Monopoli Sejarah dan Penghinaan Nalar Publik

Monopoli Sejarah dan Penghinaan Nalar Publik

Monopoli Sejarah dan Penghinaan Nalar Publik
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Yang ingin sejarawan bela saat mengkritisi NH itu siapa? Bukannya NH dikritik supaya kita melindungi ruang interpretasi publik agar tidak jatuh pada narasi pseudohistori? Lha, kok, publiknya ikut diserang dan dianggap tidak tahu apa-apa dan perlu belajar lagi?

Ketika beberapa waktu silam Neo Historia (NH) menjadi pergunjingan di media sosial, jujur saya tidak langsung mengikuti.

Soalnya saya tidak punya akun Twitter (X) yang aktif. Akun itu hanya saya buka sesekali, memang dengan harapan agar tidak perlu membukanya sering-sering karena di dalamnya terlalu banyak keributan tak perlu.

Jadi, ketika utas Chris Wibisana menjadi pergunjingan di mana-mana, saya baru membacanya beberapa hari kemudian.

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu tertarik pada NH. Tidak pernah follow apalagi peduli karena sudah tahu blunder yang mereka lakukan terus-menerus. Tapi, rupanya banyak kawan yang mengirimi saya tautan dan meminta ikut mengomentari.

Saya pun membaca isi tautan itu dan berkomentar via jaringan pribadi. Pada dasarnya, saya setuju pada kritik yang dilancarkan kepada NH.

Hanya saja, saya melihat ada beberapa hal dalam kritik-kritik tersebut yang tampaknya menjadi terlalu dangkal. Akan tetapi, sebagai orang yang tak suka debat kusir di media sosial, saya memilih diam saja.

Itu sampai seorang kawan mengirimi sebuah tautan opini di Sediksi karya Alfian Widi Santoso berjudul Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi. Ketika membacanya, kedangkalan yang saya rasakan sejak awal saat membaca kritik-kritik kepada NH, kok, rasa-rasanya berasal dari masalah yang lebih gawat.

Penghinaan Nalar Publik

Hal ini saya sadari ketika membaca salah satu paragraf dalam tulisan Alfian:

Jika nantinya ada yang mengomentari tulisan ini dengan mengatakan bahwa belajar metode dan ilmu sejarah itu tidak perlu, lantas apa bedanya Neo Historia dan pemujanya ini dengan para pemuja kripto yang menganggap sekolah tidak penting?

Paragraf itu mungkin tidak akan jadi banyak masalah kalau sebelumnya Alfian tidak memberi alamat kepada siapa opininya ditujukan:

“… dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi evaluasi Neo Historia sekaligus sebagai pengingat untuk masyarakat maya.”

Di sini, ada dua subjek yang dituju Alfian, yaitu NH dan masyarakat maya. Saya kesampingkan NH karena memang ogah memberi kritik pada gerombolan satu ini secara publik.

Celakanya, Alfian juga menunjukan pesan itu kepada masyarakat maya, yang dalam hal ini, saya kira dapat diartikan sebagai publik luas yang terhubung dengan dunia maya dan menyukai atau tertarik pada sejarah (atau, ya, publik luas pengguna internet, lah).

Di samping nada paragraf Alfian yang terlalu menunjukkan kecongkakan akademik, saya merasa kecongkakan itu berasal dari masalah lain.

Jadi, sebagai ganti mengkritik Alfian, saya mau berfokus pada satu bagian penting yang salah kaprah dalam kritik kepada NH sejauh ini: penghinaan nalar publik.

Sejauh ini saya merasa kedangkalan yang muncul di dalam kritik kepada NH di media sosial memiliki nada yang serupa dengan paragraf Alfian di atas. Contohnya kurang lebih seperti “makanya baca buku dulu” atau “nggak paham metode-metodologi, kok, ngomong/nulis sejarah?

Dari perdebatan di media sosial dan beberapa tulisan lain, terutama dari kalimat-kalimat semacam itu, saya jadi dapat impresi kalau yang bisa dan boleh punya interpretasi sah menyoal sejarah, ya, hanya mereka yang menguasai metodologinya, alias sejarawan sendiri.

Tapi gini, lho, perkaranya. Sejarah itu domain publik. Tidak ada yang punya monopoli. Siapa pun bisa dan boleh menginterpretasi sejarah. Tak ada batasan karena juga tidak ada yang bisa melarang.

Ya, masak kalau kamu misalnya sebagai sejarawan lantas tiba-tiba mau memotong cerita kakek atau nenek tentang masa lalu kemudian bilang kalau mereka tidak pantas bercerita karena tidak mengerti metodologi? Po ra edan?

Konsekuensinya, ya, mau tak mau bahkan wacana pseudohistori dan oversimplifikasi ala NH sekali pun jadi berhak mengisi ruang interpretasi. Tentu ini masalah yang akan selalu muncul dari terbuka luasnya ruang interpretasi, mau itu NH atau bukan.

Solusi atas masalah seperti ini, ya, kritik keras saja itu wacana. Akan tetapi, kritik yang disampaikan kepada NH atau berbagai wacana pseudohistori serta oversimplifikasi dari tempat lain tidak boleh berubah menjadi sebentuk ancaman kepada kebebasan ruang interpretasi publik atas sejarah.

Siapapun Boleh Bicara Sejarah!

Yang ingin saya tekankan ialah publik jangan dibuat fobia pada sejarah dengan mengatakan bahwa agar kamu sah bicara dan menulis sejarah, maka kamu harus baca dulu itu Pengantar Ilmu Sejarah, harus ikut dulu itu kuliah sejarah, harus paham dulu itu historiografi dan metodologi, dan sebagainya.

Halah, wong mahasiswa sejarah jaman sekarang saja belum tentu merasa butuh belajar materi itu secara mendalam. Lha, kok, publik, yang kepentingannya berbeda, jadi dipaksa belajar untuk memahami omongan sejarawan?

Jadi, ketika Alfian bilang, “Jika nantinya ada yang mengomentari tulisan ini dengan mengatakan bahwa belajar metode dan ilmu sejarah itu tidak perlu …”, jawaban saya sederhana saja: sejarawan memang perlu belajar persis supaya publik tak perlu kesusahan belajar metode sejarah, namun dapat tetap memahaminya dengan mudah lewat tuturan sejarawan.

Kalau tidak begitu, apa gunanya kita punya sejarawan?

Sejarawan jangan menafikkan kewajibannya kepada publik hanya karena publik belum paham. Kan, bukan dan tidak pernah menjadi kewajiban publik untuk belajar sejarah, melainkan kewajiban sejarawan lah untuk menyampaikannya.

Tidak semua orang punya kesempatan untuk memahami, dan memang tidak semua juga harus memahami. Justru salah satu tugas dan etika sejarawan untuk mengomunikasikannya kepada publik dengan media dan bahasa yang mudah dipahami.

Celakanya, peranan itu dalam beberapa tahun terakhir justru diambil alih, salah satunya oleh NH. Namun, di sisi lain, sekaligus sebagai otokritik, memangnya ada sejarawan Indonesia yang benar-benar berpikir soal sejarah publik sekarang ini?

Memangnya ada sejarawan yang mau menggarap apa yang digarap NH atau paling tidak dalam taraf yang setara? Kan, belum ada!?

Lalu, ketika akhirnya NH bikin blunder, sejarawan-sejarawan langsung muncul seperti pasukan kaget. Ramai-ramai merasa si paling memiliki masa lampau. Lha, ke mana saja selama ini ferguso?

Saya mencoba membayangkan kasus ini dari sudut pandang publik. Selama ini, konten sejarah seringnya publik dapatkan dari konten pseudohistori dan oversimplifikasi macam NH.

Ketika suatu hari terjadi blunder, sejarawan malah (disengaja maupun tidak) menuduh publik yang selama ini hanya punya sedikit alternatif. Berkata bahwa publik tak mengerti sejarah dan sebaiknya belajar benar-benar.

Nalar historis publik, di mana sejarawan tidak banyak ikut andil dalam pembentukannya, dihina oleh sejarawan sendiri.

Saya jadi bingung. Lantas, yang ingin sejarawan bela saat mengkritisi NH itu siapa? Bukannya NH dikritik supaya kita melindungi ruang interpretasi publik agar tidak jatuh pada narasi pseudohistori?

Lha, kok, publiknya ikut diserang dan dianggap tidak tahu apa-apa dan perlu belajar lagi? Apa sebenarnya kawan-kawan sejarawan ini cuma mau melindungi muka sendiri?

Ketika menjadi mahasiswa sejarah, lalu menamatkan studi, dan saat ini juga masih terus bergelut di bidang yang sama, saya merasa punya kewajiban publik. Akan tetapi, kewajiban itu, dalam pandangan saya, bukan untuk jadi demagog yang sok menguliahi publik soal sejarah.

Saya dan sejarawan lain tentunya bukanlah mesias pembawa pesan keselamatan historis dan publik jelas bukan gembalaan sejarawan.

Bagi saya, jika publik memiliki ketertarikan pada sejarah, maka itu sudah cukup. Tak perlu dipaksa, tak perlu dicecar. Orang-orang ini mau belajar sejarah, bukan mendengar dakwaan.

Di hadapan publik, sejarawan adalah dan sungguh hanya sekadar fasilitator, bukan hakim, apa lagi nabi, yang dapat memvonis publik untuk belajar dan paham sejarah layaknya seorang sejarawan.

Penulis

Fatih Abdulbari

Peneliti sejarah. Penulis buku Melukis di Tengah Perang (2023)
Opini Terkait
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel