“Bocah saiki padha ora nduwe bapak,” kata teman ibu saya pada sebuah pertemuan ibu-ibu yang saya lupa apa tujuannya. Kalimat yang artinya “Anak sekarang nggak punya bapak” itu keluar ketika kumpulan ibu-ibu tadi tengah membicarakan imunisasi.
Kalimat itu terdengar janggal pada telinga ibu saya. Sontak beliau bertanya, “Ndak nduwe bapak piye lo?” (Nggak punya bapak gimana maksudnya?). Teman ibu saya pun menjawab, “Ya karena mereka punyanya Ayah, bukan Bapak.”
Segera setelah jawaban itu terlontar, tawa ibu-ibu yang nyaring dan berisik memenuhi ruangan. Dengungnya menyusup di antara bising lalu-lalang motor. Sampai di sini, sepertinya baru orang desa tulen yang bakal paham konteks guyonan ini.
Orang desa yang saya maksud sendiri setidaknya merupakan masyarakat di desa saya, bagian dataran tinggi Trenggalek. Fenomena soal panggilan orang tua ini sudah jadi jokes pasaran di kalangan orang kampung atau orang desa. Mengapa spesifik orang desa?
Hal ini sebenarnya pernah dibahas oleh Na’imatur Rofiqoh dalam tulisan bertajuk Keluarga Indonesia dalam Ayah, Papa, dan Bapak yang terbit di solopos.com pada 2018.
Dalam esainya, Na’imatur menjelaskan pengaruh besar media dalam mencetuskan panggilan untuk sosok ‘bapak’ berikut dengan stereotip kelas sosial yang lekat pada beberapa sebutan itu.
Panggilan ‘papa’ atau ‘ayah’ memiliki konsekuensi kelas atau status sosial yang, disadari atau tidak, meletakkan sosok lelaki kepala keluarga pada singgasana pegawai kantoran atau pekerja yang sering melakukan perjalanan dinas. Sebab, akan terasa janggal kalau ‘papa’ atau ‘ayah’ pergi ngramban.
Saya adalah bagian dari orang desa yang menertawakan candaan itu, dan tawa saya bermakna persetujuan. Saya sendiri tidak terlalu setuju kalau orang desa punya kultur memanggil bapak dengan ‘ayah’ atau ‘papa’.
Hal ini karena dulu waktu SD, saya pernah bilang ke bapak kalau ingin memanggil beliau dengan sebutan ‘ayah’. Beliau dan ibu langsung melontarkan ketidaksetujuan. Bagi mereka, profesi Bapak yang tukang ngarit dan pergi ke tegalan terdengar wagu kalau dipanggil ‘ayah’. Kini, saya setuju dengan itu. Bersyukur pula karena tidak jadi mengganti panggilan.
Alasan lain bukan cuma soal rasa canggung, kikuk, atau perasaan tidak pantas. Menurut saya, ada potensi pudarnya kata ‘bapak’ di benak masyarakat.
Munculnya fenomena ini saya sinyalir disebabkan oleh hal-hal di masa lalu, mentalitas, dan resepsi masyarakat terhadap tontonan televisi.
Baca Juga: Mlijo: Panggung Kekuasaan ala Foucault
Mental Terjajah yang Mendarah
Kebenaran 350 tahun lamanya Nusantara dijajah Belanda boleh saja ditentang. Tetapi, pahatan mental terjajah yang Belanda torehkan pada bangsa kita masih dapat dilihat reliefnya.
Pembagian kelompok yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang stratifikatif membuat pribumi terletak di lapisan paling bawah, hampir terkubur, dan juga berarti mudah diinjak-injak.
Inferioritas inilah yang akhirnya menelurkan perspektif bahwa strata yang di atas (Orang Eropa dan pendatang dari negeri lain) selalu lebih unggul dan dianggap wah. Sementara mereka yang di bawah merasa kecil.
Hal ini juga turut mencampuri ihwal bahasa. Panggilan ‘papa’ yang diambil dari kata ‘pappaatje’ (yang sebenarnya adalah kata sapaan) untuk bapak yang digunakan oleh orang Eropa terkesan lebih tinggi daripada panggilan ‘bapak’.
Seiring berjalannya waktu, komponen yang bergeser hanya keberadaan orang Belanda. Sementara mental terjajah masih ada. Bangsa Eropa yang dulu ada di peringkat paling atas, kini digantikan posisinya oleh orang kota, orang kaya, dan orang berpendidikan.
Di lain sisi, orang-orang yang berada di lapisan bawah masih mewarisi mental poskolonial. Orang desa pun, meski ada yang berpendidikan dan kaya, punya kecenderungan untuk merasa lebih kecil dibanding orang kota. Maka, tidak heran kalau guyonan yang telah saya sampaikan di pembukaan tadi bisa ada dan lestari.
Lalu, kalau soal panggilan ‘ayah’, berdasarkan usaha googling saya, sebenarnya itu berasal dari bahasa Sansekerta ‘yayah’. Soal sebabnya menjadi panggilan kepada bapak bagi kelas atas saya belum menemukannya.
Baku, Non-baku, dan Pengaruh Media
Keberadaan bahasa baku dan non-baku menurut saya juga mendalangi fenomena tentang panggilan bapak ini. Sumarsono pernah menjelaskan persoalan baku dan non-baku ini dalam buku Sosiolinguistik yang punya tebal satu buah sosis So Nice.
Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahasa baku digunakan dalam situasi yang konteksnya lebih penting dan prestise. Sementara bahasa non-baku digunakan di lingkup yang lebih longgar dan kasual.
Sumarsono juga menjelaskan terkait suatu penelitian tentang penggunaan bahasa Inggris di Detroit (AS) dan Norwich (Inggris) yang berkesimpulan: semakin tinggi kelas sosial, semakin sedikit penggunaan kalimat non-baku.
Hal itu saya rasa tidak terjadi di Indonesia, sebab di sini terdapat bahasa daerah yang mempengaruhi penguasaan bahasa Indonesia seseorang. Akan tetapi, ada pengaruh media yang menurut saya menjadikan soal baku dan non-baku yang stratifikatif ini (secara cocoklogi) bisa make sense apabila dihubungkan dengan panggilan kepada bapak.
Perkawinan antara baku dan non-baku dengan pengaruh media melahirkan stereotip ‘papa-ayah’ di kalangan orang desa di kampung saya.
Berdasarkan pengalaman pribadi—ketika televisi bukan lagi jadi barang mewah—masyarakat di desa mengenal bahasa Indonesia dari televisi, bukan dari buku teks.
Secara lebih spesifik, tayangan televisi itu berupa sinetron atau FTV yang tayang malam hari, biasanya sehabis magrib. Jenis tayangan di waktu tersebut menjadi pilihan masyarakat desa karena saat hari masih terang mereka pergi bekerja.
Sinetron di TV nasional dan swasta tentu menggunakan bahasa Indonesia. Kebanyakan bahasa Indonesia ala Jakarta. Contohnya Cinta Fitri atau Putri yang Ditukar.
Ada suatu formula template yang sering saya jumpai saat menonton sinetron atau FTV dulu. Keluarga kaya yang sarapan dengan sepotong roti, segelas susu atau jus jeruk, kemudian memanggil sang kepala keluarga yang sudah rapi dengan setelan kantor dengan sebutan ‘papa’ atau ‘ayah’, memanggil ibunya dengan ‘mama’, dan punya seorang pembantu yang dipanggil ‘bibi’.
Baca Juga: Bagaimanapun, Kami Masih Perlu Televisi
Adegan itu benar-benar melekat di ingatan saya. Lantaran referensi bahasa Indonesia sebagian besar masyarakat desa berasal dari sinetron, maka bahasa Indonesia dalam benak mereka adalah yang didengar melalui televisi.
Dan menurut saya, bagi orang-orang desa, bahasa Indonesia itu, ya, yang ada di TV. Yang diucapkan dalam skenario Jakarta itu, tanpa memedulikan soal baku tidaknya.
Atau bahkan mereka sama sekali tidak mengetahui kalau bahasa Indonesia baku dan non-baku itu ada. Maka, tidak heran kalau anak-anak di desa sekarang memanggil bapaknya dengan ‘ayah’ atau ‘papa’, entah itu diajari atau sukarela.
Cara memanggil bapak sepertinya juga dipengaruhi oleh hasrat untuk mengalami mobilitas sosial. Keluarga yang memanggil sosok bapak dengan ‘papa’ atau ‘ayah’, layaknya orang kaya di sinetron, mungkin membayangkan kalau mereka langsung terkesan keren, modern, dan wah, tanpa mempertimbangkan unsur kepantasan.
Timbul sensasi superior yang menyenangkan bagi mereka. Tidak masalah kalau ‘papa’ berangkat ngarit, yang penting dipanggil ‘papa’.
Nasib ‘Bapak’ Selanjutnya
Kalau menurut saya, ada dua kemungkinan terkait masa depan panggilan ‘bapak’ ini. Pertama, panggilan ‘bapak’ akan tergerus. Kemungkinan terburuknya, ya, punah.
Karena apabila jarang disebutkan, digemakan, dan disuarakan, maka panggilan ‘bapak’ bisa jadi akan menjadi terlalu spesial karena nantinya hanya dipakai untuk istilah macam Bapak Bangsa, Bapak Pembangunan, dan bapak-ibu di sambutan acara.
Panggilan ‘bapak’ akan seperti tembang-tembang yang tidak lagi dihapal oleh orang-orang sekarang (bapak-ibu saya masih punya hafalan tembang macapat sebab di SD dulu diwajibkan hafal).
Atau, kemungkinan lainnya, panggilan ‘bapak’ akan kembali tren, seperti nama anak-anak zaman sekarang yang sudah mulai tidak njelimet keinggris-inggrisan atau kearab-araban.
Bagaimanapun, satu kata tidak bisa benar-benar menggantikan kata yang lain meski artinya secara harfiah sama. Sebutan ‘bapak’ punya rasa yang berbeda dengan ‘papa’ atau ‘ayah’. Seperti yang dibilang tokoh Man dalam novel Bako: penerjemahan menghilangkan rasa bahasa.
Intinya, anak sekarang tetap akan punya sosok bapak. Wujudnya ada, hanya saja panggilannya yang berbeda.
Namun, itu soal panggilan. Kalau soal peran saya juga nggak seberapa paham. Hehe.
Baca Juga: Kenyang Makan Stereotipe Superlemot di Medan