Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB dengan sistem zonasi masih saja menjadi polemik. Permasalahan masih banyak terjadi bahkan berulang setiap tahunnya.
Mulai dari tidak meratanya sebaran sekolah, hingga maraknya terjadi kecurangan seperti pemalsuan kartu keluarga. Kurang tanggapnya pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang berulang ini membuat banyak kalangan mulai geram dengan sistem ini.
Saya sepakat bahwa implementasi sistem zonasi di Indonesia masih jauh dari kata baik. Bahkan, saya mempertanyakan apakah pemerintah melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap PPDB setiap tahunnya sebab masalah yang sama terus saja berulang.
Sehingga, kritik terhadap implementasi ini perlu terus dilakukan supaya tujuan baik zonasi tidak berhenti pada tataran narasi dan promosi.
Namun, sebagai sebuah konsep, saya akan membela gagasan ini dari berbagai kritik, sambil memegang keyakinan bahwasanya sistem zonasi merupakan sarana yang baik untuk mewujudkan pedagogi egalitarian.
Apalagi, respon berbagai pihak dalam ekosistem pendidikan terhadap sistem ini justru menunjukkan bahwa banyak hal yang tidak baik-baik saja dalam pendidikan kita.
Sistem Zonasi atau Sistem Merit?
Pertama, saya akan membela gagasan zonasi dari kritik yang mengatakan sistem ini justru kontradiktif terhadap keadilan.
Salah satu kritik datang dari seorang Dosen Dasar-Dasar Ilmu Hukum Universitas Indonesia lewat salah satu artikelnya di sebuah media yang menyatakan bahwa zonasi menghilangkan standar adil seleksi karena tidak berdasarkan kemampuan, sehingga tidak sesuai dengan prinsip merit.
Beliau merujuk pada perjanjian multilateral—International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)—yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB untuk memperkuat argumentasinya mengenai basis merit sebagai sistem yang adil untuk diterapkan, sebab kapasitas akademik berada pada kontrol masing-masing anak.
Meritrokasi pada dasarnya justru memiliki tujuan untuk memberi kesempatan yang sama seadil mungkin bagi seseorang untuk menempati posisi tertentu dalam masyarakat.
Upaya untuk mendorong kesempatan yang sama ini salah satunya melalui pendidikan yang bisa diakses oleh semua kalangan. Pendidikan nantinya yang akan menjadi tempat berproses bagi individu untuk bisa berdampak atau memenuhi peran dalam masyarakat sesuai prinsip meritrokasi tersebut.
Oleh karena itu, menggunakan seleksi berdasarkan kemampuan akademis dengan dalih “sistem merit” justru mencederai meritrokasi itu sendiri.
Kapasitas akademis sendiri, menurut saya, tidak bisa dianggap berada pada kontrol masing-masing anak sepenuhnya. Menganggap demikian berarti mengabaikan konteks sosio-ekonomi-kultural seorang anak.
Pasalnya, banyak hal-hal di luar kontrol anak yang memiliki dampak pada kapasitas akademis mereka, misalnya: apakah mereka ikut bimbingan belajar, ketersediaan akses terhadap berbagai literasi, gaya parenting orang tua, asupan gizi, hingga kenyamanan lingkungan mereka belajar.
Hal-hal tersebut tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada kapasitas seorang anak. Oleh karena itu, menormalisasi asumsi bahwa kapasitas akademis berada pada kontrol anak-anak sepenuhnya dapat menjadi sebuah doxic—meminjam istilah Pierre Bourdieu—yang implikasinya adalah berbagai masalah struktural atau sosial akan dibebankan kepada individu.
Seleksi berdasarkan prestasi justru membuat pendidikan berpotensi mereproduksi ketimpangan sosial itu sendiri. Yang pintar semakin pintar, sementara yang bodoh semakin papa.
Kita harus mengamini bahwa setiap orang memiliki privilese yang berbeda. Pendidikan yang emansipatif harusnya menjadi ruang di mana seseorang dengan privilese yang lebih rendah memiliki kesempatan yang sama dengan yang lain, sehingga nantinya dapat bersaing secara lebih fair dalam masyarakat.
Dalam tataran implementasi di Indonesia—dengan menimbang sebaran sekolah yang belum merata dan kuota penerimaan sekolah negeri yang lebih sedikit daripada pendaftar—mungkin seleksi berdasarkan prestasi bisa menjadi opsi lebih baik ketimbang zonasi. Paling tidak, siswa tidak berkompetisi berdasarkan sesuatu yang berada di luar kontrol mereka, yaitu tempat tinggal.
Namun, secara umum, terutama apabila persoalan jumlah dan sebaran sekolah teratasi, sistem zonasi lebih dekat dengan keadilan dari pada seleksi berdasarkan prestasi.
Respon mengenai keadilan yang dikemukakan dosen tersebut dapat memberikan gambaran bahwasanya masih banyak pelaku di ekosistem pendidikan yang masih membebankan banyak hal pada individu. Padahal, banyak permasalahan yang harusnya diurai juga melalui koridor bidang keilmuan lainnya.
Sistem Zonasi Menurunkan Kualitas Sekolah?
Selain permasalahan yang diurai di atas, tak jarang pula yang mengeluhkan bahwa sistem zonasi menurunkan kualitas sekolah, bahkan dari kalangan guru.
Ada argumentasi bahwa seleksi masuk yang tidak didasarkan pada kualitas akademis menyebabkan penurunan kualitas sekolah menjadi tak terelakkan. Pertanyaanya, kualitas sekolah yang diukur dari apa?
Apabila ukuran kualitas sekolah yang dimaksud adalah output dari sekolah tersebut, seperti nilai siswa, presentase siswa yang diterima di PTN, dsb., artinya penurunan kualitas akibat pergantian sistem penerimaan murid baru justru menunjukkan bahwa selama ini output bagus mereka lebih didominasi oleh faktor kualitas inheren siswa yang diterima.
Kalau sistem penerimaannya diganti lantas kualitas output-nya turun, jangan-jangan memang kualitas sekolahnya tidak sebagus yang kita kenal. Bisa jadi penilaian kita yang menganggap suatu sekolah lebih bagus mengalami bias kognitif—terjebak dalam swimmer’s body illusion.
Barangkali memang sekolahnya biasa saja, tapi karena sekolah ini menyeleksi orang-orang yang memang sudah pintar, akhirnya sekolah ini terkenal menjadi sekolah berkualitas.
Hipotesis saya ini diperkuat dengan banyaknya guru yang mengeluhkan kesulitan mengajar siswa dengan kualitas yang berbeda dari sebelumnya. Sebuah keresahan yang banyak diutarakan, terutama oleh guru-guru di sekolah yang sebelumnya merupakan sekolah unggulan atau favorit.
Artinya, bisa jadi yang membuat lulusan sekolah tersebut berkualitas lebih disebabkan oleh seleksi masuknya, bukan kualitas sekolahnya—termasuk kualitas guru. Toh, guru-guru sekolah yang berkualitas ini nyatanya mengeluh untuk mengajar murid yang lebih heterogen.
Sikap seperti ini justru merupakan langkah mundur dari emansipasi intelektual. Guru seharusnya menganggap adaptasi mengajar murid yang lebih heterogen sebagai sebuah tantangan dan tanggung jawab moral, bukan malah membandingkan apalagi sampai memberi label “siswa pintar” atau “siswa bodoh”.
Emansipasi pendidikan sendiri, menurut Ranciere, bahkan bukan sekadar pembebasan dari penindasan eksternal dan penghapusan hierarki sosial dalam kelas, tetapi juga melibatkan pembebasan diri dari suatu kondisi yang membuat murid menganggap dirinya sebagai “bodoh”, “tidak layak”, dsb.
Pendidikan berkualitas harus bisa diakses oleh semua kalangan, bukan hanya kalangan dari kelas sosial tertentu, termasuk hanya bagi mereka yang berkapasitas lebih.
Jangan sampai industrialisasi pendidikan juga membuat mindset sekolah seperti mindset pabrik, di mana pabrik berkualitas hanya mau mendapatkan bahan berkualitas untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi.
Sistem zonasi memang bukan tanpa kekurangan, tetapi paling tidak sistem ini dapat menjadi sarana yang baik untuk mewujudkan keadilan sosial. Jika permasalahanya terletak pada implementasi, bukan berarti sistemnya yang diganti.
Pemerintah juga dapat menerapkan berbagai kebijakan penyesuaian dalam sistem zonasi sambil cepat tanggap menangani berbagai masalahnya, terutama terkait jumlah dan sebaran sekolah yang belum merata, belum lagi kecurangan yang acapkali kita dengar terjadi di mana-mana.