4 Alasan Mengapa Kita Harus Terbiasa Makan di Tempat Penglaris

4 Alasan Mengapa Kita Harus Terbiasa Makan di Tempat Penglaris

Warung makan penglaris
Ilustrasi: Ahmad Yani Ali R.

Kalau tidak pakai penglaris, lalu apalagi cara yang bisa bikin kita mengalahkan popularitas dan modal kaum-kaum selebriti?

Warung dan rumah makan yang menggunakan penglaris ibarat pengesahan RUU Cipta Kerja : sama-sama urusan gaib. Dipercaya keberadaannya namun tidak dapat dipastikan siapa saja pelakunya. Banyak yang mengutuk, namun tidak sedikit pemujanya. Disembunyikan sedemikian rupa, namun juga jadi perihal lumrah dan sudah rahasia umum.

Penglaris sendiri punya banyak jenis. Menurut buku Kisah Tanah Jawa, kalau pakai kain kafan, nanti chara yang muncul si pocong. Kalau sempak bekas, yang muncul makhluk kecil macam smeagol-nya Lord of the Rings. Ada juga eneng-eneng penari yang bertugas menarik pelanggan.

Beberapa teman saya yang mempunyai “indra keenam” biasanya bisa mendeteksi tempat mana saja yang menggunakan hal-hal begituan. Salah satunya adalah teman yang dulu pernah satu kos dengan saya. Sebut saja Anaconda.

Anaconda sangat peka terhadap hal-hal tabu macam itu. Sampai-sampai saya malas jika harus mengajak Anaconda makan di tempat baru. Kalau makanan sudah dihidangkan dan dia diam tanpa menyentuh makanannya atau malah menolak makan, kan saya yang dilematis. Ngga melihat apapun, tapi tahu bahwa ini tempat makan ada apa-apanya. Sementara di satu sisi, rasa lapar melilit, berperang dengan imajinasi tentang air liur dan ludah pocong.

Pernah salah seorang teman melihat makhluk seperti zombie di pojokan pas lagi enak-enaknya makan. Ceritanya, tuh makhluk lidahnya melet-melet dengan lendir coklat menetes-netes. Lalu dia menjadi mual-mual dan urung menghabiskan makanannya.

Lain kesempatan, ia melakukan ‘scanning’ bersama Anaconda untuk memetakan tempat mana saja di sekitaran kos yang memasang penglaris. Hasilnya, sekitar hampir setengah dari jumlah tempat makan itu menggunakan extention gaib. Tempat makan mana saja, Anaconda enggan cerita.

Urusan makan memang urusan yang susah-susah gampang. Dari masalah ketahanan pangan nasional, sampai jawaban gebetan yang jika diajak makan bakal menjawab terserah. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, sebagai orang awam yang tidak bisa melihat hal-hal begituan, muncul pertanyaan songong dalam benak:

Kalau saya sering makan di tempat yang ada penglarisnya memangnya kenapa? Bukankah selama saya tidak tahu-menahu soal makhluk apa yang ngendon di sana itu tak jadi soal?

1. Tidak Berbahaya Bagi Kesehatan

Apa salahnya makan di tempat penglaris? Toh, tidak ada dampak apapun bagi kesehatan. Setidaknya, sampai saat ini saya belum pernah menemukan penelitian ilmiah tentang dampak buruk air liur pocong terhadap kesehatan janin. Lagian, ketimbang tempat makan yang ada penglarisnya, justru lebih berbahaya bahan makanan itu sendiri kan?.

Contoh saja gula, garam dan lemak. Ketiganya punya dampak buruk bagi kesehatan, apalagi jika dikonsumsi serampangan. Konsumsi gula tambahan dapat mendorong penyakit liver, jantung, obesitas dan penyumbatan pembuluh darah. Konsumsi garam berlebih meningkatkan resiko tekanan darah tinggi, hipertensi, dan stroke. Sedangkan, konsumsi lemak yang melebihi angka 30% dari total asupan energi per hari, bisa menjadi penyebab obesitas dan resiko penyakit jantung.

Problem kesehatan dari mengonsumsi makanan yang mengandung air liur pocong nggak seserius mengonsumsi gula, garam dan lemak secara berlebihan kok. Baru jadi serius kalau dengan memakannya, bisa bikin muka si pocong nampak di hadapan kita secara tiba-tiba waktu lagi makan. Itu jelas masalah besar.

Baca Juga: Surat Terbuka Kepada Tim Kisah Tanah Jawa

2. Alternatif Perlawanan Terhadap Monopoli Para Kapitalis

Bagi masyarakat yang gerah terhadap monopoli dari segelintir pihak yang punya modal besar, menggunakan penglaris justru alternatif yang baik. Adanya penglaris bisa jadi bentuk perlawanan mereka. Hal ini adalah solusi bagi kita-kita yang punya modal pas-pasan dan tidak punya ratusan ribu follower instagram.

Sebelum menjalankan bisnis, tidak sedikit dari kita yang memformulasikan siasat dan strategi pengembangan usaha. Kerap, strategi itu berhasil, namun tidak jarang ujug-ujug ada selebriti datang, membuka bisnis di bidang yang sama dengan kita dan menghancurkan pasar yang sudah susah payah dibangun.

Kalau tidak pakai penglaris, lalu apalagi cara yang bisa bikin kita mengalahkan popularitas dan modal kaum-kaum selebriti? Maka jangan heran, bila suatu saat nanti penglaris bisa disejajarkan dengan marxisme yang kontra terhadap kapitalisme. Sungguh revolusioner.

Baca Juga: Pertarungan ‘Buah Tangan’ Brownies Tempe & Malang Strudel

3. Mengembangkan Pariwisata Lokal

Kalau dipikir-pikir dalam skala yang lebih luas, penglaris juga bisa jadi solusi dalam memajukan pariwisata lokal. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat menyisihkan sebagian anggaran kepada UMKM di lokasi target wisata, lalu selenggarakan webinar pengembangan usaha pakai penglaris.

Jika UMKM tersebut mendapatkan banyak pelanggan kan sirkulasi turis meningkat. Hal ini bakal membuat lokasi pariwisata ramai, sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi warga sekitar karena membuka peluang kerja yang besar. Jadi menyisihkan anggaran untuk penglaris lebih menjanjikan ketimbang mengeluarkan dana buat orang-orang elit, baik pusat maupun daerah yang belum tentu kerjanya bener. Ups.

Baca Juga: Wahana Wisata Kekinian: Tempat Selfie Berbayar

4. Mau Ada Penglaris atau Tidak, Makanan Itu Juga Bicara Tentang Identitas Budaya

Tidak sepakat dengan ketiga poin di atas? Bagaimana kalau kita fokus saja pada makanannya? Menurut saya, aktivitas makan bukan lagi soal pemenuhan kebutuhan dasar saja. Tapi juga melibatkan identitas budaya, apalagi di negara dengan kulinernya yang beragam.

Saat ada orang yang menjual makanan, ia tidak hanya menjual makanan dalam bentuk fisik saja. Ada proses pengenalan dan pertukaran budaya. Tahu Campur yang asli Lamongan adalah hasil asimilasi dengan kebudayaan Tiongkok. Lima warna pada Tahu Campur sama dengan yang ada pada kostum barongsai melambangkan ‘guyub’ dan keberagaman. Namun, makanan ini biasanya dibawa oleh orang lamongan yang merantau ke luar daerah.

Tentu ada banyak lagi. Kupang Lontong, Nasi padang, Soto Lamongan, Sate Madura, atau Pecel Madiun adalah contoh lain bagaimana makanan membawa dan menawarkan identitas. Filosofi dan sejarah kuliner sudah begitu banyak dan beragam. Begitu juga dengan penyajiannya.

Baca Juga: Bubur sebagai Solusi atas Permasalahan Umat dan Bangsa

Jadi kalau suatu saat menemukan tempat makan yang ramai, daripada menduga-duga soal penglaris macam apa yang digunakan, lebih baik datang dan cicipi saja makanannya. Terlebih jika tempat itu menjual makanan-makanan tradisional. Itu akan menunjang pertukaran budaya dan identitas budayanya.

Atau kalau mau aman, masak sendiri di rumah bisa jadi pilihan lain. Kecuali bagi yang masih belum rabi dan berpenghasilan terseok-seok, bodo amat saja dengan penglaris. Itu pilihan yang paling masuk akal.

Editor: M. Erza Wansyah
Penulis
Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Ilustrator Sediksi
Opini Terkait
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Izinkan Kami Juara AFF Walau Hanya Sekali Saja
notix-opini-retargeting-pixel