Bukan Lagi Sang Pisang, Kini Kaesang Sang PSI

Bukan Lagi Sang Pisang, Kini Kaesang Sang PSI

Bukan Lagi Sang Pisang, Kini Kaesang Sang PSI
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kaesang tak pernah diperhitungkan untuk masuk ke dunia politik. Ia lebih memilih untuk menjadi pengusaha. Namun semua itu berubah hanya dalam dua malam, ia diangkat menjadi ketua umum PSI.

Mari memulai semuanya dengan satu pertanyaan. Siapa tokoh yang perjalanan politiknya paling sat-set?

Soeharto? Tidak. Beliau perlu ratusan ribu nyawa untuk melanggeng mulus di kancah politik.

Jokowi? Tidak juga. Beliau butuh membangun citra “orang biasa” untuk menancapkan sayapnya di politik Indonesia.

Bukan Soeharto, bukan juga Jokowi. Lalu siapa? Jawabannya adalah Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi.

Bayangkan saja, selama ini Kaesang nyaris tak pernah diperhitungkan untuk masuk ke dunia politik. Kaesang bahkan lebih memilih untuk menjadi pengusaha daripada mengikuti jejak bapaknya.

Namun semua itu berubah dalam beberapa bulan terakhir, di mana nama Kaesang tiba-tiba saja menjadi satu komoditas politik yang cukup diperebutkan.

Kaesang juga sempat digadang-gadang akan jadi bakal calon walikota Depok, Sleman, bahkan Solo. Tapi malah perjalanan politik Kaesang bukan dimulai dari sana.

Secara tiba-tiba Kaesang diangkat menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai yang katanya menjadi “representasi suara anak-anak muda”.

Ditambah, proses Kaesang menjadi ketua umum PSI ini terjadi hanya dalam waktu sekitar dua malam saja. Sat set was wes wos bangeettt kaaann..


Hah, Kaesang Jadi Ketum PSI!

Sabtu, 23 September 2023 Kaesang dikabarkan sudah menerima Kartu Tanda Anggota (KTA) PSI. Dua hari setelahnya Kaesang sudah resmi dilantik menjadi ketua umum dalam sebuah acara bertajuk “KOPDARNAS, Deklarasi Politik PSI”.

Kaesang akan menggantikan posisi mantan vokalis Nidji, Giring Ganesha yang selama ini menjadi ketua umum.

Pemilihan Kaesang yang sat-set ini terkesan agak aneh, sebab aturan pergantian ketua umum itu harus melalui kongres dan prosesnya panjang.

Tidak ada ceritanya ketua umum partai berganti hanya dalam dua malam saja, kecuali memang mereka punya kuasa dan backingan yang kuat. Tidak ada niat untuk prasangka buruk, tapi begitulah adanya.

Langkah politik PSI dengan memilih Kaesang ini terkesan bertolak belakang dengan apa-apa yang selama ini disuarakan oleh PSI. Seperti kita tahu, PSI yang katanya menjadi representasi suara anak muda, menolak langkah politik populisme semacam ini.

PSI juga sangat menolak politik dinasti, menjunjung tinggi transparansi, dan mencoba menjadi partai yang membawa suara-suara perubahan. Tapi semuanya hanya jadi omong kosong. PSI mulai kehilangan arah.

Sebenarnya, jauh sebelum memilih Kaesang menjadi ketua umum, PSI memang sudah kehilangan arah. Lihat saja bagaimana PSI di tahun 2019, kampanye PSI hanya ramai di medsos saja.

Di akar rumput, PSI nyaris tak bisa apa-apa. Hasilnya terbukti, PSI hanya menang di beberapa daerah saja. Bahkan tak lolos ke Senayan. PSI seakan hanya jadi partai kecil yang berisik di luar parlemen.

Mengenal Betapa Mencla-mencle-nya PSI

Beberapa sikap dan keputusan PSI selama ini juga tidak mengisyaratkan bahwa mereka adalah partai representasi anak muda dan partai yang membawa angin perubahan.

PSI nyaris tak pernah punya sikap tegas terhadap sebuah isu. Soal UU Ciptaker yang sempat jadi polemik misalnya. PSI mencla-mencle dan terkesan cari aman.

Serta terkesan masih mengekor dengan partai penguasa, yaitu PDIP. Tak heran jika PSI kerap disebut sebagai PDIP U-23.

Ketidaktegasan sikap PSI ini juga terlihat dari bagaimana sikap mereka terkait dinasti politik. Kalau kita ingat, tahun 2015 lalu Sekjen PSI Raja Juli Antoni mengatakan bahwa PSI sangat menolak adanya dinasti politik.

Menurutnya, dinasti politik itu hanya memproteksi kepentingan keluarga, bisnis keluarga, dan kepentingan kekuasaan.

Namun delapan tahun berselang, PSI nyatanya menjilat ludah mereka sendiri. Sama seperti partai politik lainnya, yang juga melanggengkan dinasti politik!

Pemilihan Kaesang sebagai ketua umum rasanya susah sekali dipisahkan dari praktik dinasti politik. Bagaimanapun juga, Kaesang ini anak Presiden Jokowi.

Ya meskipun Kaesang dan Jokowi beda partai, tapi keduanya ada di koalisi yang sama. Menyebar anggota keluarga di beberapa partai, bukannya ini akan lebih parah, ya?

Kita memang tidak tahu apa alasan PSI memilih Kaesang sebagai ketua umum mereka. Kaesang dipilih karena memang punya pengalaman yang mumpuni atau karena dia punya kuasa dan backingan yang kuat, kita tidak ada yang tahu alasan sebenarnya.

Yang jelas, pemilihan Kaesang sebagai ketua umum PSI ini jadi pelanggengan praktik dinasti politik dan jadi preseden yang kurang baik untuk demokrasi Indonesia.

Tapi, ada satu hal yang perlu kita sadari, bahwa dinasti politik ini ternyata masih sangat kental di Indonesia. Di berbagai daerah, apapun tingkatannya, masih sering kita lihat praktik-praktik dinasti politik.

Sebut saja dinasti politik Soeharto di era Orde Baru, dinasti Ratu Atut di Banten, Megawati dan Puan Maharani di DPR RI, hingga sekarang dinasti Jokowi di Jakarta dan Solo. Kita sebenarnya sudah akrab dengan hal ini.

Dinasti Politik di Indonesia Bukan Sesuatu yang Baru

Lalu mengapa dinasti politik ini masih terjadi? Sederhana saja, karena praktik ini sudah terjadi sejak tingkat partai politik.

Kita bisa lihat bagaimana dinasti Megawati dan Puan Maharani di PDIP. Ada juga dinasti SBY dan Agus Harimurti Yudhoyono di Demokrat. Praktik-praktik dinasti politik yang mendarah daging inilah yang pada akhirnya berusaha dibawa di ranah politik elektoral, meskipun tidak semuanya berhasil.

Selain itu, masih ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti politik ini masih kental di Indonesia. Menurut Titi Anggraeni, Direktur Eksekutih Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dinasti politik masih kental karena kaidah hukum Indonesia memungkinkan itu terjadi.

Ambang batas 20% kursi dalam pencalonan kepala daerah menjadi penyebab mengapa dinasti politik itu masih kental.

Faktor kedua adalah bagaimana parpol yang memang masih jauh dari kata demokratis. Iya, harus diakui bahwa parpol adalah lembaga yang luput untuk direformasi ketika Orde Baru jatuh.

Faktor selanjutnya kesadaran masyarakat yang masih permisif dengan dinasti politik. Masyarakat terkadang masih malah untuk cari tahu calon pemimpin. Mereka asal pilih saja, apalagi kalau tahu bahwa si B adalah anak si A, langsung pilih saja. Faktor-faktor inilah yang membuat dinasti politik masih langgeng dan kental di Indonesia.

Terus kita bisa apa? Entahlah, saya sendiri juga tidak tahu. Saya, mungkin juga kita, jelas susah untuk melawan.

Secara, mereka lebih punya kuasa, dan kalau kita melawan, mereka akan dengan mudah melawan balik. Yang bisa kita lakukan adalah menumbuhkan kesadaran diri masing-masing dan orang-orang terdekat kita mengenai bahayanya dinasti politik.

Kalau sudah tahu ada calon pemimpin yang berpotensi melanggengkan dinasti politik, ya lebih baik jangan dipilih.

Dinasti politik itu memang sudah kental dan langgeng di Indonesia. Tapi bukan berarti tak bisa dihindari, kan?

Editor: Anatasia Anjani
Penulis

Iqbal AR

Penulis lepas alias pengangguran. Kontributor lepas di beberapa media daring seperti Mojok.co., dan KumparanPlus. Rutin makan es krim.
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel