Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong!

Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong!

Menulis untuk Keabadian itu Omong Kosong
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kita bisa meromantisisasi betapa kerennya berkarir sebagai penulis. Namun realitanya, banyak kesulitan yang harus dihadapi oleh penulis hari ini.

Dipikir-pikir, menjadi penulis itu keren. Bisa menuangkan apa yang ada dalam tempurung kepalanya, mempengaruhi kepala lain lewat tulisannya. Dari sana, nama penulis bisa menjadi besar. Lalu ketika si penulis meninggalkan dunia, ia masih eksis bagi generasi selanjutnya. 

Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toerorang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan  dari sejarah. Menulis adalah bekerja  untuk keabadian.

Nyawa seorang penulis bisa saja mati, namun karyanya abadi. Seperti Pram, yang telah wafat, namun karya-karyanya masih melekat.

Yaa, kita bisa meromantisisasi berkarir sebagai penulis seperti itu. Realitanya, banyak kesulitan yang harus dihadapi seorang penulis hari ini. 

Beban Kerja Elit, Upah Sulit

Misalnya, kesulitan internal. Penulis harus mengelola emosi dan mengatur mood agar konsisten menulis, melawan writer block, peka terhadap sekitar dan menjadikannya sebuah inpirasi, dan mengatur waktu agar tidak ngap-ngapan dikejar deadline.

Adapun kesulitan eksternal. Ini paling susah. Masih banyak penulis kurang dihargai. Dengan kata lain, tidak diberi upah yang pantas.

Beberapa teman yang bekerja sebagai content writer di sebuah media massa ternama, mengalami hal yang sama. Alih-alih mendapat upah yang mahal, karya pun kadangkala tak dihargai dalam bentuk moralitas.

Beberapa dari mereka, digaji hanya berdasarkan jumlah viewers atau jumlah pengunjung yang membaca tulisan kita.Ditambah, tidak ada transparansi mengenai perhitungan upah dari jumlah viewers yang didapatkannya per tiga bulan sekali. 

Kejam nggak sii?

Bayangin deh, ia setiap pagi, siang, atau sore harus meluangkan waktunya untuk mencari dan berpikir berita apa atau artikel apa yang hari itu akan ditulis. Tak hanya itu, ia juga harus memastikan kalo berita yang dituliskan orisinil, berdasarkan fakta, tidak boleh asal ambil sumber berita.

Tak jarang, ada yang harus mencari foto atau ilustrasi untuk tulisan yang dibuatnya. Serta benar-benar memperhatikan hak cipta, apabila foto tersebut mengambil dari internet atau media sosial seseorang. 

Semua kerja keras tersebut digaji tiga bulan sekali. Dan teman-teman saya hanya akan mendapat upah, apabila keseluruhan tulisan yang dibuatnya, memiliki nilai kalkulasi dari jumlah viewers dan rupiah yang minimal senilai Rp 500.000. Miris!

Hak yang Dikerdilkan

Belum lagi tingginya persaingan content writer di media massa onlineMengingat tidak hanya satu dua penulis yang dibayar berdasarkan viewers, mau tidak mau terkadang penulis menghalalkan segala cara untuk meningkatkan traffickontennya di Google. Dan tindaikan ini seakan dibenarkan oleh pihak editor bahkan pihak redaksi media.

Contohnya perkara copy-paste (copas), ini dianggap suatu kewajaran yang bisa begitu saja dimaafkan untuk mencapai target viewers

Hal semenjijikan ini nyatanya juga harus dialami oleh teman saya yang notaben bekerja untuk media massa nasional yang bereputasi. Belum selesai perkara upah yang masih diawang-awang, dia juga harus mendapati tulisannya di copas oleh networking dari media yang mempekerjakannya. 

Teman saya ditugaskan untuk menulis konten-konten khusus untuk website dibayar berdasarkan viewers oleh media A. Tapi, konten tersebut dicopas pleekk ketiplek oleh media B. Yang berarti, teman saya tidak memiliki hak royalti atas konten di media B. Karena, perhitungan royalti hanya diperoleh  hanya didasarkan pada viewers di website media A.

Betapa menjengkelkan. Kita yang susah-susah bikin, orang lain malah seenak jidat “nyolong” dan menikmati hasilnya. Kan nggak adil!

Teman saya pernah mengadukan kasus ini pada Pimpinan redaksi (Pimred). Berharap diberikan solusi, lebih-lebih memberikan terguran pada pihak media yang mengcopas. Ehhh secara terang-terangan Pimred malah mengatakan, bahwa hal tersebut tidak masalah, sesama networking harus saling membantu. Wohh aseemm aseeemm!

Lebih parahnya lagi, teman saya sempat mendapatkan surat peringatan pemberhentian kerjasama dari HRD tempatnya bekerja tersebut karena sikap kritisnya.

Melihat cerita dari teman saya ini, sungguh, tidak bisa dinalar perkara copas dibiarkan dan hak seorang penulis dikerdilkan.

Beratnya bekerja sebagai penulis tak hanya dirasakan oleh penulis-penulis konten di media massa online maupun untuk kepentingan marketing. Menjadi seorang penulis buku, baik fiksi maupun non-fiksi juga mengalami kesulitan. 

Menjadi penulis buku itu seperti berdagang tulisan, kalau banyak yang membeli maka akan menghasilkan sebaliknya kalau tidak banyak yang membeli maka bisa jadi tulisan yang dibuat tidak bernilai rupiah.

Dari semua kesukaran yang dirasakan oleh penulis, saya rasa melakukan kerja menulis hari ini untuk keabadian itu omong kosong. 

Beban yang berlipat ganda, upah yang minim, dan hak yang tidak terpenuhi… apakah kita masih bisa membuat tulisan yang apik, memikirkan karya yang akan abadi, jika urusan kebutuhan dasar tidak terpenuhi?

Sungguh saya salut pada orang-orang yang masih mau bertahan di jalan terjal dan berliku sebagai penulis. 

Editor: Mita Berliana
Penulis

Anggita Ayunda Sakuntala

Suka menulis kalau ada yang dipikir dan mau menulis
Opini Terkait
Patut Dicoba: 8 Pekerjaan untuk Para Caleg yang Gagal di Pemilu 2024
Kultur Rekrutmen Kerja yang Makin Jancuk
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel