Saya berpikir bahwa Bahasa Indonesia memang sukses di mancanegara. Ini saya nggak ngawur lohh yaaa.
Berdasarkan artikel yang saya baca, “Dipelajari 56 Negara, Bahasa Indonesia Bisa Jadi Bahasa Internasional “ dari Rahmat H. M tahun 2021 lalu disebutkan, Bahasa Indonesia telah tersebar di 56 negara dan terdapat 222 lembaga yang menyediakan kursus Bahasa Indonesia.
Bahasa kita juga menjadi bahasa ketiga di Asia setelah Jepang dan Mandarin yang paling sering dipelajari di banyak negara.
Faktor seperti prospek kerja atau cuma iseng-iseng boleh jadi menjadi musabab utama mengapa Bahasa Indonesia laris manis. Bahkan menghasilkan alumni yang sukses seperti vlogger Yuna Nuna dan Bandung Oppa.
Sukesnya mereka menunjukkan bahwa sistem pengajaran Bahasa Indonesia di luar negeri sudah sangat baik. Mereka dapat berbicara dan menulis dengan tata bahasa yang baik dan benar, seolah siap menjadi WNI.
Meski sangat populer di negara lain, nasibnya tidak demikian di dalam negeri sebab tingkat kemahiran Bahasa Indonesia masyarakat kita masih belum maksimal.
Laahh masa siihh? Orang kita semua bisa ngomong Bahasa Indonesia kokk.
Tingkat kemahiran tidak hanya sebatas lancar ngomong, melainkan juga berkaitan dengan pengetahuan tata bahasa, menulis secara runtut, hingga membaca secara aktif.
Fakta yang saya temui, masih banyak siswa yang memperoleh nilai Bahasa Indonesia yang rendah, bahkan sekadar di ulangan harian. Lisda Hendrajoni, anggota Komisi X DPR RI juga menyatakan hal serupa, bahwa masih banyak siswa yang nilai Bahasa Inggrisnya lebih tinggi daripada Bahasa Indonesia.
Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah memang sudah digalakkan sejak dulu, tapi saya rasa caranya masih kurang efektif.
Baca Juga: Kepada Guru Bahasa: Puisi itu Membosankan!
Pelajaran Bahasa Indonesia yang Gitu-gitu aja!
Ayoo deh kita inget-inget lagi pelajaran Bahasa Indonesia dulu sewaktu sekolah. Dari tahun ke tahun, setiap bab pada buku bahan ajar selalu menitikberatkan pada kemampuan pengetahuan atau teori saja.
Pada buku ajar SMP dan SMA kurikulum 2013, misalnya, mayoritas materi yang diajarkan adalah terkait dengan teori seperti perkenalan-perkenalan teks; eksplanasi, eksposisi, dan lain-lain yang menurut saya penggunannya sendiri tidak prospektif di masa depan.
Selama ini saya tidak pernah menjumpai ujian bahasa yang mengharuskan peserta menulis teks eksplanasi atau eksposisi. Malahan lebih banyak tentang mencari ide pokok.
Pada akhirnya, materi-materi tersebut diajarkan semata-mata untuk memenuhi kompetensi siswa dalam menghadapi ujian semester saja.
Kurikulum yang masih kurang ini, diperumit dengan minimnya keaktifan guru dalam memberikan selingan materi-materi bahasa Indonesia, disamping bab yang sedang diajarkan. Banyak guru yang lebih memilih langsung memberikan presentasi singkat yang dilanjutkan dengan mengerjakan tugas individu.
Seyogyanya, guru dapat menjelaskan lebih banyak tentang Bahasa Indonesia. Tidak hanya mencari ide pokok, topik, atau kalimat utama saja sejak SMP sampai SMA.
Baca Juga: Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa
Kegagalan dalam memberikan pengajaran yang tepat sangat berpengaruh pada keluaran yang dihasilkan. Dalam realitanya, materi-materi dalam buku ajar sekolah yang berfokus pada hafalan teori tidak muncul pada berbagai tes, terutama tes masuk perguruan tinggi, yang mana tentunya sangat krusial dalam menentukan masa depan siswa.
Contohnya SNBT (dulu SBMPTN). Materi Bahasa Indonesia yang muncul sudah mencapai uji analisis. Sebut saja materi linguistik dan sastra seperti kalimat rumpang, tata bahasa, gaya bahasa, serta analisis bacaan yang mana sangat sukar ditemukan pada kurikulum yang diterapkan di sekolah.
Sayangnya, selama 12 tahun belajar siswa malah tidak dibekali kemampuan analisis yang mumpuni. Sehingga tidak heran bila banyak peserta mendapatkan nilai rendah di tes Bahasa Indonesia.
Kalau Gini Terus, Apa Nggak Takut?
Dampak dari semua-mua ini, bisa kita jumpai pada siswa sekolah menengah hingga perguruan tinggi yang ternyata masih memiliki kemampuan menulis yang kurang.
Banyak sekali tulisan ilmiah yang kalimatnya nggak karuan. Ini sering saya temukan saat saya membaca artikel jurnal. Kesalahan paling umum yang saya temukan antara berupa kalimat tidak lengkap atau anak kalimat selalu dijadikan kalimat sendiri.
Misalnya, mereka menulis kalimat tanpa ada kata kerjanya, atau selalu menggunakan kata “karena” untuk mengawali kalimat tanpa ada kelanjutannya.
Selain itu, kurangnya literasi juga berpengaruh pada kurangnya kreativitas dalam merangkai kata. Kebanyakan mahasiswa terlalu sering mengulang suatu klausa, seperti menggunakan “hal ini dikarenakan” setiap kali menjelaskan suatu hal. Padahal ada banyak cara untuk bisa menjelaskan penyebab tanpa harus menggunakan template tersebut.
Kurangnya pengetahuan tentang linguistik juga mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mempelajari bahasa baru. Selama bersekolah, saya melihat guru jarang sekali memberikan pengetahuan tentang apa itu adjektiva, nomina, afiks, sufiks, adverbia, bahkan tentang tata bahasa lanjutan.
Ya kali sudah SMA masih berpikir bahwa kata benda atau nomina itu selalu seputar benda tidak hidup dan subjek itu selalu berupa manusia atau hewan? Hadeuh.
Baca Juga: Fenomena Maraknya Penggunaan Kata Estetik
Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan linguistik dasar akan susah untuk belajar bahasa asing, misalnya Bahasa Inggris. Bagi mereka yang sudah jago itu sudah urusan lain karena bisa jadi mereka terbiasa karena lingkungan, tapi kalau untuk orang yang benar-benar baru belajar bahasa mempelajari linguistik dasar, itu sangat berguna.
Kita jadi tahu apa itu frasa, nomina, klausa dan bagaimana penggunaannya dengan cepat serta dapat mengaplikasikan konsep tersebut dengan baik. Coba kalau nggak tahu apa-apa, pasti metodenya cuma menghafal tenses ajaa.
Saya banyak-banyak berharap, sistem pengajaran Bahasa Indonesia bisa berkembang lebih baik kedepannya. Baik dari segi kurikulum maupun kreativitas guru dalam mengajar.
Bahasa Indonesia boleh jadi yang paling populer di mancanegara, tapi kalau negeri sendiri tingkat kemampuannya masih kurang, apa nggak takut Bahasa Indonesia “dikuasai” negara lain?