Fenomena Startup di Indonesia: Berlomba-Lomba Jadi Pemimpin, Lah Terus Pengikutnya Siapa?

Fenomena Startup di Indonesia: Berlomba-Lomba Jadi Pemimpin, Lah Terus Pengikutnya Siapa?

Fenomena Startup di Indonesia: Antara Pemimpin dan Menjadi Good Follower
Ilustrasi: Ahmad Yani Ali R.

Kalau kita saja belum mengalami dan belajar bagaimana mengatasi masalah, mengikuti kemauan dan mendengarkan pemimpin kita terlebih dahulu, apakah kita akan mampu mendengarkan bawahan kita nanti saat menjadi pemimpin?

Startup selalu menjadi topik perbincangan menarik, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Fenomena startup ini bermunculan beberapa tahun terakhir sejak eksisnya startup-startup Indonesia yang sudah mengepakkan sayap ke kancah dunia. Gojek dengan Nadiem Makarim dan Bukalapak dengan Achmad Zaky, membuat banyak anak muda saat ini ikut terinspirasi untuk menjadi seorang entrepreneur.

Melihat banyaknya anak muda yang berani memulai bisnisnya sendiri setelah lulus kuliah, atau bahkan belum lulus, membuat saya kagum sekaligus menduga-duga. Saya sendiri pernah dan masih berpikir untuk suatu saat membuat startup sendiri. Maka dari itu, saya salut dengan teman-teman yang berani untuk memulai, bahkan sebelum mereka mempunyai pengalaman kerja.

Beberapa tahun setelah lulus dan mendengar kabar dari teman-teman, banyak dari mereka yang bertahan menjalankan bisnisnya sampai sekarang. Namun ada juga yang akhirnya menyerah, menutup bisnisnya dan bekerja di perusahaan orang. Ada juga yang kasusnya sudah beberapa kali pindah pekerjaan, dan akhirnya memutuskan untuk membuat usaha sendiri.

Fenomena startup ini kita bisa lihat di Indonesia. Berapa banyak startup-startup baru bermunculan, namun tidak lama dari itu namanya pun tidak pernah muncul lagi. Bahkan situsnya pun sudah tidak tersedia. Yang saya dapat dari CNBC Indonesia, 65% startup gagal karena masalah tim, cekcok diantara pendiri atau masalah lain.

Untuk kasus teman-teman saya yang membuka usaha sendiri setelah beberapa kali pindah pekerjaan (dalam hitungan bulan) ini agak menarik. Karena yang saya amati, mereka adalah orang-orang yang terkenal idealis waktu zaman kuliah. Tipe mahasiswa-mahasiswa yang selalu “bergerak” dan  menginginkan perubahan dalam setiap hal yang tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Orang-orang yang memang terbiasa jadi pemimpin seperti ketua acara, ketua organisasi, dan seterusnya.

Yang membuat saya berpikir lagi, kenapa orang-orang ini setelah masa “kepemimpinan” mereka di masa kuliah berakhir, cenderung bingung menentukan apa yang harus mereka lakukan dan tidak bisa dalam waktu lama menjalani apa yang dipilih?

Baca Juga: Pemburu Lowongan Kerja Menolak Harapan Palsu

Setelah saya amati, kebanyakan dari teman saya yang terlihat ‘bingung’ dan akhirnya memutuskan untuk membuka usaha sendiri, alasannya adalah karena value pekerjaan atau perusahaan yang tidak sesuai dengan diri mereka. Ada juga yang tidak merasa pekerjaan yang dilakukan dapat berkontribusi untuk masa depan mereka. Sehingga, mereka memutuskan untuk membuat sesuatu dimana mereka bisa menjalani pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka ini. Pun, kebanyakan dari cerita-cerita pengusaha yang saya tahu, juga mendirikan usahanya karena tidak menemukan tempat dimana mereka benar-benar cocok. Namun, banyak dari mereka yang sebelumnya sudah punya pengalaman bertahun-tahun bekerja dengan orang lain.

Menurut saya, menjadi idealis untuk membuat bisnis sendiri yang sesuai dengan value hidup yang Anda percaya memang baik. Tapi, untuk jadi orang yang cukup kuat untuk mewujudkan itu semua, bukannya semua butuh proses? Dan apakah bekerja dengan orang lain, menjadi good follower terlebih dahulu tidak dapat dikategorikan sebagai proses untuk menuju kesana?

Saya pun masih berkeinginan untuk mempunyai bisnis sendiri yang bisa menopang hidup saya nantinya. Bisnis yang dapat saya lakukan sepenuh hati dengan minat dan passion saya. Namun tentunya saya sadar, untuk “modal nekad” dan “modal idealisme” tidak cukup untuk kondisi saya.  

Ada kutipan dari mantan VP executive HP, Vyomesh Joshi, “latihan menjadi pemimpin yang baik, bisa dimulai dari menjadi pengikut yang baik (good follower), dan pemimpin yang baik akan terus melatih menjadi pengikut dalam masa kepemimpinannya” (UNC Development Blog).

Jadi begini, kalau kita saja belum mengalami dan belajar bagaimana mengatasi masalah, mengikuti kemauan dan mendengarkan pemimpin kita terlebih dahulu, apakah kita akan mampu mendengarkan bawahan kita nanti saat menjadi pemimpin?

Presiden dituntut mendengarkan rakyat, menyesuaikan kondisi rakyat dan menjadi pengikut kemauan rakyat dan menentukan keputusan terbaik. Begitu juga ketika anda memimpin perusahaan sendiri. Jadi, kalau kita saja belum bisa menjadi good follower,dan tidak dapat memberikan hasil pekerjaan yang baik, bagaimana kita akan menjadi pemimpin di kemudian hari?

Slogan-slogan organisasi yang memberikan motivasi anak muda sekarang menjadi pemimpin memang bagus sebagai motivasi dan semangat untuk generasi muda. Kita dibuat percaya bahwa setiap dari kita bisa menjadi pemimpin yang dapat berkontribusi untuk bangsa dan negara.

Eits, tapi, dengan tidak dapat menyesuaikan diri di berbagai kondisi lingkungan, bukankah berarti kita tidak dapat memimpin diri kita sendiri? Mengendalikan diri dan emosi juga termasuk cara memimpin diri sendiri lho. Tidak harus melulu dengan membentuk sesuatu yang baru atau membuat suatu gerakan baru.

Ada banyak hal yang harus dilalui dulu untuk para anak muda sekarang yang berkeinginan menjadi pemimpin. Mendirikan bisnis startup sendiri tidak hanya menjadi ‘pelarian’ karena banyaknya hal-hal di kehidupan nyata yang tidak sesuai dengan keinginan. Bukan hanya sekadar gaya untuk menunjukkan bahwa kita mampu berdiri sendiri.

Bekerja dengan orang lain dan menjadi good follower adalah salah satu cara dan proses untuk seorang pemimpin tumbuh. Sekali lagi, apakah fenomena anak muda mendirikan startup di Indonesia sendiri saat ini merupakan hasil dari idealisme, atau pelarian karena tidak bisa menjadi good follower? Sepertinya beda tipis, ya?

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Selena Dennysal

Selena Dennysal

Penulis konten dan SEO di Gogoprint Indonesia.
Opini Terkait
Patut Dicoba: 8 Pekerjaan untuk Para Caleg yang Gagal di Pemilu 2024
Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong
Kultur Rekrutmen Kerja yang Makin Jancuk
notix-opini-retargeting-pixel