Game Werewolf, legenda yang asalnya entah dari mana itu menjadi ilham bagi sebuah permainan yang akhir-akhir ini sedang naik daun di Indonesia. Werewolf Game bukanlah permainan baru. Ia sebenarnya sudah banyak dimainkan di berbagai negara dengan konsep dan versinya masing-masing, dengan sejumlah media yang turut digunakan seperti kartu ataupun media sosial. Lalu, apa kaitannya denga demokrasi?
Wikipedia menyebutkan bahwa gagasan tentang permainan ini sudah muncul sejak 1987, dan baru secara resmi diterbitkan Bazier Games dengan nama Ultimate Werewolf pada tahun 2008. Akan tetapi, Werewolf Game mendadak digandrungi di Indonesia sejak beberapa waktu terakhir, manakala Telegram menyediakan fitur permainan itu.
Tulisan ini bukan bertujuan sebagai tutorial bermain Game Werewolf di Telegram. Jadi, apabila kalian masih awam dengan permainan ini silakan googling tentang tata cara dan role yang sudah banyak tersebar di Mbah Google. Kebetulan saja, saya ikut tergerus arus kegandrungan ini dan membuat saya bergabung dengan sedikitnya tiga grup di Telegram untuk bermain.
Belajar Demokrasi dari Game Werewolf
Pada pelaksanaannya, bisa saya sebut bahwa permainan ini menerapkan konsep demokrasi. Secara sederhana, demokrasi merupakan suatu sistem di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Saya membayangkan sebuah grup permainan Werewolf adalah suatu negara yang menerapkan demokrasi sepanjang siang dan malam.
Tiap peserta, tergantung pada peran yang didapatkan, diharuskan mengambil keputusan untuk memilih peserta lain untuk dibunuh. Dalam proses pengambilan keputusan, peserta berhak menyuarakan pendapat atau pembelaan agar tidak dibunuh. Konon, demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Begitu pula pada permainan ini, semua orang memiliki kesempatan setara untuk terbunuh atau berpartisipasi membunuh.
Untuk bisa bertahan dan menang, dibutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi dan analisa yang sangat jeli, serta kemampuan retorika dalam rangka menjalankan propraganda agar peserta lain terpengaruh. Yang menarik, setiap grup Werewolf Game memiliki aturan masing-masing yang mengikat setiap anggota grup. Jika ada yang melanggar aturan, si pelanggar akan mendapat peringatan atau bahkan dikeluarkan dari grup.
Jika dikaitkan dengan konsep ketatanegaraan, ada baiknya Indonesia belajar dari permainan yang kadang-kadang bikin baper ini. Indonesia, yang sejak zaman Presiden Soekarno sudah menggadang-gadang demokrasi sebagai sistem yang dianut, mustinya tidak begitu saja mengunyah sistem yang berasal dari Barat itu secara mentah-mentah.
Sebagaimana penerapan demokrasi dalam permainan Werewolf, setiap grup tentu saja memiliki budaya yang berbeda-beda, lengkap dengan keunikan sifat anggota pada suatu grup. Dengan demikian, diperlukan penyelarasan antara budaya grup tersebut dengan konsep demokrasi yang diterapkan.
Di Fiesta Chicken Baper – salah satu grup permainan Werewolf yang saya masuki – ada aturan yang melarang setiap peserta membunuh peserta lain di hari pertama. Artinya, pihak yang mendapat peran sebagai serigala tidak bisa memakan warga. Begitu juga warga, pada saat berkumpul di sore hari untuk bermusyawarah, tidak diperbolehkan menggantung siapapun yang dicurigai sebagai serigala. Adanya aturan itu tak lepas dari kesepakatan anggota grup dengan mempertimbangkan berbagai hal demi kelancaran permainan. Tentu saja, aturan serupa belum tentu berlaku di grup lain, kondisi atau budaya di tiap grup tidak mungkin sama.
Demikanlah selayaknya Indonesia belajar berdemokrasi. Sebab, jika tidak ada penyelarasan, demokrasi yang pada mulanya memiliki semangat melawan tirani, justru berpotensi sebagai diktator mayoritas. Suara mayoritas bisa-bisa menjadi ancaman yang menindas suara minoritas. Kita juga perlu memperhatikan, betapa teraniayanya para peserta Werewolf Game yang tidak berdosa, namun dibunuh begitu saja akibat suara mayoritas.
Inilah perlunya peran-peran seperti Seer, Guardian Angle, Detectif, dan Harlot. Jika peran-peran itu diemban oleh orang yang kurang mumpuni, bisa dipastikan warga tidak akan memenangkan permainan. Pun halnya peran peran penting aparatur pemerintahan, selain harus mengerahkan segala bentuk pengabdian bagi warga, juga wajib memiliki kemampuan lebih agar dipercaya warga, didukung dengan tatanan yang relevan.
Dan yang terpenting, lagi-lagi seperti tulisan saya sebelumnya, saya perlu menegaskan bahwa kita sudah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Maka, perlu dirumuskan sebuah konsep demokrasi yang sesuai dengan Pancasila itu. Bukan seperti yang berjalan saat ini, demokrasi justru sangat berpotensi sebagai diktator mayoritas, di mana warga bahkan tidak memiliki hak suara, sebab yang memiliki suara hanya partai politik.
Hak suara yang dimiliki saat ini hanya ilusi, palsu tapi tidak tampak palsu, seakan-akan warga benar-benar punya hak. Betapa tidak, kita sebagai warga hanya disajikan beberapa pilihan yang sudah dipilihkan oleh elit politik atas nama kepentingan mereka masing-masing. Ini berarti pilihan kita adalah pilihan yang sudah dipilihkan. Belum lagi jika kita mengaitkannya dengan hegemoni yang menggebu-gebu di alam bawah sadar kita, yang dilancarkan media massa-media massa – yang dibaliknya juga mengandung kepentingan politik atau profit. Ini sepadan dengan fenomena ketika Tanner, dalam permainan Werewolf, lebih dipercaya ketimbang Seer, akibatnya fatal.
Budayawan Emha Ainun Nadjib, menyebut bahwa demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Pria yang akrab disapa Cak Nun itu mengajak kita merenung lewat kalimatnya yang saya rasa layak dijadikan penutup tulisan ini, “Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah hukum, yang berfundamen ilmu, di lingkungan pertanggungjawaban moral, dengan sirkulasi budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.”