkret. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik.

Intelektual tradisional adalah mereka yang secara ajek melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Siapapun yang terpilih jadi presiden, rutinitasnya tak bergeser. Misalnya, guru, ulama, dan administrator.

Sedangkan intelektual organik digambarkan sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan politik, kelas atau latar belakang sosial, atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, seperti kekuasaan, pasar, maupun kontrol.

Intelektual organik punya peran politis dan ideologis bagi suatu kelas masyarakat. Mereka dapat berasal dari kelas maupun corak pekerjaan apapun.

Politisi punya intelektual organiknya sendiri. Begitu pula oligarki, kalangan militer, dan tentu saja, kaum buruh. Para intelektual organik ini bertindak dengan penuh kesadaran atas kelasnya.

Membahasakan Kebenaran di Hadapan Kekuasaan

Said beranjak dari dua kutub pemikiran ini untuk memberikan tawaran otentiknya sendiri. Ia mendefinisikan intelektual sebagai orang yang mampu membahasakan kebenaran di hadapan kekuasaan.

Kaum intelektual tidak takut pada tekanan jenis apapun. Intelektual harus siap menjaga negara dengan kewaspadaan. Ia juga melawan ketika ada kebenaran yang diselewengkan. Dan intelektual tidak begitu saja menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan.

Sebagaimana dua kisah di atas, kebenaran bisa terpendam karena rasa takut atau tekanan kekuasaan. Dari rumusan Said, saya melihat Intelektual harus mirip seperti anak kecil di hadapan kaisar: Jujur atas apa yang ia saksikan dan tidak mengekor terhadap suara mayoritas.

Meskipun gerak dunia hari ini malah menghendaki sebaliknya—budaya anti-intelektual dan makin kentaranya pengingkaran atas akal sehat. Dan intelektual yang diharapkan berani mengatakan kebenaran, menurut Said, justru jatuh pada pelacuran-pelacuran intelektual demi melayani kemapanan dan kekuasaan.

Bagi Said, intelektual harus senantiasa siap berada di kutub oposisi. Ia selalu mengambil jarak kritis ketika berhadapan dengan kemapanan maupun kekuasaan, dan jauh dari sikap akomodatif.

Intelektual harus selalu berani mempertanyakan dogma ajaran agama maupun propaganda penguasa. Meskipun keteguhan sikap itu dapat mengantarnya pada kesepian (soliter) dan pengasingan.

Sebagai intelektual kebudayaan tersohor, Said memberikan contoh bagaimana seorang intelektual harus berjalan di luar jalur utama.

Ia mencontohkan seorang sejarawan yang intelek harus mampu menggali dokumen-dokumen sejarah yang terpendam, menyodorkan sejarah alternatif, dan mempertanyakan sejarah resmi kekuasaan.

Karena bagi Said, tujuan kaum intelektual adalah meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Tanpa kebebasan, setiap orang berakal takut berpikir dan mengemukakan pikirannya.

Rasa takut menumpulkan kreativitas dan membungkam kejernihan suara kebenaran, sebagaimana tergambar dalam kisah baju ajaib sang Kaisar. Intelektual harus jujur sebagaimana teriakan anak kecil di tengah karnaval dan meruntuhkan narasi besar yang disepakati mayoritas.

Atau intelektual, sebagaimana Abu Nawas, yang punya tawaran cerdik untuk mengurai kelakuan busuk kekuasaan yang seringkali berkerja di keremangan. Dan pada akhirnya, kebenaran disuarakan bukan karena ia harus menang, tapi karena ia adalah kebenaran.

Wallahu A’lam Bisshowaab

Penulis

Hayyik Ali M.M

Pembakti Jam’iyyah Mucoffee
Opini Terkait

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel