Tampaknya pelaku sineas tanah air sedang gemar menciptakan film berlatar tempat kota-kota di luar negeri. Pekan ini misalnya, dua film model begitu tayang sekaligus. ‘London Love Story 3’ dan ‘Eiffel I’m in Love 2’. Sebelumnya, film-film dengan formula sama juga mengisi bioskop-bioskop di tanah air. Misalnya, film ‘Assalamualaikum Beijing’ (Cina), ‘Bulan Terbelah di Langit Amerika’, Ayat-ayat Cinta 1 & 2, ‘Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea’dan banyak lagi yang tak saya hafal.
Entah sejak kapan demam film Indonesia berlatar luar negeri mulai bersua. Mungkin, sejak novel ‘Ayat-ayat Cinta’ dan tetralogi ‘Laskar Pelangi’ meledak. Ini hanya hipotesis saya. Perlu ada penelitian lebih serius sebenarnya. Tapi, saya tak mau serius-serius di sini. Sebab ini portal opini santai, bukan portal jurnal online.
Semenjak novel itu meledak, banyak penulis dan sineas epigon meniru formula tersebut. Menonjolkan sisi luar negeri dalam film-film mereka. Pasar sedang demam luar negeri, ya sekalian saja ambil kesempatan. Cerita-ceritanya? miriplah. Kalau nggak kuliah, ya jalan-jalan ke luar negeri.
Syarat agar ceritanya menarik ada tiga. Pertama romantis. Kedua, latar tempatnya di luar negeri. Karena latarnya di luar negeri, jadinya lebih romantis. Ya kan? Coba kalau ceritanya di Songgoriti, Kota Batu, behhh, bukan romantis. Mesum itu namanya. Kurang mewah juga. Kalau ini kan sudah di hotel, di luar negeri pula. Bukan di warung kopi macam Omah Diksi yang tak ada romantis-romantisnya sama sekali. Cuih!
Lalu ketiga, tokoh utama harus sukses. Sukses kuliah atau sukses berkarir. Agar penonton terinspirasi juga untuk sukses. So, template ceritanya harus zero to hero. Misal ‘Habibie dan Ainun’ atau ‘Ayat-ayat Cinta 2’.
Habibie diceritakan dengan susah payah kuliah, meniti karir di Jerman sebagai insinyur lalu kemudian tentu saja jadi sukses. Pulang ke Indonesia, jadi menteri, lalu naik jadi wakil presiden sampai akhirnya ketiban pulung jadi presiden.
Sementara di Ayat-ayat Cinta 2 ada Fahri yang jadi dosen, punya minimarket, mampu menolong orang yang dilanda musibah sampai-sampai membelikannya rumah. Bayangkan, Fahri keterlaluan suksesnya sampai-sampai mampu beli rumah di Inggris dengan mudah bagaikan orang beli indomie goreng double plus telor di Omah Diksi. Belum lagi ia digilai mahasiswinya sendiri yang cantik macam Tatjana Saphira dan diajak nikah sama Chelsea Islan, setelah di film pertama, dia langsung dapat istri dua sekaligus. Kurang sukses apa coba?
Beda nasib dengan film ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ (Hongkong, Cina). Tokoh utamanya tenaga kerja Indonesia. Tetap berlatar tempat di luar negeri, tapi tak meledak dan kurang disambut pasar. Kenapa? Sebabnya ada dua, menurut saya. Pertama, mungkin karena kurang menarik dan bergengsi bagi sebagian besar penonton Indonesia. Tokoh-tokohnya bekerja sebagai PRT yang kemungkinan besar tidak akan sempat atau mampu mengunjungi lokasi-lokasi yang instagramable dan mewah di Hongkong.
Kedua, mungkin karena sisi romansanya kurang ditonjolkan. Padahal film yang dibintangi Titi Sjuman Rajobintang ini keren. Mampu mengeksplorasi kehidupan tenaga kerja perempuan (saya tak mau menyebut wanita). Titi Rajobintang bahkan dapat penghargaan di film ini.
Dengan kata lain, ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ tidak menginspirasi penonton Indonesia untuk sukses. Sukses berkarir di luar negeri. Makanya, film ini kurang meledak pasaran. Agar mudah dipahami, mari kita bandingkan.
Sehabis nonton ‘Ayat-ayat Cinta’: “Ah aku mau ke Mesir, jadi mahasiswa yang sukses di sana dan dapat istri cantik dua.
Sehabis nonton ‘Ayat-ayat Cinta 2’: “Ah aku mau ke Inggris, jadi dosen dan pengusaha di sana lalu dapat istri secantik Tatjana Saphira kemudian dilamar oleh Chelsea Islan.”
Sehabis nonton ‘Habibie & Ainun’: “Ah aku mau kuliah di Jerman, karena Bang Gibran yang sedang di Jerman berkata kalau di sana kuliah tak perlu keluar uang kuliah. Gratis. Dan saat aku pulang mungkin aku bisa jadi menteri seperti Habibie.”
Sehabis nonton ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Sang Pemimpi’: “Ah aku mau kerja keras, agar bisa kuliah di Sorbonne, Paris.”
Sehabis nonton ‘Minggu Pagi di Victoria Park’: “Ah aku mau ke Hongkong, jadi PRT sukses di sana.”
Untuk yang terakhir, itu tak mungkin kan? Mungkin saja sih. Tapi kemungkinan untuk terjadi kecil sekali. Sekecil rokok mild putihan yang dihisap sepuluh kali saja sudah habis. Coba saja kalau ada ABG berkata seperti yang terakhir itu di depan teman-teman sekolahnya. Kira-kira akan terjadi obrolan seperti ini.
“Eh Dul Maud, mbok yo lek duwe cita-cita iku sing genah. Mosok koen kate dadi PRT sukses neng Hongkong. Dadi Raja Judi sing sukses ae neng kono, Mbut.”
“Tapi kan judi haram.”
“Ben halal, moco doa sek sebelum masang taruhan.”
NB:
- Saya jadi ingat twit Joko Anwar. Dia berkata, kurang lebih seperti ini: “Penonton Indonesia gemar diceramahi”.
- Film ‘Dilan 1990’ adalah romansa yang bagus. Di film itu, romansa yang manis tak melulu berlatar tempat di luar negeri. Bahagia tak harus jalan-jalan ke luar negeri. Sukses tak berarti kudu teladan. Milea bahkan bisa bahagia dengan sekeping kerupuk.
- Saya sangat berharap, suatu saat akan ada sineas Indonesia yang membikin film berlatar dari negara-negara seperti Rusia atau bahkan Korea Utara. Atau, bisa saja dari negara-negara di benua Afrika dan juga negara-negara kecil di lautan Pasifik (selain Maldives tentunya). Misalnya judul filmnya nanti seperti ini: ‘Cinta Tumbuh di Zimbabwe’, ‘Astagfirullah Moskow’, ‘Love in New Guinea’, ‘Me & You at Pyongyang’ atau ‘Cintaku di Pretoria’.
- “Halah, bilang aja penulisnya nggak mampu bawa ceweknya jalan-jalan ke luar negeri. Duitnya cuma cukup bawa ceweknya ke Songgoriti sama ndelok sunrise di Paralayang. Ngopi aja masih ngutang di Omah Diksi. Pret!” (Redaktur Sediksi, 2018).
- Wahai editor Sediksi, setidaknya saya punya pacar. Lah situ?