Akhir-akhir ini saya punya ketakutan yang mendalam tentang suatu kebenaran bahwa perempuan berpendidikan tinggi seringkali kesusahan untuk mendapatkan jodoh. Beberapa kali saya diperingatkan dengan nada sebagai berikut:‘Coba cari pasangan dulu deh, sebelum kamu lanjut sekolah lagi!’ atau ‘Laki-laki di Indonesia itu masih feodal! Mereka nggak bakal bisa jalan sama cewek dengan pendidikan tinggi!’.
Sebagian besar yang berkata begitu adalah kawan laki-laki. Mereka tidak menampik bahwa perempuan pintar adalah bagian dari kriteria para lelaki untuk membangun mahligai rumah tangga; tetapi di satu sisi, mereka juga mengamini suatu realita bahwa laki-laki tidak menginginkan perempuan lebih menonjol dalam suatu konstruksi hubungan.
Konflik batin tersebut mutlak terjadi pada diri saya, yang saat ini tengah sibuk mendaftar berbagai aplikasi beasiswa dalam dan luar negeri. Berbagai macam pandangan mengenai maraknya fenomena perempuan berpendidikan tinggi, menjadikan saya sempat kecil hati kalau kalau tidak punya jodoh di kemudian hari.
Sesungguhnya konflik ini mungkin sangat kontekstual, juga serta merta tidak dapat dibawa pada garis besar pembahasan mengenai rumusan kesetaraan. Karena sejatinya, saya ingin lebih menelusuri, mengapa perempuan yang berpendidikan tinggi kemudian memunculkan suatu kekhawatiran bagi kaum pria untuk dijadikan pasangan atau istri di masa depan.
Bagaimana pun juga tulisan ini tidak ditujukan sebagai nada pembelaan diri, barangkali hanya sebagai referensi dari pengalaman berpikir saya yang mendalami ilmu psikoanalisis dan dinamika kesadaran manusia.
Perempuan yang Berpendidikan Tinggi
Perempuan dengan gelar pendidikan tinggi di usia produktif memang memiliki daya tarik tersendiri. Seringkali hal tersebut tercermin dari ucapan dan pembawaan yang tegas di hadapan publik.
Secara kasat mata, masyarakat memberikan apresiasi pada perempuan dengan pencapaian akademik yang tinggi melalui penghormatan dan pemberian label prestigious yang melekat pada jati diri dan lingkungan sosial tempat mereka bertumbuh dan berkembang.
Sebagaimana sejarah menceritakan peran pendidikan sebagai alat penyadaran zaman untuk mendapatkan kebebasan, maka menempuh pendidikan formal juga mengantarkan perempuan menjadi seorang yang mampu memelihara kesadaran di antara hingar bingar objektivikasi perempuan dalam suatu ikon iklan produk kecantikan.
Bagaikan oase, kesadaran tersebut mengantarkan perempuan untuk memiliki kebebasan mendefinisikan siapa dirinya, apa pilihannya dan begitulah akhirnya para perempuan yang memiliki pendidikan tinggi merepresentasikan karakter yang kuat di hadapan sosial.
Perempuan Berpendidikan dalam Suatu Hubungan
Pendidikan sebagai sebuah alat membangun kesadaran ternyata membawa perempuan pada suatu jalan aktualisasi diri yang mengikhtisarkan proses internalisasi dan kedewasaan diri. Barangkali itulah yang membuat para pria enggan menjalin hubungan pada perempuan yang memiliki pendidikan tinggi.
Kerisauan tersebut sebenarnya dapat dipahami, mengingat para laki-laki yang dominan memiliki sifat maskulin, harga dirnya akan merasa tidak aman dan terancam jika berhadapan dengan perempuan yang dapat menyetir suatu hubungan melalui akal budi dan pencapaian diri.
Betapa pun demokratisnya sebuah hubungan terbangun dan bagaimana pun segala kesepakatan telah berupaya digariskan, jika ternyata peran kesadaran perempuan dalam suatu hubungan menjadi suatu dominasi yang mengkonstruksi proses interaksi, mau tidak mau laki-laki akan menghadapi distorsi yang berkaitan dengan harga diri untuk mempertahankan suatu hubungan atau justru membenamkan situasi pada ketidakpercayaan diri.
Hal ini kemudian, seringkali menempatkan tingginya pendidikan yang telah perempuan raih, sebagai sebuah pihak yang patut disalahkan sebagai ungkapan mekanisme defensif pertahanan diri laki-laki di hadapan fragmen masyarakat sosial.
Mewujudkan Keseimbangan dalam Suatu Hubungan
Betapapun absurdnya membicarakan hal serupa jodoh ketika saya pribadi belum pernah menjalin suatu ikatan serius dengan lawan jenis, namun itu begitu nyata dalam kekhawatiran perempuan abad 21. Diskursus tentang perempuan dengan pencapaian akademik yang tinggi akan kesulitan mendapatkan jodoh adalah ketimpangan berpikir yang tersaji di atas realita kehidupan masa kini.
Kesalahan logika semacam ini memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di masa usia produktif. Hal ini juga akan menggiring pada suatu konsekuensi logis untuk memikirkan ulang tentang masa depan hubungan dan pilihan untuk meneruskan proses belajar melalui pendidikan formal.
Saya sangat tidak sepakat jika harus memilih diantara kedua pilihan tersebut. Tentu saja perempuan tetap bisa mengejar mimpinya dalam karir dan pendidikan, sembari membangun hubungan dengan seseorang. Kemudian, yang mustinya menjadi titik penyelaras dalam sebuah hubungan adalah tentang bagaimana keseimbangan dapat terbentuk melalui proporsi peran antara laki-laki dan perempuan.
Pendidikan yang tinggi memang akan memiliki pengaruh cara berpikir seorang perempuan, tetapi bukan berarti itu (pendidikan) menjadi suatu alasan ketidakberhasilan sebuah hubungan.
Terjalinnya suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan begitu kompleks dan dinamis. Ada banyak faktor keberhasilan suatu hubungan, baik itu dilakukan oleh perempuan dengan pencapaian luar biasa maupun bukan, misalnya cara memposisikan diri di hadapan pasangan, cara memperlakukan lawan jenis dengan hormat, hingga mewujudkan keseimbangan yang akan mengantarkan masing-masing untuk saling bertumbuh dan berkembang secara beriringan.
Sekali lagi, perempuan dengan pendidikan tinggi bukanlah sebuah alasan besar mengapa Ia tidak kunjung punya pasangan atau menapaki fase rumah tangga melalui pernikahan. Barangkali itu soal prinsip, suatu hal privat yang lain atau memang belum ketemu saja.