Etnisitas: Memahami Keberagaman, Merayakan Heterogenitas

Etnisitas: Memahami Keberagaman, Merayakan Heterogenitas

Etnisitas: Memahami Keberagaman, Merayakan Heterogenitas
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Heterogenitas etnis mendorong saya untuk merekonstruksi pemikiran dengan bertanya: Seperti apa, sih, yang disebut orang Jawa? Siapa sebenarnya orang Batak? Apa ciri-cirinya?

Sebagai anak muda Batak yang telah banyak makan tersedak asam garam dalam menggeluti dunia per-Batak-an, saya tergelitik saat membaca tulisan Mbak (ataukah harus kupanggil Ito?) Helva Silvianita mengenai stereotipe etnis.

Dalam konteks kesukuan, stereotipe biasanya muncul dari outsiders (pihak luar), yakni mereka yang “memiliki jarak” dengan suku yang dikenakan stereotipe.

Dalam antropologi, istilah keren dari metode penilaian outsiders ini ialah “pendekatan etik”. Antonimnya adalah “emik”, yakni pendekatan terhadap suatu fenomena berdasarkan perspektif insiders (pihak dalam).

Namun, kasus Mbak Helva menyegarkan perspektif. Ternyata eksistensinya sebagai seorang yang nggak outsider-outsider amat pun tak cukup untuk menyelamatkan dirinya dari serbuan peluru oknum “polisi Toba” (emak-emak Batak).

Baca Juga: Tentang Mamak-Mamak Batak dan Bahaya Laten Kenyang

Dilucuin Aja

Walau belum terlalu lama tinggal di tanah Jawa, status “perantau” membuat saya mau tak mau harus mencicipi stereotipe secara langsung. Bagaimana tidak? Saya orang Batak, lahir dan besar di tanah Melayu, eh berani-beraninya melanjutkan studi di kota ‘Indonesia mini’ bernama Yogyakarta.

Selalu saja ada orang-orang yang dengan senang hati mencap orang Batak sebagai pemilik suara menggelegar yang dapat mengalahkan sepiker.

“Teriakanmu di lantai 1, kedengaran hingga lantai 3,” ucap seorang non-Batak. “Orang Batak itu agak laen. Kalau ngomong pasti ngegas.”

Bisa jadi mereka—yang menentukan suku seseorang berdasarkan intonasi suara dan logatnya—ini di kemudian hari berkesempatan pergi ke daerah Sumatra. Lalu, terkena serangan jantung ketika menemukan orang Jawa yang lebih Batak daripada orang Batak itu sendiri.

Itu baru selembar catatan saya terkait stereotipe terhadap orang Batak. Belum lagi kalau bicara soal stereotipe terhadap rekan-rekan dari wilayah Tengah-Timur dan Timur-Tengah (dapat pula dibaca sebagai orang-orang di luar etnis arustama, contohnya Tionghoa).

Selain itu, di kampung halamannya sendiri pun tak menutup kemungkinan orang Jawa juga dilabeli oleh pihak-pihak non-Jawa.

Tak hanya intersuku, kalau saja kita mau menarik selumbar di mata sendiri, bukankah intrasuku sendiri pun bisa muncul omon-omon yang lahir dari stereotipe?

Ada Jawa yang dipandang ideal (lemah gemulai) atau yang ngapak. Ada pula yang disebut kasar karena diksi cakcukcakcuk, dlsb.

Makanya, makanan bernama “stereotipe” ini akan selalu ada, apalagi kita hidup di negara yang mengusung nilai persatuan sebagai aparatus konseptual kenegaraannya. Kita tidak hanya hidup dalam kepelbagaian, tetapi juga perlu menghidupinya, termasuk dengan cara menyantap stereotipe.

Bukan maksud hati mernomalisasi stereotipe, sebab hal itu boleh jadi menimbulkan stigma dan menghasilkan tindakan-tindakan diskriminatif.

Tulisan slengekan ini sendiri merupakan respons saya atas orang-orang yang menyenangi stereotipe. Teruntuk orang-orang demikian, kita memang perlu mengklarifikasi dan memberi counter!

Namun, supaya tak terlalu tegang dan stres, adalah bijak bagi puan dan tuan yang terhormat untuk mengetahui bahwa di Indonesia kita cuma punya dua pilihan. Kalau bukan banyakin sabar, ya, banyakin maklum.

Bahkan, bila sudah akrab, nyatanya stereotipe dapat menjadi bahan guyonan. Inilah yang kami (saya dan teman-teman saya yang berasal dari suku mana pun) lakukan sebagai upaya memahami dan merayakan keberagaman.

Kebanggaan Beretnis

Dahulu, pada masa-masa UN (Ujian Nasional) SD, saya terbiasa mengakhiri penulisan nama dengan .S (titik S) sebagai akronim dari marga saya. Namun, ketakutan akan ketidakcocokan data mendesak saya untuk memikirkan ulang penulisan tersebut.

Ada dua masalah yang saya hadapi. Pertama, huruf S itu tidak jelas. Malah, boleh disebut ambigu, sebab mayoritas marga Batak diawali huruf S. Simanjuntak dan Situmorang hanyalah salah dua dari sekian banyak marga Batak berawalan S yang populer di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, marga asli bapak saya berbeda dengan yang tercantum di Kartu Keluarga. Anehnya lagi, nama lengkap saya di sana pun tidak disusul oleh marga.

Saya tak tahu pasti siapa yang salah di sini: dukcapil atau bapak saya ketika mengisi formulir. Pada akhirnya, dengan berat hati saya menuliskan nama tanpa marga di lembar jawaban UN.

Tak dapat dipungkiri, masyarakat non-Batak kerap menganggap persoalan marga orang Batak itu ribet. Saya (dan orang Batak lainnya) pun sebenarnya mengiakan anggapan tersebut.

Seperti yang diungkit Mbak Helva, “orang Batak pemula” memang perlu berjerih lelah dalam mempelajari silsilah marga yang rumit, bahasa, adat istiadat, dan menyelisik sebab musabab keberadaan suku Batak (bak menelusuri garis keturunan dari Adam) yang ruwet.

Meskipun begitu, outsiders juga perlu tahu bahwa hal-hal semacam itu merupakan bentuk pelestarian tradisi kebanggaan kami (orang Batak) yang sifatnya esensial.

Tujuh laut samudra ‘kan kami arungi, bahkan pegunungan Himalaya pun akan kami daki, bila itu menjadi tolok ukur untuk menunjukkan besarnya rasa cinta kami terhadap budaya Batak.

Jika orang Jawa memiliki jurus ethok-ethok—yang juga menjengkelkan bagi outsiders—untuk menciptakan harmoni, maka orang Batak punya filosofi dalihan na tolu (‘tungku yang tiga’). Tujuan dasarnya mirip, yakni menjaga etiket, menjauhkan diri dari konflik, dan mencapai keselarasan.

Ringkasnya, dalihan na tolu terdiri atas 3 nasehat, yakni sikap somba marhula-hula (hormat kepada keluarga istri/ibu), elek marboru (mengayomi perempuan), dan manat mardongan tubu (menghargai saudara semarga).

Jika dua orang Batak bertemu, semenit kemudian mereka dapat terlihat sangat akrab. Di mana ada orang Batak, di situ pasti ada perkumpulan marga. Fenomena-fenomena ini sedikit banyak dipengaruhi oleh filosofi dalihan na tolu.

Jika tertarik mengetahuinya lebih mendalam, bacalah literatur-literatur terkait. Kalau mau praksis, maka menikahlah dengan orang Batak, hehehe.

Mereinterpretasi Heterogenitas

Proses memahami memang tak akan pernah tuntas. Dengan kata lain, “memahami” merupakan proses yang senantiasa on-going. Penyebab utamanya bisa kita temukan pada teori yang disampaikan oleh Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher.

Sang filsuf dan teolog Jerman tersebut berkata bahwa dalam proses pemahaman (berhermeneutika), seorang penafsir selalu memiliki “presuposisi”—atau yang umum dikenal sebagai “prasangka”.

Diperlukan kesadaran dan pengujian atas prasangka tersebut agar kondisi “prapaham” dapat bertransformasi menjadi “paham”. Walaupun sebenarnya paham, dalam pengertian yang sempurna, tak pernah benar-benar dapat digapai seutuhnya.

Seperti halnya dalam konteks dalihan na tolu. Filosofi tersebut nyatanya dapat pula disalahpahami (dan disalahgunakan).

Tak jarang saya menjumpai orang-orang yang memperlakukan teman semarga dengan begitu baik, namun memperlakukan orang yang tidak semarga dengan serampangan.

Malah, saking baiknya terhadap teman semarga, terkadang masalah-masalah yang mestinya dipolisikan justru dipandang sebelah mata.

Bayangkan bila ini terjadi dalam konteks kekuasaan politik. Alangkah mudahnya politik dinasti tercipta. Kata politik di sini tidak harus mengacu kepada “politik praktis”, tetapi soal nuansa politis yang ada dalam berbagai bidang.

Misalnya, berkaitan dengan pendidikan. Katakanlah, ada sebuah sekolah yang dipimpin seorang kepsek bermarga X.

Di sana, ada dua orang murid bermarga Y dan X yang sama-sama mengikuti seleksi untuk mewakili sekolah tersebut dalam sebuah kejuaraan. Murid bermarga Y sebenarnya lebih layak terpilih. Namun, karena sang kepsek bermarga X, maka yang mewakili sekolah justru rivalnya si Y itu.

Bila memahami dalihan na tolu dengan salah, sistem meritokrasi dapat ditukar dengan relasi orang dalam. Mirip-miriplah dengan pengubahan kriteria usia cawapres kemarin.

Begitu menyadari persoalan ini, sejak SMP saya putuskan untuk selalu memperkenalkan diri tanpa menyebutkan marga. Untungnya, kesalahan pencatatan sipil tadi mendukung saya mempertahankan sikap idealis ini.

Akan tetapi, pada kondisi tertentu, seperti dalam pesta marga, saya cukup strict (ketat) dalam menyebutkan marga saya secara blak-blakan.

Pada akhirnya, heterogenitas etnis mendorong saya untuk merekonstruksi pemikiran dengan bertanya: Seperti apa, sih, yang disebut orang Jawa? Siapa sebenarnya orang Batak? Apa ciri-cirinya?

Nyatanya, “orang Batak”, “orang Jawa”, “pribumi”, dst., tak pernah dapat diklasifikasi bagai memisahkan minyak dari air.

Ada kait kelindan antara manusia dan konteks di mana dia hidup. Mungkin saja orang Batak memegang teguh nilai-nilai ke-Jawa-an bila dia tumbuh besar di daerah dengan mayoritas penduduk suku Jawa.

Jadi, tak pernah ada orang Batak dalam pengertian asali, yakni mereka yang memenuhi semua persyaratan ideal agar layak disebut Batak sejati. Paradigma inilah yang kita perlukan untuk mengatasi sekat-sekat relasi.

Penulis

Eky Zupaldry

Senang membaca, menulis, bermain alat musik, dan membuat program-program web sederhana.
Opini Terkait
Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel