Membaca berita TNI menanggapi kritik BEM UI membuat saya cukup ketawa. Alih-alih refleksi atas tindak pelanggaran HAM, para personel TNI malah kebakaran jenggot dengan melontarkan pernyataan yang sesat pikir.
Bagaimana tidak? BEM UI sebagai sipil disuruh datang ke area konflik untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Logikanya di mana woiii!!???
Di sini, TNI merasa superior dan mendominasi. Mereka serasa terbang di atas awan, membuat setiap tindakan yang dilakukan itu benar, tak ada celah, dan tak boleh dikritik.
Superiotas mereka boleh jadi karena memang begitu kuat serta berpengaruhnya institusi ini. Ditambah lagi, gemblengan keras pada mental dan fisik di kala pelatihan membuat mereka berbeda dari manusia biasa.
Belum lagi soal sematan “mantu idaman” yang dikonstruksi dalam masyarakat. Mereka biasanya dipandang sebagai lelaki yang ideal dalam hal visualitas, materil, dan marwah.
Eh, tapi, hal-hal tersebut mungkin cuman asumsi saya aja kali yak, hehehe…
Nah, daripada keterusan dan bisa berujung dituduh melontarkan fitnah, lebih baik saya mencoba menganalisis payung permasalahan di baliknya, plus bonus solusi.
Personel TNI Tidak Salah, Maskulinitas-lah yang Salah
Saya mulai dengan menyatakan bahwa personel TNI tidak salah!! Mereka hanya korban didikan beserta budaya maskulin militer yang memang didedikasikan pada kebijakan maskulin.
Wajar saja, dalam dunia patriarkis ini militer seluruh dunia dibangun di atas kerangka maskulinitas, bahkan hyper-maskulinitas.
Pewajaran seperti ini perlu dikritisi lebih lanjut. Penting kita ketahui bahwa maskulinitas adalah hasil konstruksi sosial terhadap atribut, perilaku, dan peran yang disematkan pada laki-laki, bukan warisan biologis!
Klaim laki-laki ideal semacam prajurit militer yang gagah tangguh lagi perkasa sejatinya hanyalah konstruksi belaka. Ada banyak platform yang mereproduksi maskunilitas, salah satunya militer.
Raewyn Connel dalam buku Masculinities menyebut militer sebagai platform untuk mereproduksi maskulinitas hegemonik. Mereka yang tergabung dalam militer sudah pasti orang-orang pilihan dari persyaratan berstandar maskulinitas hegemonik, atau bisa disebut sebagai standar laki-laki paling ideal.
Kemudian, mereka dididik serta ditempa menjadi sosok prajurit lebih gagah perkasa, tangguh, jantan, kuat, keras, bahkan lebih kejam. Mental dan fisik mereka ditempa layaknya manusia setengah dewa.
Sosok demikian menciptakan hirarki yang tajam di masyarakat. Mereka sering kali merasa mendominasi/superior pada yang lain—laki-laki yang lebih lemah, perempuan, dan anak-anak.
Perasaan superior inilah yang melahirkan sekaligus melanggengkan budaya senioritas, kekerasan, perpeloncoan, anti kritik, dan hal lain yang berbau maskulin di internal maupun eksternal militer.
Didikan beserta budaya militer memang ditujukan untuk mengeksekusi kebijakan yang bersifat maskulin. Misalnya, operasi militer di Aceh, Timor Timur, serta yang masih belum selesai sampai kini, penanganan konflik di Papua.
Mengapa saya bilang itu semua kebijakan maskulin?
Karena di dalamnya menggunakan cara-cara kekerasan. Kekerasan amat lekat dengan budaya maskulinitas.
Selaras dengan Connel, kekerasan menjadi kebutuhan bagi militer. Alasannya untuk meminimalkan biaya dan korban jiwa serta mengakhiri konflik secara cepat demi keamanan para sipil.
Namun, konflik di Papua berkata lain. Cara-cara kekerasan ternyata tidak menyelesaikan konflik. Dari orde lama sampai sekarang, penggunaan kekerasan hampir selalu berujung sia-sia.
Melansir artikel The Conversation, berkisar 100.000-500.000 orang Papua terbunuh semenjak Indonesia mengambil alih Papua di tahun 1960-an. Bukan hanya sipil, namun TNI, Polri, maupun kelompok bersenjata menjadi korbannya, baik dari segi fisik maupun mental.
TNI Perlu Belajar Feminisme
Nah, berangkat dari ini, saya merasa bahwa TNI perlu belajar feminisme supaya berhenti merasa superior dan terus melanggengkan penggunaan kekerasan. Terus, bagaimana cara mereka belajar?
Saya menyarankan untuk menggunakan strategi dari Claire Duncanson dan Rachel Woodward. Dalam jurnalnya, mereka merumuskan strategi yang di sebut “Regendered Militaries”.
Strategi ini bertujuan mentransformasi institusi atau kebijakan militer agar mengarusutamakan perspektif gender. TNI yang di-regendered bisa melahirkan prajurit yang memiliki identitas pembangun perdamaian (peacebuilder) yang terbuka bagi laki-laki dan perempuan, menghargai sifat maskulin dan feminin, serta, lebih jauh lagi, mereka tidak lagi menjadi maskulin atau feminin.
Regendered Militaries sendiri dijalankan dengan 3 langkah, yakni inklusif, reversal, dan displacement.
Inklusif berarti jumlah perempuan perlu ditingkatkan dalam pemangku kebijakan dan institusi TNI. Jangan hanya proporsinya yang ditingkatkan, tapi keterlibatannya juga.
Keterlibatan dalam tanggung jawab penggunaan kekerasan—baik berupa kebijakan, operasi militer, dll.—untuk melawan dominasi maskulin.
Keterlibatan perempuan dapat menjadi proses untuk menggoyahkan maskulinitas yang berimplikasi pada diminimalisirnya atau bahkan dihilangkannya cara-cara kekerasan.
Namun, inklusif saja belum cukup. Butuh langkah reversal, yakni menilai kembali (re-evaluasi) praktik-praktik yang bersifat feminis, seperti empati, kepedulian, dan kerja sama, untuk membuktikan jika nilai feminis dapat sesuai dengan militer.
Kedua langkah tersebut akan mengantarkan pada langkah terakhir sekaligus tujuan strategis, yaitu displacement. TNI secara institusi dan kebijakan tidak lagi maskulin, namun jauh lebih cair.
Hubungan di dalamnya dibangun dengan nilai kesetaraan, empati, kepedulian, rasa hormat, serta pengakuan persamaan dan pengalaman bersama.
Alhasil, perasaan superior dan dominasi TNI pada BEM UI atau sipil lainnya, beserta kekerasan penangan konflik Papua, mungkin tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Pada titik ini, TNI akan memiliki identitas, perilaku, dan peran sebagai pembangun serta penjaga perdamaian yang melampaui gender biner. Setiap ada masalah keamanan bisa diselesaikan dengan cara damai yang tidak melulu harus melibatkan kekerasan.