Sinetronku Sayang, Ceritamu Malang

Sinetronku Sayang, Ceritamu Malang

Sinetronku Sayang, Ceritamu Malang
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Tahun ke tahun, alur dan plot sinetron tidak pernah berubah begitu drastis. Siklus plot dan nasib tokohnya selalu konstan dan begitu-begitu saja di akhir cerita. 

Tidur tanpa TV, bagai taman tak berpenghuni. Sepi, senyap, aura kesendirian terasa amat kuat. Kira-kira begitu perasaan saya terhadap TV semenjak kecil. 

Tanpa TV, saya tidak bakalan bisa tidur. Saya sepenuhnya menyadari kalau ketergantungan. Tapi saya telanjur tumbuh besar bersama TV. 

Walaupun kadang tidak ada tayangan yang menarik, saya tetap membiarkan cahaya layarnya mencolok mata saya. Membiarkan suara sayup-sayupnya meninabobokan saya hingga terlelap. 

Entah bagaimana kala itu saya mampu tidur diiringi backsound yang biasa dimainkan ketika pelakon sinetron atau film televisi (FTV) tengah mengusung ide jahat (semoga nadanya terdengar di pikiran kamu).

Karena itu, segala lika-liku, alur, dan plot khas sinetron mampu saya hafalkan di luar kepala. Dan secara tidak sadar telah menginternalisasi kehidupan saya. 

Acara yang Begitu-begitu aja Sampai Jadi Stereotipe yang Mengakar

Pada kalanya saya merasa alur cerita sinetron tidak masuk akal. Mengapa dari tahun ke tahun, alur dan plot sinetron tidak pernah berubah begitu drastis. Siklus plot dan nasib tokohnya selalu konstan dan begitu-begitu saja di akhir cerita. 

Bahwa orang yang banyak dosa, prosesi kematiannya akan mempersulit orang sekitar. Jenazah jatuh ke dalam jurang karena keberatan dosa, misalnya.

Bahwa jatuh cinta itu semudah dua orang yang berpapasan kemudian bertabrakan, lalu buku yang dibawa jatuh berceceran, saling bertatap-tatapan, lantas tergila-gila. 

Bahwa perempuan selalu jadi penjahat utama dalam kasus perselingkuhan—padahal suaminya sendiri yang secara sadar memilih selingkuhannya ketimbang istrinya. Bagaimana geramnya tetangga saya ketika membicarakan pelakor, tanpa memedulikan bahwa pihak yang berselingkuh pun juga patut dipersalahkan. 

Atau tokoh yang baik hati kerap digambarkan sebagai sosok yang lemah dan pasrah. Semua ini, tak pelak, menumbuhkan pemikiran bahwa inilah kebenarannya. Bahwa pada masanya, saya akan mengalami peristiwa serupa. 

Bahwa begini kodratnya, kehidupan saya dan semua orang hanya berputar atau berakhir dengan nasib semacam itu. Hal ini memang tidak semestinya saya percayai secara gamblang. 

Siapa yang Salah?

Agaknya bukan cuma kenaifan saya kala kecil yang dapat dipersalahkan di sini, tetapi adalah bagaimana TV menyuapi saya setumpuk informasi ketika pikiran masih kosong melompong.

Berarti, apa permasalahannya ada di kurangnya kontrol dan pengawasan orang tua? Apakah jam tayang sinetron yang patut dipersalahkan? Atau lembaga sensor? Itu salah tiga dari sekian banyak penyebabnya, namun bukan sepenuhnya karena itu. 

Meski jam tayang tidak lagi dapat digapai anak berusia belia, pengawasan dan bimbingan orang tua terhadap apa yang anaknya tonton, ataupun lembaga sensor yang fokus menyensor tokoh Sandy dengan busana rumahannya tidak cukup menyelesaikan persoalan ini. 

Yang patut dipersalahkan, adalah bagaimana kualitas sinetron tidak lagi menuruti nilai-nilai lampau, melainkan memuat topik yang lebih mendidik. 

Karena, asli, saya salah satu penyintasnya dan dapat saya buktikan bahwa sinetron tidak hanya memengaruhi anak-anak, melainkan orang dewasa yang sehari-harinya dicecoki sinetron berpola seragam ini. 

Kecuali mulai ada kesadaran bahwa tayangan tersebut tidak sepatutnya disuguhkan kepada masyarakat luas, karena akan menimbulkan stereotipe yang mengakar hingga dipraktikkan di kehidupan nyata.

Apa yang Kita Tonton Mempengaruhi Pola Pikir

Untuk itu, tak dimungkiri, tayangan yang kita konsumsi sejak kecil dapat memengaruhi pola pikir kita hingga beranjak dewasa. 

Dalam artikel The Influence of Adolescent Soap Opera on Elementary Students’ Behaviour mengumandangkan, sikap rebel anak-anak mungkin saja datang dari sinetron, bagaimana sinetron menampilkan aksi heroiknya melawan guru, tidak mau diatur, dan membawa caranya sendiri. 

Guratan isi hati pelakon, yang sering kali dikoarkan secara terang-terangan pun turut menyumbang bagaimana cara kita berpikir. Pada intinya, sinetron memberi andil dalam hal kognitif, psikomotorik, dan moral penonton setianya. 

Mengacu pada tahap perkembangan psikososial yang digaungkan oleh E. H. Erikson, keunggulan utama anak usia sekitar 3-5 tahun adalah metode dan kompetensi. Tahap ini sering disebut sebagai latensi, atau tahap ketika manusia belajar serta menciptakan pengetahuan dan keterampilan baru. 

Seandainya kita mengetahui fakta ini, mungkin banyak dari orang tua yang lebih memperhatikan konsumsi tontonan anaknya di usia emas tersebut. Karena semakin banyak intensitas paparan media yang anak-anak terima, semakin besar kemungkinan bagi mereka untuk menirunya. 

Dalam kasus perilaku kekerasan yang ditayangkan pada media gim: semakin seseorang dihadapkan pada kondisi dan diperkuat untuk berperilaku dengan cara tertentu, semakin kuat seseorang tersebut merasa sebagai partisipan aktif dalam kondisi tersebut di dunia nyata. 

Banyak-banyakin Sinetron dengan Premis Unik nan Ciamik

Lantas, palu apa yang bisa kita gunakan untuk membongkar dinding topik kaku ala sinetron? Tentunya dengan menyusun cerita yang dapat memantik kreativitas dan, lebih bagus lagi, yang mengedukasi. 

Kalau mau begitu, ya, gak usah nonton sinetron! Nonton tayangan edukasi saja!

Kan bisa tayangan sinetron kita selipkan dengan tayangan yang edukatif dan kreatif. Bagi saya, segala tayangan dapat dibuat dengan edukatif kalau memang niatnya mengedukasi. 

Kalau niatnya bikin bulu roma berdiri, ya buat cerita seseram mungkin. Kalau mau membuat penonton berlinang air mata, ya bubuhkan trauma masing-masing (yang ini jangan ditiru). 

Pernah baru-baru ini, saya reuni dengan hobi saya (menonton TV) karena menemukan sinetron yang menurut saya ceritanya sangat menarik dan kreatif. Tayangnya jam sepuluh pagi.

Tokohnya dapat mengubah dirinya menjadi orang lain apabila ia memeluk sosok orang tersebut. Tubuh aslinya tergeletak di rumah sakit, karena kecelakaan yang menimpanya. Kemampuan yang baru-baru ini ia miliki, ia manfaatkan dalam rangka mencari siapa dalang tabrak lari yang membuatnya terbujur di ruang inap rumah sakit. Sayangnya, saya lupa judul sinetronnya. 

Bukankah premisnya menarik? Sepanjang cerita, saya tidak menemukan stereotipe yang biasanya muncul. 

Jadi, sudah semestinya sinetron penumbuh prasangka dan kesesatan ditiadakan. Saya harap, semakin banyak sinetron-sinetron dengan premis unik nan ciamik. 

Syukur-syukur kita tidak lagi menyandarkan diri pada Netflix dan platform sejenis, karena memang sulit kalau hidup tanpa menonton rekayasa kehidupan orang (baca: tokoh) lain. Karena hidup dengan kualitas tontonan yang bapuk, tak ayalnya sebuah taman yang lapuk.

Editor: Mita Berliana
Penulis
Rania Alyaghina

Rania Alyaghina

Garing di luar, lembut di dalam.
Opini Terkait
Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah
Paradoks Dangdut: Makin Ambyar, Makin Joget
Film Horor dan Formula Usang di Dalamnya

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel