Baru-baru ini perusahaan Walt Disney mengumumkan bahwa versi live action dari film musikal Snow White and The Seven Dwarves bakal tayang pada tahun 2025.
Setelah reaksi beragam dari netizen atas garapan film-film live action sebelumnya yang banyak mengubah bagian-bagian cerita dari film animasi, Disney masih belum menyerah dan mencoba sekali lagi dengan membuat versi baru dari princess pertama mereka ini.
Perubahan signifikan sendiri terlihat pada sebuah trailer yang dirilis oleh Disney di awal bulan Desember, di mana Snow White terlihat akan memimpin sebuah revolusi di kerajaannya ala Katniss Everdeen dari serial Hunger Games.
Rachel Zegler, yang menjadi pemeran Snow White, juga mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa dalam versi ini mereka membuat sang princess tidak butuh diselamatkan oleh seorang pangeran dan tidak membuatnya memimpikan cinta sejati.
Senada dengan hal tersebut, pihak Disney juga menyebutkan bahwa karakter Snow White yang asli memang sering dikritik karena alasan-alasan tersebut. Lalu pertanyaannya, apakah perubahan yang dibuat oleh Disney ini adalah sebuah langkah yang tepat?
Snow White and The Seven Dwarves
Kembali ke tahun 1812, Grimm Bersaudara menerbitkan kisah Snow White untuk pertama kalinya dalam buku kumpulan dongeng Grimms’ Fairy Tale.
Putri baik hati itu langsung menjadi karakter cerita pengantar tidur yang populer di Jerman. Kisahnya yang sederhana dan mudah diingat membuatnya dapat dituturkan secara turun temurun sampai ke generasi-generasi selanjutnya. Di Indonesia sendiri kisah Putri Salju juga sudah ada lewat hikayat Melayu.
Beranjak ke tahun 1937, perusahaan Walt Disney mengangkat dongeng ini menjadi film musikal animasi dengan judul Snow White and The Seven Dwarves.
Dari film tersebut lahir sosok Snow White yang sampai saat ini dikenal oleh masyarakat; seorang putri berkulit seputih salju dan berambut hitam sebahu yang mengenakan gaun berwarna kuning dan biru.
Dengan keunggulan kualitas animasi dan musiknya, film ini membuahkan kesuksesan besar dari industri film dan sambutan hangat dari masyarakat.
Cerita yang dibawakan oleh Disney pada film animasinya sendiri kurang lebih sama dengan karya Grimm. Putri Snow White dibenci Ratu Iblis yang merupakan ibu tirinya sendiri karena iri akan kecantikannya.
Ia lalu kabur ke hutan karena Ratu Iblis ingin membunuhnya dan kemudian tinggal bersama tujuh kurcaci. Setelah hari-hari bersama para hewan dan kurcaci, Snow White mati karena memakan apel beracun dari ibu tirinya yang menyamar menjadi seorang nenek.
Setelah dicium oleh seorang pangeran yang ia temui di awal film, ia hidup kembali karena ternyata sebuah kecupan dari cinta sejati adalah penawar racun tersebut. Snow White akhirnya hidup bahagia dengan orang yang mencintainya.
Snow White Bukan Perempuan Kuat?
Pada penghujung gelombang kedua gerakan feminisme di tahun 1987, sebuah artikel di New York Times berjudul Snow White is No Feminist mengkritik karakter Snow White dalam film Disney.
Di dalam artikel tersebut, Janet Maslin menuliskan bahwa selain kecantikan dan kecekatannya sebagai pengurus rumah tangga, Snow White tidak memiliki kepribadian yang jelas.
Janet juga berpendapat bahwa Snow White bukanlah karakter yang dapat dijadikan panutan oleh anak-anak karena “Snow White akan selalu membuat menyikat dan menggosok tampak seperti tugas yang paling menyenangkan. Dia juga akan menjadikan pernikahan seperti satu-satunya pilihan untuk seorang gadis.”
Hingga Disney mengeluarkan putri-putri yang baru, kritikan terhadap karakter Snow White tetap bermunculan. Berbeda dengan putri-putri Disney yang lebih modern seperti Tiana, Mulan, Rapunzel, hingga Moana, Snow White dilihat sebagai putri yang pasif karena tidak pernah melakukan perlawanan sampai seseorang datang menyelamatkannya.
Akan tetapi, perbedaan utama antara Snow White dan putri-putri modern di atas sebenarnya terletak pada karakter Snow White yang tidak memiliki character arc atau perkembangan karakter di sepanjang cerita.
Hampir semua karakter putri pada umumnya ditunjukkan memiliki ketakutan atau kekurangan pada awal film. Mereka kemudian memperbaiki atau melawan ketakutannya tersebut melalui petualangan mereka.
Sementara Snow White adalah gadis pekerja keras dari awal dan sampai akhir film. Ia menerima segalanya dengan sabar alih-alih melawan Ratu Iblis sembari menyadarkannya bahwa cermin di dinding itu tak lebih dari seorang misoginis dengan standar kecantikan yang toksik.
Kejadian buruk apapun tidak bisa menggoyahkan keceriaan Snow White. Sejak pertama kali Snow White muncul di film saja ia sudah bernyanyi-nyanyi sambil menyapu meski pakaiannya terlihat lusuh.
Lalu, saat ia tahu bahwa satu-satunya anggota keluarganya ingin dirinya mati, Snow White langsung mencoba untuk memulai lagi segalanya di hutan dan memimpin para hewan untuk membantunya beres-beres.
Selain itu, jika diperhatikan dengan seksama, Snow White juga sebenarnya sama sekali tidak menunggu untuk diselamatkan.
Sang Pangeran sendiri hanya disebut dua kali oleh Snow White di dalam film dan jarak di antaranya sepanjang lima puluh menit, yaitu saat ia bertemu dengan sang Pangeran untuk pertama kalinya dan saat para kurcaci menanyai Snow White apakah ia sudah pernah jatuh cinta.
Di film ini, pangeran hanya menjadi simbol penghargaan atas semua kerja keras dan kesabaran Snow White. Lagipula, ini bukan cerita soal Snow White dan Sang Pangeran, dan hal itu sudah diperjelas pada judul film.
Dan jangan lupa, Snow White adalah seorang gadis berusia empat belas tahun yang tumbuh dalam keluarga abusif. Maka, tidak mengherankan jika yang diharapkannya adalah kasih sayang. Lagipula, keinginan untuk menyayangi dan disayangi, toh, tidak serta-merta membuat seseorang menjadi kurang kuat.
Cerita Snow White Tidak Perlu Diubah!
Film ini sendiri dibuat pada dekade 1930-an, sebuah era yang dikenal sebagai puncak The Great Depression. Jatuhnya ekonomi di Amerika Serikat mengakibatkan banyak masyarakat di sana tidak bisa memiliki kehidupan yang layak.
Pada zaman itu, banyak perempuan yang tidak punya pilihan untuk mengubah “takdir”nya sama sekali. Pun, sampai sekarang perempuan juga masih banyak yang menghadapi ketidakadilan oleh dunia yang masih cenderung patriarkis ini.
Akan tetapi, keadaan seperti itu bukan berarti membuat kisah mereka tidak layak untuk diceritakan. Bagi saya, kekuatan seorang perempuan terlihat bukan hanya ketika ia berhasil melawan sesuatu, tapi juga dari keteguhannya ketika hidup bersama sesuatu itu.
Kisah karakter Snow White dari awal dibuat untuk menunjukkan perspektif tersebut, yang memang berbeda dengan seorang putri ksatria. Sehingga, saya rasa tidak perlu mengubah cerita Snow White untuk menunjukkan bahwa ia adalah karakter perempuan yang kuat dan berdaya.
Sebab, karakter seperti itu tidak hanya dapat ditemukan pada perempuan-perempuan yang memiliki kemampuan fisik luar biasa atau sifat yang keras, namun juga pada karakter yang memiliki keteguhan hati seperti Snow White.
Oleh karena itu, saya tidak sepakat dengan anggapan bahwa Snow White tidak dapat dijadikan panutan oleh anak-anak. Pasalnya, tidak semua anak-anak berada pada kondisi yang memungkinkan mereka untuk bisa berlatih bela diri, seperti Mulan, atau berkuda, seperti Merida. Namun, semua bisa meniru kemurahan hati dan rasa sayang pada hewan, seperti Snow White.
Segala bentuk nilai-nilai baik sama pentingnya untuk diajarkan kepada anak-anak perempuan. Toh, feminisme juga adalah soal pemberdayaan untuk semua perempuan dari semua kalangan, kan.