Baliho Kampanye Legislatif: Sampah Visual Miskin Gagasan

Baliho Kampanye Legislatif: Sampah Visual Miskin Gagasan

Baliho Kampanye Legislatif: Sampah Visual Miskin Gagasan
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Alih-alih mencantumkan gagasan atau tujuan mereka ke depannya jika terpilih, baliho yang tersebar ini hanya memuat foto calon yang terpampang sangat besar dan nihil gagasan selain moto dan mohon doa restu.

Dari sejak pendaftaran calon legislatif (caleg) serta pengumuman nomor urut calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) beberapa bulan lalu hingga gelaran pemilihan umum (pemilu) 2024 yang sebentar lagi menuju hari tenang, saya sebagai kawula, terus terang saja, merasa semakin muak melihat banyaknya baliho yang semakin bertebaran di jalan-jalan.

Maksud saya gini, alih-alih mencantumkan gagasan atau tujuan mereka ke depannya nanti seperti apa jika terpilih, baliho yang tersebar ini hanya memuat foto calon yang terpampang sangat besar dan nihil gagasan selain moto dan mohon doa restu.

Bagaimana kami bisa tahu bangsa dan nasib kami akan dibawa ke mana atau seperti apa jika gagasan dan tujuan kalian saja kami tidak tak tahu?

Padahal menurut saya, rakyat Indonesia nggak se-apatis itu dengan memilih calon perwakilan mereka berdasarkan foto dan amplop yang dibagikan melalui para relawannya.

Kita juga butuh aksi nyata! Kita butuh para calon pemimpin yang turun ke basis masyarakat untuk mendengarkan keresahan kita. Minimal nih ya, kalo nggak bisa turun ke masyarakat secara merata, ya tolonglah gagasannya disampaikan di balihonya.

Udah Sampah Visual, Minim Gagasan Pula

Sejujurnya, sangat miris sekali jika dipikir. Saya cukup khawatir model kampanye seperti ini bukan malah mendidik masyarakat untuk lebih melek terhadap politik tapi semakin membuat masyarakat semakin ogah dan memandang politik sebagai hal yang tabu.

Bagaimana tidak? Kontestasi politik semacam ini seolah mengajarkan kita bahwa “yang penting orang tahu dulu kita yang mana, urusan tujuan liat nanti kalo sudah jadi.”

Padahal, jika berbicara sistem demokrasi di Indonesia, sistem yang dianut adalah demokrasi representatif di mana keterwakilan rakyat di parlemen dan pemerintahan diwakilkan kepada calon legislator yang mereka pilih saat pemilu.

Saya kemudian ingat bagaimana Socrates dengan tegas menentang pemikiran demokrasi yang demikian. Dia berkata bahwa seorang pemimpin itu tidak boleh dipilih hanya karena dia populer karena itu akan menyebabkan hakikat demokrasi luntur karena sama saja menyerahkan kekuasaan kepada para pemimpin yang bejat dan korup.

Jadi, daripada jual gimmick-gimmick yang gak jelas dan hanya sekedar mampang muka dengan motto-motto yang ala kadarnya seperti bla..bla..bla maju!! Bla bla bla sejahtera!! harusnya mikir dikit lah kalau bikin gagasan.

Tapi, jika itu tidak dilakukan, justru akan sangat disayangkan karena hakikatnya kampanye calon pemimpin memang harus jual gagasan kan? Nggak hanya sekedar tempel foto dan nama yang besar kemudian meminta suara bermodal doa restu dan dukungan tapi minim substansi.

Sekitar sebulan belakangan, saya semakin risih dengan keberadaan baliho-baliho seperti ini. Sebab, hal ini hanya akan menjadi sampah visual yang mengganggu pemandangan saya pribadi dan mungkin sebagian besar masyarakat ketika melintas sehingga menimbulkan banyak asumsi.

Tak jarang banyak cletukan yang muncul dalam benak saya dan juga beberapa kawan yang saya mintai pendapat. “Mereka itu kampanye sebenarnya mau jual gagasan apa mau jual muka sih?!”

Padahal, baliho, spanduk, atau alat-alat peraga kampanye lainnya seharusnya dijadikan bahan edukasi yang mencerdaskan terkait politik sekaligus sarana komunikasi berbasis visual untuk menggagas perubahan dan mengobral janji-janji politik.

Alih-alih mencerdaskan, beberapa baliho justru hanya berisikan slogan lucu dan penuh dengan gimmick seperti “Wayah e wong tulus tampil” dengan foto emot batu atau sekedar slogan “Cah Alumni UIN.” Sejauh ini, ini yang paling jauh.

Ya maksudnya apa? Apa yang mau disampaikan? Sungguh, kampanye seperti ini memang layak dikategorikan sebagai sampah visual.

Jadi, tolong lebih bijak lagi menarik simpati kepada masyarakat dengan membuat inovasi baru. Coba tumbuhkan tren baru yang sedang hangat dan lebih bisa diterima oleh masyarakat yang hari ini semakin open minded. Jika Anda tidak punya gagasan yang menguntungkan, ya ditinggalkan! Begitu kira-kira.

Selain slogan atau gagasan yang tak dicantumkan, hal lain yang tak kalah absurd dan layak dikatakan sebagai sampah visual adalah tentang tata letak baliho-baliho tersebut yang merebak dan menjalar di segala tempat dan celah kosong.

Hampir seluruh ruang terbuka menjadi sasaran para relawan caleg dan capres-cawapres ini menggantung dan menancapkan harapan mereka.

Tidak peduli, mau itu di pertigaan, persimpangan, dan bahkan hampir setiap jalan masuk menuju gang, hingga yang lebih parah pohon-pohon pinggir jalan yang nggak salah apa-apa sampai dipaku demi memampangkan wajah-wajah yang meminta harapan dari rakyatnya.

Melihat Kredibilitas Calon Pemimpin Dari Baliho

Memangnya bisa menilai kredibilitas para calon pemimpin dari baliho?

Pertanyaan ini mungkin akan keluar di benak pembaca sembari menerka jangan-jangan saya hanya mengada-ngada. Tapi, bagi saya, para calon pemimpin ini bisa diterka dari bagaimana komposisi balihonya.

Pertama, narasi kampanye klasik yang hanya mencantumkan pesan persuasif “Mohon doa restu dan dukungannya” ini sungguh sudah tidak relevan lagi karena masyarakat tak membutuhkan itu. Minta doa restu udah kaya mau nikahan ae.

Saya sebagai konsumen atau pembaca cukup menyesalkan hal demikian karena tidak mengandung unsur informatif yang mengenalkan kita kepada para calon dan bagaimana konsep yang mereka siapkan untuk mewakili keresahan kami sebagai kawula ketika terpilih.

Maka saya patut curiga, jika para caleg yang hanya mengandalkan kata mohon doa dan restu ini memiliki kredibilitas dan elektabilitas yang kurang baik.

Kedua, para caleg yang menggunakan slogan tidak substansial dan cenderung penuh gimmick seperti “Wayahe wong tulus tampil” dengan emot batu sebesar harapan orang tua itu tentu memiliki selera humor yang cukup oke untuk berusaha memikat para kawula-kawula muda.

Namun, perlu diingat bahwa kekuasaan itu tidak hanya sekedar pada mengambil hati rakyat dengan humor receh saja. Anda sedang berkontestasi dengan mempertaruhkan kredibilitas dan harapan rakyat. Masak iya dianggap main-main?

Sebagai penutup, mungkin para timses caleg atau capres-cawapres perlu belajar lebih dalam lagi dari bagaimana cara kerja iklan baliho komersil. Mereka punya struktur penyusunan yang balance dan lebih menarik dari pada iklan kampanye para calon legislator.

Ada unsur pengenalan produk yang mereka cantumkan beserta brand ambasador sebagai pelengkap. Selain itu, kalimat persuasi yang memuat kenapa harus memilih produk tersebut serta slogan yang bertujuan agar lebih mudah diingat oleh konsumen atau pembaca juga menjadi nilai tawar lebih.

Kalo sampai di sini masih bingung juga, para timses ini mending langsung sewa jasa konsultan deh, atau mungkin joki desain grafis juga bisa, he he…

Editor: Pramana Jati
Penulis

Ahmad Maulana Jabbar

Mahasiswa Astronomi Islam. Penulis lepas. Hobi: lari-lari mengejar masa depan, dan melamun sambil nge es.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel