Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh

Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh

Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Padahal memang problem tiap generasi berbeda, sikap tiap generasi tergantung zaman. Tapi ya begitu, generasi sebelumnya selalu saja merasa lebih superior.

Adu mekanik antargenerasi seolah-olah menjadi hal yang mendarah-daging pada masyarakat kita. Generasi yang terlahir lebih awal selalu merasa lebih superior.

Sedangkan generasi yang lahir belakangan menganggap mereka yang sudah tua sebagai manusia kolot.

Beberapa waktu lalu, sempat heboh seorang pelawak milenial yang selalu ngejokes tentang Gen Z. Katanya Gen Z serba problematik!

Mulai dari kritik Gen Z yang suka berekspresi, suka ngeluh, yang malas kerja, becandain mental Gen Z, sampai-sampai urusan ranjang Gen Z pun dipermasalahkan.

Memang sih tujuannya menghibur, mungkin traffic bahas Gen Z ini yang paling deres ya makanya digoreng terus sampai gosong.

Sebenarnya hal seperti ini nggak perlu terlalu diambil ribet. Mungkin dulu zaman VOC kakek kita juga mengalami kultur adu mekanik antar generasi.

Bisa jadi kakek kita yang terlahir era Daendels bilang gini kepada generasi era Van den Bosch “Kalian mah enak bangun jalan dari Anyer sampai Panarukan, lah kami dulu disuruh tanam paksa”.

Padahal memang problem tiap generasi berbeda, sikap tiap generasi tergantung zaman. Tapi ya begitu, generasi sebelumnya selalu saja merasa lebih superior.

Budaya Senioritas yang Melekat dalam Keseharian

Kultur yang terkesan feodal ini, seakan tidak bisa lepas dari kita. Begitu melekat dalam lingkungan keseharian kita.

Misalnya di lingkungan kampus. Hal ini pasti pernah dirasakan oleh mahasiswa baru maupun junior di lingkup organisasi kampus.

Senior seakan harus didengarkan dan dipatuhi, dengan dalih “kami sudah dulu berada di sini”, padahal yang mereka ocehkan belum tentu benar.

Modal fafifu akhirnya minta rokok sama uang minum. Atau, para mahasiswa baru dikasih uang Rp 5 ribu, terus disuruh beli rokok S*mpurna Hijau satu bungkus plus teh gelas dingin.

Nemu nggak modelan senior kayak gini? Kalau di kampus saya siih banyak.

Rasanya pengen jitak aja tuh kepalanya. Tapi karena saya nggak berani, jadi saya kempesin aja bannya. Itung-itung berjihad melawan fasis!

Sampe mikir, kok bisa yaa senior atau orang-orang yang lebih tua bisa berkelakuan seenaknya kayak gitu ke orang yang lebih muda? Seakan-akan ini tuhh dahh kalcer, turun-temurun, dan dianggap normal.

Itu baru di kampus. Belum lagi di lingkungan sekitar rumah. Misalnya di warung. Ketika ada anak muda nongkrong bersama bapak-bapak, wah ini sii bakal habis dicengcengin.

Saya sering mengalaminya. Bapak-bapak itu ngomong seolah-olah paling benar, pencapaiannya serasa udah mentok. Sampe-sampe niih naik dikit aja bahasanya bisa kepentok tuh kepala sama langit.

Tapii gimana yaa kalo sama bapak-bapak tuh masih ada rasa sungkannya. Nggak bisa melawan.

Jadi, mau nggak mau kita yang muda hanya bisa jadi pendengar. Mengiyakan tanpa berani membantah. Sambil membatin, huhhh belum aja mereka ngerasain gimana seremnya diculik ke Rengasdengklok oleh kaum pemuda.

Beban Gen Z juga Berat

Perlu disadari latar belakang mengapa Gen Z ini lebih “bawel” dan berisik di sosial media. Gen Z terlahir pada era setelah reformasi yang mengutamakan kebebasan berpendapat, juga hasil didikan para boomers, juga ditunjang oleh perkembangan teknologi yang nampak semakin cepat.

Mungkin pada generasi boomers, beliau-beliau ini cenderung lebih tertutup dan tidak semua berani berekspresi karena pola pendidikan, tirani rezim pada saat itu, dan lingkungan yang terkesan militeristik.

Belum lagi media untuk bersuara juga terbatas. Persoalan HAM juga tidak terlalu masif seperti sekarang. Hal-hal inilah yang mendasari para boomers untuk tidak menerapkan kepada anaknya, karena mereka sadar tersebut akan berdampak tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Kalau dipikir-pikir beban yang ditanggung Gen Z juga tidak kalah memusingkan jika pengen adu nasib. Mulai dari harga tanah yang makin tinggi, gaji pas-pasan, populasi yang membludak karena bonus demografi.

Serta, banyak juga dari Gen Z merupakan generasi sandwich.  Yang harus memikirkan nafkah untuk orang tua bahkan saudara yang belum ada pendapatan.

Kultur kerja yang semakin jancuk juga mempengaruhi perilaku Gen Z. Sebenarnya mereka sudah “terbentuk” dengan kurikulum di sekolah, yang memaksa mereka untuk ambis. Namun, Hustle Culture yang mereka dapatkan selama sekolah terkadang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh Perusahaan.

Jadinya, petinggi perusahaan yang kolot malah menjustifikasi generasi sekarang daripada membangun kultur yang baru.

Adu Nasib Antargenerasi itu Sia-sia

Ribut antar generasi ini menurut saya hal yang sia-sia karena generasi sekarang tercipta karena peran generasi sebelumnya yang lebih ingin keterbukaan dan cenderung lebih menghargai hak masing-masing individu.

Generasi sekarang suka curhat di medsos itu tidak ada bedanya dengan mereka yang dulu curhat memakai diary. Hanya saja generasi sekarang curhatnya di medsos dan terkadang berharap feedback dari followers atau publik.

Tidak sedikit pula para Gen Z yang memiliki second account sebagai diary mereka dan hanya orang-orang terpilih yang dapat melihatnya. Mungkin ngeluhnya mereka bisa terlihat kritis ketimbang harus iya-iya aja, tetapi membangun bom waktu yang akan meledak dalam kepala dan berakhir kritis karna stress.

Perdebatan dan saling serang antar generasi ini tidak akan ada habisnya. Akar permasalahannya adalah dendam terhadap generasi sebelumnya lalu melampiaskan kembali kepada generasi yang baru.

Budaya ini akan terus berulang sampai yajuj ma’juj menampakkan hidungnya jika tidak dihentikan dari sekarang. Hal yang tidak diperlukan seperti ini memang harus dihilangkan karena memang tidak ada gunanya.

Bisa jadi juga hal seperti ini timbul karena ke-insyekuran generasi sebelumnya terhadap generasi baru yang lebih prepare untuk menghadapi zaman.

Saya tidak mengatakan Gen Z lebih baik dari generasi sebelumnya. Tapi kalau kata Dea Anugrah di akun Xnya, “kelahimu antargenerasi? Manalah pateenn. Antarkelas lahhh,”

Ampun puuhh sepuhh…

Editor: Mita Berliana
Penulis

Rega Maulana

Sedang memaknai pengangguran dan termenung di bawah kaki dewi kesenian
Opini Terkait

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel