Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI

Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI

Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Coba bayangin, proses belajar mahasiswa bakal terganggu dengan adanya kegiatan kampanye ini. Bukan tidak mungkin, akan ada sesi di mana mahasiswa dipaksa harus menyanyikan mars partai tertentu, yang tidak sesuai dengan karakternya.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang secara gamblang mengizinkan pelaksanaan kampanye di tempat pendidikan, kini menjadi topik yang sangat sexy.

Selain dapat membuka pintu bagi peserta pemilu untuk berinteraksi dengan mahasiswa secara langsung, keputusan tersebut juga akan membawa masalah lain, yakni politisasi kampus.

Coba bayangin, proses belajar mahasiswa bakal terganggu dengan adanya kegiatan kampanye ini. Bukan tidak mungkin, akan ada sesi di mana mahasiswa dipaksa harus menyanyikan mars partai tertentu, yang tidak sesuai dengan karakternya.

Mengganggu sekali kann.

Seharusnya pendidikan tinggi menjadi tempat yang netral dan berfokus pada perkembangan ilmu pengetahuan ini. Dan terbebas dari intervensi politik apapun.

Adanya politisasi kampus malah akan mengancam integritas pendidikan dan menciptakan iklim yang kurang kondusif untuk pertukaran ide bebas, pemikiran kritis, bahkan membungkam peran aktif dari demokrasi.

Kekhawatiran Politik Pecah Belah

Kekhawatiran akan adanya pengaruh buruk dari politisasi kampus terhadap mahasiswa, memicu polemik yang signifikan di tengah masyarakat.

Kehadiran kampanye politik di kampus sangat memengaruhi suasana belajar yang tidak kondusif dan bisa berpotensi memecah belah komunitas akademik.

Hah? Kok bisa?

Imbas kampanye politik ini nanti pasti memunculkan kelompok-kelompok. Dan yang kelompok yang berseberangan dalam pilihan politik pun juga ada.

Perbedaan soal pandangan politik ini, apabila tidak dibarengi dengan kedewasaan berdemokrasi, maka akan berdampak pada konflik kepentingan antar civitas akademika. Atau yang dikenal sebagai “divide et impera”, yakni politik yang bertujuan meraih kekuasaan, dengan cara mengadu domba kelompok akademik di kampus.

Ketika lingkungan kampus menjadi medan kampanye politik yang intens, mahasiswa dan seluruh civitas akademika lainnya dapat terlibat dalam polarisasi yang kuat.

Ini tidak hanya akan memengaruhi hubungan sosial di kampus saja, tetapi juga dapat menghambat pertukaran ide dan dialog yang kritis, sehingga dapat mengurangi kerja sama antaranggota civitas akademika.

Hal ini berpotensi menciptakan lingkungan yang kurang inklusif, di mana beragam pandangan politik tidak lagi dihargai, dan mahasiswa bisa saja merasa terbebani oleh tekanan untuk mengikuti kelompok dengan pilihan politik yang sama.

Politisasi Kampus: Antara Peluang dan Tantangan

Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mendorong pemikiran kritis dan analitis, kampus perlu memberikan wadah bagi mahasiswa, staf, dan komunitas akademik untuk berpartisipasi dalam dialog politik yang konstruktif.

Dengan begitu, akan menciptakan lingkungan di mana berbagai pandangan politik dapat disuarakan, dipertimbangkan, dan diajukan untuk diskusi mendalam.

Jurgen Habermas, dalam bukunya yang berjudul “The Structural Transformation of the Public Sphere” (1962), membahas peran universitas dalam menciptakan ruang publik yang berfungsi sebagai tempat pertukaran ide politik dan diskusi.

Warga kampus butuh ruang dinamika, butuh banyak gagasan yang heterogen, agar tidak terjebak hanya pada satu struktur pola berpikir yang homogen dan statis.

Untuk itu, hadirnya kegiatan kampanye politik di kampus, sebisa mungkin harus menghindari intervesi gagasan, sehingga kebebasan menentukan hak pilih berdasarkan pikiran rasional tetap terjamin.

Rektor juga mesti berhati-hati terhadap dampak buruk pelaksanaan kampanye, yang imbasnya akan mengarah ke buruknya reputasi kampus juga.

Pengaruh tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Derek Bok dalam bukunya, “Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education” (2003), bahwa politisasi kampus dapat mengganggu kepemimpinan dan manajemen universitas, serta memengaruhi citra universitas di mata masyarakat.

Terlalu banyak agenda politis dan kehadiran politisi, dapat menciptakan kesan bahwa kampus lebih tertarik pada agenda politik daripada pendidikan dan perkembangan mahasiswa.

Apa yang bakal terjadi? Tingkat kepercayaan masyarakat akan menurun di tahun-tahun berikut. Kampus dianggap tidak mampu mencetak lulusan yang kompeten di bidang akademik lagi.

Analisis Dampak Undangan BEM UI

Di sisi lain, respons positif terhadap Putusan MK yang sensasional itupun nyatanya masih terlihat. Tanggapan demikian ditunjukkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).

Ketua BEM UI, yang dengan percaya diri mengundang bakal calon Presiden Republik Indonesia untuk berdebat membahas gagasan mereka untuk Indonesia ke depan.

Beberapa orang yang menyaksikan, mungkin sepakat dengan undangan BEM UI itu kepada para bakal calon presiden.

Mereka yang sepakat berpikir bahwa hal itu akan memberikan efek positif dalam dinamika demokrasi di lingkup internal mahasiswa.

Namun, saya kok justru khawatir dengan efeknya di kemudian hari.

Sebab, selain adanya kesan politisasi kampus, kunjungan politisi terkenal selevel Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan ke kampus, pasti memerlukan protokoler khusus, keamanan tambahan, dan persiapan logistik lainnya kan.

Ini bisa saja mengganggu jadwal perkuliahan, mengubah akses ke fasilitas kampus, dan bahkan memaksa penutupan sementara beberapa area.

Ini tentu mengganggu sekali. Sebagian besar mahasiswa akan merasa kesulitan dalam menjaga fokus studi mereka.

Terlebih lagi, jika kunjungan politisi ini memicu demonstrasi atau protes dari kelompok oposisi yang ternyata berubah menjadi konflik. Maka kunjungan kandidat tersebut berpeluang sangat buruk pada lingkungan belajar mahasiswa.

Atau, dalam kondisi yang lain, katakanlah dengan tidak hadirnya satu atau dua politisi yang diundang, akan menjadi catatan hitam buat pihak kampus.

Karena, publik akan menilai tentang adanya kecenderungan politik kampus terhadap kandidat tertentu. Ini akan menjadi salah satu pengalihan isu.

Hal serupa, tertulis di dalam artikel berjudul “The Impact of Political Climates on College Campuses” (2000). Dalam artikel tersebut, William G. Tierney mencatat bahwa kampanye politik yang terlalu terbuka di kampus dapat menciptakan kesan bahwa universitas sedang mendukung satu sisi politik tertentu.

Ketua BEM UI, beserta jajarannya, pun pihak rektorat, bisa saja diklaim sebagai pendukung kuat salah satu kandidat.

Meski saya juga tidak bisa menjamin bahwa datangnya ketiga kandidat kuat presiden RI sekaligus di arena pun bisa menjaga marwah netralitas kampus. Lohh, nggak bahaya, ta?

Pemborosan Biaya Kampus

Selanjutnya, mari kita tinjau dari sisi anggaran. Emang pengaruh bang?

Oh iyaa jelas! Persiapan dalam mendatangkan kandidat presiden sebagaimana yang dilakukan BEM UI itu, pada dasarnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Langkah ini merupakan konsekuensi logis dari tuan rumah dalam menjamu para tamu.

Ya, pemborosan besar-besaran akan terjadi apabila kampus tidak dapat mengelola pembiayaan dengan baik.

Mengutip Marvin Lazerson dalam “Higher Education and the American Resurgence” (1990), bahwa politisasi kampus dapat menciptakan pemborosan sumber daya.

Ketika kampus berani mengalokasikan sumber daya finansial dan logistiknya yang signifikan untuk kegiatan kampanye politik, maka itu sama saja dengan mengurangi efisiensi penggunaan dana pendidikan.

Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan fasilitas akademik, mendukung penelitian, atau memberikan beasiswa kepada mahasiswa bisa terbuang sia-sia.

Yah, pemborosan itu sudah pasti akan berbuntut panjang lagi-lagi terhadap reputasi kampus. Banyak pihak akan mempertanyakan apa keuntungan yang didapat dari pemborosan dana akademik tersebut terhadap peningkatan kualitas mahasiswa?

Respons terhadap Putusan MK yang memperbolehkan kampanye di tempat pendidikan tentu beragam.

Masing-masing argumen mempunyai alasan tersendiri dalam menyikapinya. Intinya, partisipasi politik di kampus melalui gelaran kampanye, menjadi bagian penting dari proses demokrasi.

Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan tindakan yang hati-hati dari seluruh pihak, agar pendidikan dan pengembangan mahasiswa, tidak tergangu dan tetap menjadi prioritas utama.

Yaaa sekadar mengingatkan, kampus kan sebagai tempat pendidikan.

Jadi, perlu mempertimbangkan dampak menyeluruh dari kegiatan kampanye politik, serta perlu menjalankan manajemen yang bijak dalam menjaga integritas dan misi mereka sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Editor: Mita Berliana
Penulis
Achmad Rohani Renhoran

Achmad Rohani Renhoran

Dosen, Penulis dan Penyayang Kucing
Opini Terkait
Kampus Mengajar: Merdeka Belajar yang Jadi Sarang Feodalisme
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel