Masa lalu kita sebagai bangsa selalu membayangi hingga hari ini. Layaknya legacy seorang mantan terindah, kita tak pernah bisa melupakannya. Aseekk.
Namun, dalam kehidupan berbangsa, move on dari sang ‘mantan’ adalah sebuah keharusan. Tak lain, dalam tulisan ini saya ingin menulis tentang masa lalu kita yang bisa dikatakan penuh darah.
Tentu saja, ada banyak peristiwa kelam yang di masa lalu yang telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Namun, saya akan mencoba berfokus pada sebuah katastrofi yang menghilangkan sekitar dua juta orang, banyak di antaranya bahkan tidak tahu-menahu tentang apa yang telah mereka perbuat.
Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak bermaksud mengajak anda untuk membenarkan atau menyalahkan masa lalu kita tersebut.
Di sini, saya malah merasa kasihan kepada orang-orang yang terkena doktrinasi Orba atau Orde Ba(r)u yang sudah sangat mengakar di Indonesia hingga hari ini.
Dari Tausiyah hingga Lingkungan Akademik
Bagian ini saya tulis atas pengalaman pribadi dalam menghadapi bangsa ini yang kian hari kian absurd rupa-rupanya. Walaupun isu ini sudah terlampau lama, tapi saya merasa ingin meluapkannya lagi.
Saya sempat beberapa kali menghadapi acara tausiyah yang membawa isu ideologi terlarang di Indonesia. Meskipun tak cakap dalam membahasnya, mereka tetap memaksakannya.
Bayangkan saja, ada seorang pemateri di sebuah majelis taklim yang menganggap bahwa komunisme adalah ideologinya orang-orang serakah, suka menindas mereka yang ada di lapisan bawah, dan lain sebagainya.
Ada pula yang menganggap bahwa ideologi komunisme sama dengan kapitalisme atau liberalisme, alias sama-sama bagian dari bahaya laten. Ini ‘kan jelas ngawuur serta gak mashok. Dalam ranah teoritik saja, ideologi ini saling berhadapan, bahkan bermusuhan.
Saya sendiri sebenarnya tidak ingin menghujat kepercayaan mereka, walaupun ngempet misuh sambil ngelus dada. Memang sebegitu kuatnya Orba merasuk dalam pikiran banyak orang.
Ya, tapi, ayolahhhh men!
Tak berhenti di situ, bahkan dalam lingkungan akademik pun saya menghadapi masalah semacam ini.
Sekali waktu, saya menemui pengalaman lucu saat duduk di bangku sekolahan. Ada seorang guru yang mengajar sejarah. Ingat, ‘mengajar sejarah’! Titel sang guru pun tidak main-main, beliau adalah sarjana humaniora.
Tapi, apa yang saya dapatkan? Beliau dengan sadar masih menggunakan doktrinasi-doktrinasi Orde Ba(r)u dalam mengajar. Aduhh biyungg, ciloko!!
Kalau diingat-ingat lagi, saya jadi bertanya-tanya, bukannya beliau harusnya menghindari hal tersebut karena malapetaka G30S memang masih menjadi teka-teki hingga hari ini.
Baca Juga: Monopoli Sejarah dan Penghinaan Nalar Publik
Bangsa Kita yang Tak Berideologis
Dengan pengalaman semacam itu, saya jadi tambah yakin dan mengamini omongan dosen saya bahwa bangsa kita pasca 1965 menjadi semakin absurd dan tidak berideologis.
Mengapa saya bisa bilang begitu? Jika kita melihat konstelasi politik hari ini, saya merasa bahwa kepartaian kita tidak memiliki landasan ideologis yang mapan.
Misalnya, nih, PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Pada awalnya, saya—mungkin juga kalian yang sedang membaca ini—merasa bahwa partai ini adalah angin segar, terutama bagi anak muda yang muak dengan politik, dan merasa partai ini menjadi penerus dari PSI-nya Syahrir.
Gayung memang tak bersambut. Alih-alih membawa angin perubahan, partai ini cilokone malah ikut andil dalam praktik feodalisme yang baru saja terjadi.
Contoh lainnya ialah Partai Buruh. Awalnya saya berharap partai ini adalah perwakilan dari semangat buruh yang melintang zaman, dari zaman berserikat hingga hancurnya rezim Sukarno.
Namun apa yang terjadi? Yak tul… Mereka malah terlihat ikutan tunduk pada rezim yang akan segera berkuasa.
Fenomena ini, menurut saya, menjadi kepanjangan dari malapetaka yang pernah terjadi di masa lalu, yang menghapus segala kenangan kita sebagai bangsa.
Kita mungkin bisa bilang bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu paling sehat dalam sejarah demokrasi Indonesia. Di masa itu, perdebatan arah ideologis bangsa kita pun juga terbangun melalui perdebatan-perdebatan ilmiah yang dilakukan oleh partai-partai berideologis.
Sangat jelas bahwa fenomena semacam itu tidak terlihat di hari ini. Kepartaian hanya sekedar untuk mengamankan jatah kursi serta membikin perut semakin gendut selama masa jabatan mereka sebagai wakil rakyat.
Intelektual sebagai Insinyur Masyarakat
Malapetaka 1965-1966 juga ditengarai dengan hilangnya satu generasi kaum intelektual kita. Kaum yang awalnya ditujukan untuk membangun Indonesia, namun harus diberangus dan dibikin stateless oleh negaranya sendiri.
Tentu kita masih ingat kasus seorang Kumba Digdowaseso yang menggegerkan dunia intelektual kita. Menurut saya, kasus tersebut merupakan dampak dari penghilangan kaum intelektual tadi.
Sejatinya, kaum intelektual adalah insinyur masyarakat yang akan mengatur dan membangun masyarakat dari segala aspek.
Tugas intelektual adalah mengabdi pada rakyat, tanah air, dan kemanusiaan, seperti yang tercatat dalam arsip Universitas Rakjat bentukan partai terlarang.
Jika kita menengok kembali kaum intelektual Indonesia pada era pergerakan hingga tahun 1960an, jelas kita tahu bahwa tujuan mereka adalah membangun dan menyadarkan masyarakat.
Kalian bisa lihat sendiri misalnya dalam film Eksil yang belum lama ini rilis. Juga dalam film Lagu Untuk Anakku yang menceritakan perjalanan grup paduan suara Dialita, yang mana terdapat satu segmen pada film tersebut yang membahas soal HSI (Himpunan Sarjana Indonesia), yang ikut diberangus pada tahun 1965-1966.
Selain itu, ada banyak kajian riset yang membahas soal ini. Salah satunya mungkin kalian bisa baca pada temuan Abdulwahid soal genosida intelektual yang terjadi di Indoensia.
Berkaca dari kasus Kumba Digdowaseso, kita jelas paham betul bahwa sifat intelektual kita hari ini nampaknya hanya mengabdi pada jurnal Scopus dan World Class University, tanpa memahami apakah penelitian yang mereka lakukan berguna untuk masyarakat atau tidak.
Meskipun sudah lewat hampir 60 tahun lamanya, malapetaka 1965 serta peristiwa-peristiwa yang mengikuti setelahnya masih terasa dampaknya dalam kehidupan kita sebagai bangsa hingga saat ini.
Sehingga, alih-alih mencoba menguburnya dalam-dalam, ia perlu diakui sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa ini. Tidak lupa, pelurusan fakta sejarah serta rekonsiliasi harus terus diupayakan jika memang bangsa ini ingin move on ke masa depan yang lebih baik.