Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa

Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa

Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa
Iilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Bagi sebagian anak didik, mata pelajaran ini bisa jadi menakutkan. Dari uneg-uneg ini, bukan tidak mungkin Bahasa Jawa masuk dalam kategori pelajaran momok seperti Matematika.

Bahasa Jawa merupakan sub bagian dari Bahasa Daerah yang ada di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan, Bahasa Daerah masuk kategori mulok alias muatan lokal.

Pembelajaran Bahasa Jawa ini meliputi pelajaran membaca, menulis, kesastraan, dan lain-lain. Mirip dengan pejaran Bahasa Indonesia. Bedanya, menggunakan penggunaan bahasa saja, yakni Bahasa Jawa.

Bagi sebagian anak didik, mata pelajaran ini bisa jadi menakutkan. Dari uneg-uneg ini, bukan tidak mungkin Bahasa Jawa masuk dalam kategori pelajaran momok seperti Matematika.

Tidak hanya anak didik, sebagai guru yang mengajar mapel Bahasa Jawa, saya juga mempunyai uneg-uneg. Dan sudah divalidasi oleh guru-guru Bahasa Jawa lainnya.

Baca Juga: Mengenang Taman Sriwedari, Merindukan Pendidikan yang Memanusiakan

Bahasa Jawa sepi peminat

Pada era society 5.0, Bahasa Jawa belum memiliki peminat yang banyak, alias underrated. Ada banyak faktor penyebabnya, namun ada dua yang paling dasar.

Pertama, kurangnya penghargaan terhadap Bahasa Jawa. Secara naluriah, jika kita menghargai sesuatu maka kita akan berusaha menjaganya dengan baik. Sama halnya dengan Bahasa Jawa. Ciri khas Bahasa Jawa adalah unggah-ungguh basa (tingkatan bahasa). Oleh sebab itu, jika kita menghargai Bahasa Jawa, bisa ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan unggah-ungguh basa dalam komunikasi sehari-hari.

Sayangnya, realita yang ditemui tidak demikian. Unggah-ungguh basa perlahan ditinggalkan siswa karena dianggap sulit dipelajari. Banyak siswa mengaku mengalami kesulitan dalam konsep unggah-ungguh basa. 

Kedua, menurut Tondo tahun 2009 dalam jurnal berjudul “Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis” yakni, kurangnya intensitas komunikasi berbahasa jawa dalam ranah privat dan publik.

Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa jawa dalam ranah privat dan publik. Alasan Bahasa Jawa berkurang penuturnya ialah kurang intens digunakan dalam percakapan harian. 

Ranah privat yaitu di dalam rumah. Komunikasi berbahasa jawa patut dioptimalkan oleh semua anggota keluarga. Tujuannya, memberikan pembiasaan dan kepercayaan diri dalam menyampaikan gagasan berbahasa jawa. Terbiasa mendengar, membaca, menulis dan berbicara bahasa jawa di rumah akan menumbuhkan rasa cinta pada bahasa itu sendiri.

Sedangkan contoh ranah publik adalah sekolah. Di sekolah, siswa cenderung memiliki persepsi jika komunikasi yang sopan dan universal jika menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Jawa. Bagi mereka, Bahasa Jawa hanya cocok dipakai untuk bercengkrama dengan teman. Padahal ada ragam Bahasa Jawa krama yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesopanan dan penghormatan tinggi kepada lawan bicara yang lebih tua.

Kebijakan yang mengambang

Kurikulum Merdeka Belajar sebenarnya memperhatikan Bahasa Jawa dengan baik. Ini dapat dilihat pada peluncuran Merdeka Belajar Episode 17 tentang Revitalisasi Bahasa Daerah. Tujuan utamanya menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah.

Kebijakan harus diupayakan oleh guru Bahasa Daerah. Sayangnya, tujuan itu terasa belum berimbang dengan kondisi guru Bahasa Daerah, khususnya Bahasa Jawa.

Memang, berbicara tentang guru tidak boleh dari satu pihak saja. Harus dibahas secara komprehensif. Tapi yaaa ini uneg-uneg aja siii.

Jadi begini, kesejahteraan guru-guru kita tidak bisa diandalkan hanya dari sekolah. Dulu, CPNS sedikit memberi angin segar bagi guru agar dapur tetap ngebul. Namun, pada tahun 2021 CPNS guru ditiadakan. Diganti dengan sebutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (P3K) formasi khusus guru.

Rekrutmen P3K guru pada tahun 2021 tidak ada formasi khusus untuk Bahasa Jawa. Sebagai gantinya, Guru Bahasa Jawa dapat melamar pada formasi guru Seni Budaya.

Memang, Bahasa Jawa erat berhubungan dengan budaya. Tapi kan tetap tidak nyambung kalo dipaksa masuk ke formasi mapel lain?

Bahkan bisa saja nanti saat resmi diterima P3K, guru Bahasa Jawa akan mengampu mapel Seni Budaya jika dibutuhkan sekolah. Ya, mau gimana lagi, kan daftarnya memang  guru Seni Budaya bukan guru Bahasa Jawa. Hehehe.

Kebijakan itu sempat menuai banyak keluhan. Berhembus wacana pada rekrutmen P3K 2023 formasi Bahasa Jawa dibuka. Kita bisa melihat bersama apakah wacana tersebut bisa terwujud atau tidak.

Menurut saya, formasi guru Bahasa Jawa memang perlu dibuka. P3K memiliki seleksi yang ketat, sehingga bagi guru yang lolos memiliki kualifikasi yang unggul.

Dengan kualifikasi itu, proses revitalisasi bahasa daerah menjadi lebih efektif. Jika kualitas guru bahasa daerah meningkat, maka outputnya para siswa akan mendapat proses pembelajaran yang berkualitas. 

Maraknya Lagu Dangdut Jawa Koplo

Siapa yang tidak tertarik dengan music yang easy listening, lirik yang gampang untuk sing along, dan senggakan khas yang tidak dapat ditemukan di genre musik lain?

Fenomena lagu dangdut jawa koplo ini mudah mengambil hati segala usia. Dari kacamata saya sebagai seorang guru Bahasa Jawa, fenomena ini memilki dua sisi bagi siswa.

Sisi baiknya, siswa dapat mengenal, memahami dan menggunakan diksi Bahasa Jawa baru dengan menyenangkan.

Misalnya Satru, Klebus, Rungkad dan yang terkini Cundamani. Coba tanyakan pada para siswa, mayoritas pasti paham arti kata-kata itu. Minimal pernah mendengar di fyp Tiktok lah.

Sedangkan sisi kurangnya, yaitu anggapan bahwa kata-kata kasar seperti matamu, goblok, gendhakan dan sejenisnya menjadi hal yang biasa. Kesadaran siswa pada pemilihan kata untuk berkomunikasi publik menjadi menurun.

Bisa saja di depan guru, siswa pede bilang kata-kata itu. Parahnya, jika mereka tidak merasa bersalah menggunakan kata itu kepada guru. Healah angel, angel.

Sebagai guru, saya jadi fokus pada sisi kurangnya. Maraknya kata-kata kasar dalam lingkup publik menjadi kontradiktif dengan tujuan utama pendidikan, yakni berbudi pekerti luhur.

Budi pekerti luhur dapat terlihat dari cara bertutur kata, lho. Seseorang yang memiliki gaya bicara sopan, memiliki probabilitas budi pekerti lebih baik. Mengapa demikian? Karena melalui gaya bicara, kita bisa melihat cara seseorang memperlakukan orang lain. Apakah memperlakukan orang lain dengan baik atau seenaknya.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Rifdah Awaliyah Zuhroh

Warga lokal Mojokerto yang bercita-cita jadi esais
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel