Mari berkenalan dengan Gibranisme. Sebuah “isme” atau paham, yang merujuk pada keberanian dan kenekatan.
Pemilu 2024 adalah perkenalan filosofis, bagaimana paham ini diimplementasikan dan akan menjadi tarekat baru dalam perjalanan spiritual kita sebagai entitas komunal naif, yang mudah lupa, dan suka berdebat.
Paham ini muncul sebagai tantangan terhadap paradigma politik konvensional, dan juga mencoba menguji nalar kolektif publik tentang arti keberanian dan nyali sesungguhnya.
Gibranisme mengisi kekosongan yang tidak bisa dilengkapi oleh “isme” apapun sebelumnya, dan merajut “isme” yang sudah ada dengan memberikan aplikasi praktisnya pada bidang perpolitikan.
Bahkan, Gibranisme dapat mengubah perspektif kita terhadap sesuatu yang mustahil, saat memulai debutnya. Tidak percaya?
Baca Juga: Pilpres 2024 Butuh Sosok Nurhadi-Aldo
Bukan Hal Lazim, tapi Genuine
Pertama, mari kita telaah pandangan skeptis dari berbagai kalangan, yang melihat rezim sebagai entitas yang harus selalu salah. Mereka yang merasa selalu bersih, menilai Gibranisme berikut akrobatik di Mahkamah Konstitusi hari itu, sebagai sebuah sistem berpikir yang bukan hanya harus dikritisi, tapi juga patut dicemooh.
Namun secara bersamaan, naluri orang-orang tersebut justru mengakui bahwa inilah taktik yang belum pernah ada dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Bahkan oleh rezim sebelumnya dengan privilege dan situasi yang hampir sama.
Kedua, akhir-akhir ini pun publik kembali mendengung perihal pandangan dalam paham ini. Yang seolah mengabaikan perdebatan dan lebih memilih jalur “lebih baik menang dalam keheningan.”
Sepertinya nalar publik memang belum sampai ke sana. Ini memang bukan hal lazim, namun sesuatu yang sangat genuine.
Gibranisme tak menihilkan perbincangan, tapi pada perdebatan yang tak perlu, paham ini memandang sia-sia. Toh manusia pada dasarnya tidak suka dikritik.
Daripada hadir tapi kemudian denial terhadap kritikan, mending tidak usah mendatangi tempat bertempur dan biarkan menang tanpa orang tahu kenapa mereka kalah.
Gibranisme vs Oposisi
Mungkin kita akhirnya akan tersadar. Dan sesaat bertanya-tanya, “apakah penilaian kita terhadap Gibranisme sudah cukup fair?”, “apakah perjuangan politik seharusnya diartikan sebagai drama moralitas antara yang etis dan yang curang?”
Bahkan penganut Gibranisme sendiri tidak menganggap kontroversi apakah terkait konstitusi, keabsahan ijazah, dan perihal debat ini semacam sesuatu yang urgen. Ini murni hanya taktik, sebuah strategi kompetisi.
Setiap strategi, termasuk Gibranisme, boleh saja dikritik. Namun, diam-diam di dalamnya terdapat keberanian untuk menantang kendala apapun yang menghambat. Baik dari legalitas, konstitusi, apalagi hanya pemburu yang suka menjustifikasi: para penjaga benteng moral itu.
Di situlah kesejatiannya, Gibranisme maju menantang arus, berani terhadap resiko, bersiap dengan segala konsekuensi. Nyatanya, aman. Memang butuh nyali untuk memulai, berani berkata tidak, dan jalan kemudian terbuka lancar setelah langkah pertama.
Kita menemukan “beyond” pada paham Gibranisme. Tersebut menjadi semacam klimaks dari puncak perjuangan atas kokohnya ambisi, kuatnya tekad, hangatnya cinta kekerabatan, berani menolak yang tak umum, dan ketenangan dalam ketegangan.
Gibranisme mengantarkan kita keniscayaan baru, yang tidak selalu sejalan dengan norma yang sudah mapan yang diadopsi oleh publik kebanyakan.
Para oposisi akan memandang Gibranisme sebagai fenomena absurd, yang aneh, harus ditentang, tapi kenapa selalu berhasil dan mereka selalu kecolongan?
Jangan salahkan Gibranisme. Ia murni taktik untuk memahami arena tarung dengan segenap peraturan dan pengaturan yang kadang membingungkan, dan tak lagi relevan: obsolete.
Toh pada akhirnya, tak ada satu pun konstitusi yang dilanggar. Meski, nurani yang terkadang merasa ada yang janggal.
Baca Juga: Arsene Wenger dan Soeharto itu Sama Saja
Terima saja, Kita Bukan Gibran
Kisah Gibranisme menambah dimensi baru pada dinamika politik kita. Gibranisme adalah manivestasi dari privillege.Paham tersebut seakan “pedang excalibur” yang sudah ditentukan, hanya bisa dicabut oleh King Arthur.
Jadi tak perlu petantang-petenteng, kemudian disudut itu kita terhenyak bahwa “all in Gibranisme” adalah pemenangnya. Kita tahu diri untuk cukup berkata “tidak” saja jika bersebarangan dengan isme ini, sebab bukan tak mau, tapi memang faktanya kita tak mampu.
Namun sesungguhnya kita tercerahkan, bahwa nalar dan iman kita diuji, setidaknya pada dua hal yang utama:
- Bahwa apapun, kecuali kitab suci, boleh dan bisa saja diubah. Bukan hanya oleh paman, yang jelas punya pertalian kekerabatan, tapi oleh siapapun yang kebetulan punya akses, kursi, dan koneksi.
- Tidak semua tantangan harus diladeni, meskipun kau mempunyai semua sumber daya untuk mengalahkan segenap pertarungan. Biarlah lawan memandangmu takut, tapi sesungguhnya merekalah yang kalang kabut.
Bukankah ini semua inti dari kesejatian kehidupan: kebebasan, ego diri, dan sedikit kemunafikan? Barangkali, jika berada dalam posisi dengan keistimewaan yang sama, kita pun akan melangkah dengan standar moral yang serupa. Dan berjalan pada “jalan ninja” yang tak berbeda.
Kita sesungguhnya bukannya tidak mau atau tidak mampu. Tapi kita tidak bisa. Dan tak akan pernah bisa. Sebab nyatanya kita bukanlah Gibran.