Atta Halilintar dan Bagaimana Kita Memberi Izin pada Kesombongan

Atta Halilintar dan Bagaimana Kita Memberi Izin pada Kesombongan

Opini Atta Halilintar Sombong min min
Opini Atta Halilintar Sombong min min

Seingat saya, tak ada satupun guru yang memperbolehkan kita sombong lho.

Seorang teman bertanya kepada saya: bagaimana cara menghadapi anak muda yang sombong? Alih-alih bergegas mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, saya kok justru tertarik mencari penjelasan lebih mendalam tentang apa itu sombong. Toh ya kalau mau jawaban yang lebih komprehensif, jauh lebih tepat jika mencari di Wikihow .

Singkat cerita, pencarian tentang apa itu sombong dimulai. Jurnal, esai, buku, sampai artikel populer bertopik psikologi saya jelajahi demi mengetahui berbagai hal mengenai kesombongan.Tidak ketinggalan youtube, platform yang kini lebih banyak digandrungi daripada televisi.

Dilalah, bukannya memperoleh pencerahan, saya malah disuguhi kanal youtube nirfaedah Atta Halilintar ketika melakukan pencarian video menggunakan kata kunci “sombong.”

Padahal awalnya saya berharap mendapatkan video penjelasan secara mendalam mengenai kesombongan dari berbagai sudut pandang keilmuan. Namun, harapan memang tak selalu sejalan dengan realita.

Dua dari tiga video teratas yang saya dapati adalah kanal youtube milik pria kaya raya berambut tak hitam itu. Salah satunya berjudul “ATTA SOMBONG! Aku Bukan Orang Baik. Maaf #SultengKuat #SultengBangkit.”

Video ini mengudara lewat kanal pribadi ‘Atta Halilintar’ yang sudah memiliki lebih dari 6 juta pelanggan. Bercerita tentang kunjungannya ke Palu, Sulawesi Tengah, dengan tujuan menghibur para penyintas gempa dan tsunami di sana. Bertujuan menggalang dana demi meringankan beban mereka.

Apresiasi setinggi-tingginya, dari saya untuk Atta si ‘pekerja dan pendoa keras’ yang kaya raya atas kepeduliannya. Sekalipun, saya tak tahu betul seberapa besar pengaruh apresiasi dari seorang sarjana psikologi 14 semester terhadap seorang Atta.

Tapi bagi saya, Atta tetap menjadi simbol keberhasilan manusia atas pengakuisisian nilai-nilai motivasional atas kesombongan umat manusia.

Barangkali dalam perspektif postmodernisme, Atta merupakan salah satu contoh produk unggulan. Ia sukses mendobrak dominasi objektifikasi kesombongan sebagai sifat terlarang bagi umat beragama.

Ada beberapa video Atta yang menurut saya menampilkan aksi ‘sombong’ seorang Atta Halilintar. Misalnya, “ATTA SOMBONG! Aku Bukan Orang Baik,” Prank Gold Digger yang hasil settingan itu, serta video musik berjudul “Work Hard Pray Hard”.

Anehnya, daripada disebut sombong, orang-orang justru menilai aksi tersebut mengandung pesan-pesan motivasi, kepercayaan diri dan rasa bangga. Penilaian tersebut pun terwakili oleh sebuah pesan yang disampaikan oleh Atta berbunyi, “sombong gpp, karena gw udah membuktikan usaha keras gw.”

Sedangkan apa yang saya ingat sejak TK, MI, MTs dan SMA, tidak pernah ada satupun guru yang melegalisasi sombong. Apapun syaratnya, sombong tetap terlarang. Oposisinya, kerendahan hati, justru menjadi sifat yang sangat dianjurkan: sebanyak apapun yang kita miliki, hanya perlihatkan seminimal mungkin, tapi berikan semaksimal mungkin.

Atau memang sudah ada perubahan nilai pada norma yang berlaku di Indonesia? Ketika seseorang menjadi kaya berkat usaha dan kerja keras, kemudian orang itu memamerkan menampilkan kekayaannya pada khalayak, lantas ia tidak layak disebut sombong, Sekalipun, ‘pameran’ tersebut ditampilkan secara berulang-ulang-ulang-ulang?

Kalau iya, berarti saya masih perlu banyak belajar agar mengerti bagaimana perubahan budaya dan semiotika itu bekerja. Kalau tidak, tandanya para ilmuwan psikologi harus lebih giat mengampanyekan perbedaan antara sombong dan rasa bangga kepada publik, agar akuisisi nilai-nilai positif tidak melebar ke sifat-sifat lain yang mirip dengan kesombongan. hoax dan fitnah misalnya.

Baca Juga: Homo Hoax-ensis yang Terus Eksis

Jadi, sakjane menurutmu Atta iku sombong ta gak?

Begini, sebuah pendapat menyatakan bahwa sombong diwakili oleh tiga sifat dasar manusia: narsistik, psikopati dan agresif. Pendapat lain menyebutkan, bahwa sombong itu memiliki beberapa kriteria. Di antaranya adalah perasaan ingin selalu menang, kebanggaan yang berlebihan, serta penolakan untuk ‘berafiliasi’ yang kemudian saya tafsirkan sebagai menutup telinga pada kritik dan masukan.

Penegasan berulang-ulang-ulang-ulang atas kekayaan Atta yang merupakan buah dari kerja dan doa kerasnya, saya anggap mewakili sifat narsistik manusia. ‘Perlawanan’ terhadap kritik haters dan Majelis Lucu Indonesia, melalui berbagai video klarifikasi dan video disswork hard pray hard’, agaknya juga mewakili agresifitas dan perasaan takut kalah ingin menang.

Terakhir, penutupan kolom komentar di beberapa video, menjadi tanda bahwa ia menutup telinga pada kritik dan masukan, terlebih itu datang dari haters.  

Di luar kriteria tersebut, musik bernuansa heroik yang Atta sisipkan ke dalam video aksi kemanusiaannya di Palu, serta cuplikan testimoni dan ucapan terima kasih dari warga setempat, ples adegan penggemar menyambut, sekaligus meminta foto bersama dirinya, juga merupakan sesuatu yang di luar konteks ‘aksi kemanusiaan’, alih-alih pencitraan?

Nah, jadi sampai pada premis-premis tersebut, menurut saya Atta tetap sombong. Tapi, lagi-lagi, apapun pendapat saya tentang kesombongan Atta, toh nantinya A Team akan mengeluarkan pembelaan terhadap si sulung Gen Halilintar dengan premis andalan:

“Dia itu sedang memotivasi, ‘kalau saya saja bisa, mengapa kamu tidak?’ Begitu.”

Makanya, daripada saya menguras tenaga dan membuang-buang waktu melawan anggapan fans garis keras Atta terhadap idolanya, lebih baik saya melanjutkan kehidupan saya yang kerjanya ndak keras-keras amat, doanya juga lembek.

Toh ya sejelek atau sebagus apapun pendapat saya terhadapnya, si Atta tetap akan menjadi kaya dan si miskin pun terus berlipat ganda.

FYI:

Selesai menulis saya kembali melakukan pencarian di youtube menggunakan kata kunci “sombong.” Tapi kali ini, saya pakai laptop teman. Lha kok mengejutkan. Hasil pencarian berbeda. Tidak ada satupun video Atta Halilintar di sana. Saya termenung dan terdiam, sampai pada akhirnya saya menyadari suatu hal:

Oalah, ternyata saya juga sering melihat video Atta Halilintar. Gedubrak!

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Muhamad Erza Wansyah

Muhamad Erza Wansyah

Terlanjur lulus dari jurusan psikologi di Universitas Brawijaya. Pengen punya kerajaan bawah laut.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel