Salah satu isu yang hangat tapi tidak gurih di lidah kita adalah bangkitnya PKI. Dikatakan hangat, karena selalu menjadi sorotan lini masa sosial media hampir setiap hari, apalagi di penghujung September. Isi beritanya bermacam-macam. Tidak jarang membuat heboh dan kerap memunculkan ketakutan bagi beberapa orang. Sebab, trauma sejarah pemberontakan PKI masih menancap kuat di batin banyak orang.
Namun tetap saja, isu ini dapat dikatakan tidak gurih, karena memang tidak enak dikunyah. Apalagi ditelan. Apalagi berharap memperoleh gizi dari makanan dari isu yang sebetulnya klise belaka. Isu yang tidak jelas sumbernya, namun jelas pesannya: ingin mencipta kegaduhan.
Artinya, kita seyogyanya sadar jika isu tersebut tidak punya nilai positif bagi kedamaian bangsa. Bahkan kalau terus membenarkannya, sama saja kita menegasikan pihak-pihak berwenang dan civil society yang selama ini menjadi tameng kita. Meyakini dengan kuat akan bangkitnya PKI, sama pula merendahkan polisi, tentara, dan ormas-ormas keagamaan – misalnya NU dan Muhammadiyah – yang ada di negeri ini. Karena merekalah yang dulu “menumpas” pergerakan PKI.
Tapi, semuanya sudah kadung menyebar. Sudah layak disebut ritual tahunan. Sebagian rakyat kita yang kadang pintar, kadang tolah-toleh, banyak yang mengiyakan. Ironis. Mereka merasa isu itu beneran ada. Walaupun ketika diberi pertanyaan sederhana tentang letak kantor dan siapa yang mengetuai, mereka tidak bisa menjawab. Tak ada bukti faktual yang bisa mereka tunjukkan.
Semua yang mereka katakan sebagai fakta tentang isu ini, ketika dikroscek ternyata masihlah berupa dugaan-dugaan. Bahkan imajinasi-imajinasi dan khayalan-khayalan. Atau paling banter hanya berupa simbol-simbol gambar palu-arit yang menempel di baju, di bendera atau di tembok-tembok.
Mereka tidak mempunyai alternatif dugaan lainnya selain itulah simbol PKI. Padahal segala fakta bisa terjadi, misalnya keisengan seseorang. Bahkan mungkin bisa saja itu sengaja dibuat-buat oleh oknum tertentu, yang ingin membakar gemuruh warganet. Supaya ombak isu yang menerjang mereka semakin dahsyat. Dan bisa menekan keyakinan mereka sehingga membenarkan gosip bohongan tersebut.
Baca Juga: Ikonoklasme: Jawaban di Balik Pelarangan terhadap Simbol, Buku, dan Film
Tidak heran mengapa media terpercaya tak pernah memuat berita ini. Media massa arus utama tak satupun pernah mewartakannya. Inilah bukti bahwa isu PKI yang menyebar seperti bau kentut, hanyalah kebohongan yang dibungkus macam-macam kalimat dahsyat agar masyarakat percaya. Terbukti banyak juga yang mempercayainya. Sudah dikatakan itu hoaks, platform cek fakta yang belakangan mulai marak dilakukan oleh media-media, mengatakan dengan tegas, itu hoaks, eh masih juga meyakininya..
Sekitar tahun 2018 silam, saya ingat kalau sempat membaca akun Facebook seorang pemuka agama yang membagi sebuah kiriman. Isinya membenarkan isu ini. Yang lebih parah lagi, dalam postingan itu tercantum fatwa yang sebetulnya melanggar hukum. Bahwa bagi siapapun yang berhasil menangkap terduga PKI, boleh bertindak main hakim sendiri! Sungguh postingan yang membuat miris. Sebab akun tersebut milik seseorang yang mendaku sebagai habib, yang saban hari mengunggah kegiatan dakwahnya berkeliling ke daerah-daerah.
Sekarang tahun 2020, isu bangkitnya PKI, tetap jadi topik ‘hangat’ bagi beberapa kalangan. Sebagian tidak lagi memedulikannya. Bisa jadi, karena momen pemilihan presiden, masih empat tahun lagi.
Sebagian yang lain? Mereka terus gencar membumikan kabar kalau PKI benar-benar akan bangkit. Dan sudah barang tentu, tagar #G30SPKI akan muncul jadi trending di twitter. Tapi, tahun ini agak berbeda, karena tagar #MenolakLupa juga ikut-ikutan bersanding, di sebuah poster, bersama tujuh tentara yang dianggap pahlawan, tapi tidak bersama jutaan orang yang jadi korban genosida.
Ada Yang Lebih Nyata Daripada Isu Bangkitnya PKI
Saya kira tidak adanya bukti yang betul-betul faktual, alias tidak bisa dilihat mata banyak orang, membuat isu bangkitnya PKI ini memang mengada-ada. Artinya, si pembuat dan penyebar isu ini sebetulnya paham bahwa memang hal tersebut tidak ada faktanya. Namanya saja mengada-ada. Mengada-adakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada.
Baca Juga: Mana Yang Lebih Seksi? Syahrini, Komunisme, atau Pancasila?
Karena itu, jika isu PKI terus-terusan diangkat dari tahun ke tahun, bisa dipastikan bahwa ada sebuah misi. Ia tidak independen sebagai isu. Ia tidak bebas nilai. Ada maksud dibalik pembuatan dan penyebarannya secara masif. Ada udang di balik batu. Sampai sekarang belum ditemukan siapa penaruh udang tersebut, meski menaruh udang sudah jadi ritual tahunan, jelang pergantian bulan menuju Oktober.
Logika awam pasti paham dengan dugaan tersebut. Apa mungkin orang sekedar iseng sampai membuat isu super sensitif itu? Apa mungkin orang bercanda dengan cara menyebar isu yang bisa membuat perang saudara terjadi? Ataukah dimungkinkan ada oknum yang ingin mengail di air keruh, yang mana dia yang mengeruhkan dan sekaligus menikmati hasilnya?
Saya kok sangat meyakini jika si pembuat dan penyebar isu ini bukanlah orang-orang yang iseng. Bukan pula orang-orang yang berkantung cekak. Mereka, pastilah kaya raya, paham sisi traumatik bangsa dan tentu mengidam kuasa. Hanya, kita sekedar butuh bukti empiris siapa dan dari kelompok mana mereka sebenarnya. Istilahnya harus ada Operasi Tangkap Tangan ala KPK.
Tapi itu bukan langkah yang menjadi wewenang kita. Tidak penting kita tahu atau tidak identitas dan motif mereka. Sebab yang paling penting bagi kita ialah semuanya sanggup mencerna isu-isu tersebut. Apalah artinya isu disebar dengan strategi yang hebat, dana yang melimpah dan kerahasiaan yang terjaga, namun tidak berhasil menimbulkan keresahan di masyarakat. Itu semua bisa terjadi sebabnya hanya satu: masyarakat semakin mampu memilah bermacam-macam berita.
Apalagi akhir-akhir ini sudah banyak oknum yang tertangkap polisi. Oknum yang sengaja menyebar postingan hoaks dan ujaran kebencian demi mengeruk keuntungan. Seharusnya lebih menguatkan lagi jika isu bangkitnya PKI memang hoaks dan punya misi meracuni pikiran masyarakat.
Baca Juga: Tan Malaka dan Masa Depan Kewarasan Kita
Kalau masih saja ada yang percaya dengan isu ini, sebaiknya perlu memeriksa jiwanya. Jangan-jangan telah terjadi penyumbatan di beberapa kelenjar otaknya. Karena untuk menelaah isu yang tidak logis ini, sebenarnya masyarakat awam bisa menggunakan perenungan sederhana. Ya itu tadi, mencari bukti pendukung yang faktual, empiris, yang bisa dilihat dengan mata wadag banyak orang. Bukti tentang ada tidaknya makhluk bernama PKI.
Bahkan perenungan tersebut tidak saja pada obyek isu PKI yang jelas bohongnya. Kitapun butuh menilai atas kemunafikan diri sendiri. Jangan-jangan sifat yang nanti pengidapnya sudah dijanjikan akan ditaruh di kerak neraka, memang nyata ada pada diri kita. Menyusup di otak dan hati. Merembes ke aliran darah kita. Munafik atas kebodohan, keegoisan dan ke-dengkal-an otak kita.
Dan nampaknya sih iya. Buktinya, yang jujur kita tolak dan yang bohong kita terima.