Kampus Mengajar: Merdeka Belajar yang Jadi Sarang Feodalisme

Kampus Mengajar: Merdeka Belajar yang Jadi Sarang Feodalisme

Kampus Mengajar: Merdeka Belajar yang Jadi Sarang Feodalisme
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kami yang tergabung dalam program Kampus Mengajar digaungkan sebagai agen perubahan pendidikan. Akan tetapi, sematan tersebut justru bagi saya tak begitu membanggakan. Banyak realita di lapangan yang justru tak seindah gaungannya.

Di era Pak Nadiem Makarim saat ini, dunia pendidikan terkesan penuh inovasi. Hal ini terlihat dari berbagai variasi program yang diluncurkan, tak terkecuali di dunia pendidikan tinggi.

Salah satunya adalah Kampus Mengajar. Program yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ini termasuk salah satu yang paling banyak peminatnya, terutama dari mahasiswa keguruan.

Singkatnya, inti tujuan dari program Kampus Mengajar adalah membuka ruang kolaborasi antara mahasiswa dan pihak sekolah. Mahasiswa dimungkinkan mendapat banyak pengalaman dengan terjun langsung ke lapangan.

Sementara di sisi lain, pihak sekolah terbantu untuk meningkatkan inovasi pembelajaran, utamanya kemampuan literasi dan numerasi siswa.

Saya sendiri termasuk salah satu mahasiswa yang mengikuti program Kampus Mengajar. Sebelum dapat terlibat, saya dan para mahasiswa lainnya harus menjalani proses seleksi terlebih dahulu.

Saya saat itu berhasil lolos dan mengikuti program ini pada angkatan ke-6 Kampus Mengajar yang dilaksanakan dari Agustus hingga Desember 2023 lalu.

Kami yang tergabung dalam program ini digaungkan sebagai agen perubahan pendidikan. Akan tetapi, sematan tersebut justru bagi saya tak begitu membanggakan. Banyak realita di lapangan yang justru tak seindah gaungannya.

Ia sebatas enak di telinga saja. Begitu menggelora seolah-olah dunia pendidikan kita telah mengalami transformasi yang begitu besar. Tapi, apa benar demikan?

Sarang Feodalisme Dosen dan Pihak Sekolah

Embel-embel Merdeka Belajar yang tersemat dalam program Kampus Mengajar justru 180 derajat berkebalikan dengan realitanya. Di lapangan, program ini malah menjadi sarang feodalisme dari dosen dan pihak sekolah.

Banyak dosen pembimbing yang terkesan tidak serius dan menyepelekan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa yang curhat di grup Telegram Kampus Mengajar terkait dosen pembimbing yang sulit dihubungi serta proses accedere (acc) laporan mingguan yang memakan waktu lama, bahkan sampai melewati batas waktu yang sudah ditentukan.

Di sini, otoritas dosen pembimbing untuk acc laporan justru disalahgunakan sebagai praktik feodalisme. Misalnya, ada salah satu mahasiswa yang curhat terkait dosen pembimbingnya yang akan meng-acc laporan mingguan dengan syarat mahasiswa tersebut harus mengerjakan laporan dosen terlebih dahulu. Padahal, kan, itu tanggung jawabnya si dosen, ya. 

Bisa dibayangkan jika berada di posisi mahasiswa tersebut. Mau tidak mau harus menurutinya. Sebab, acc laporan mingguan dari dosen pembimbing merupakan syarat cairnya Biaya Bantuan Hidup (BBH).

Memang, ada opsi untuk melaporkan hal seperti ini kepada pihak Tim Kampus Mengajar. Akan tetapi, status “mahasiswa” dan “dosen” tampaknya menjadi sebuah penjara.

Terlebih, apabila dosen tersebut adalah dosen di fakultas atau bahkan program studi si mahasiswa. Tentu, mahasiswa akan berpikir seribu kali sebelum melapor.

Selain dosen pembimbing, praktik feodalisme juga dilakukan oleh pihak sekolah. Sempat ramai di grup besar Telegram Kampus Mengajar soal mahasiswa yang mengeluhkan beberapa kesalahpahaman pihak sekolah.

Yang paling lucu, ada yang mengadu pihak sekolah meminta ini itu, seperti renovasi kantor, kelas, dan banyak hal lainnya.

Pihak sekolah meminta hal tersebut dengan dalih untuk melihat kreativitas mahasiswa Kampus Mengajar. Ada juga yang berdalih bahwa mahasiswa mendapat gaji dari pihak Kampus Mengajar.

Pada situasi ini, mahasiswa lagi-lagi terpenjara oleh statusnya sebagai “tamu” yang kasarannya merupakan “penumpang” di sekolah itu.

Pihak sekolah yang seperti itu terkesan aji mumpung. Mumpung ada mahasiswa, ya, dimanfaatkan saja. Padahal, kan, sebelumnya sudah ada forum komunikasi dan koordinasi antara mahasiswa, dosen pembimbing, dan pihak sekolah.

Tidak Ada Agen Perubahan

Sematan agen perubahan pada mahasiswa menurut saya berlebihan. Seolah-olah dalam kurun waktu penugasan selama 6 bulan akan tercipta banyak perubahan di sekolah. Seolah-olah dengan kehadiran mahasiswa akan tercipta kondisi literasi dan numerasi yang kuat di sekolah.

Pertama, sebenarnya tidak semua mahasiswa yang tergabung dalam program Kampus Mengajar memiliki kompetensi yang memadai.

Hal ini dikarenakan proses selama perkuliahan di kampus yang hanya menekankan pada aspek administrasi seperti pembuatan Modul Ajar atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Minim sekali materi perkuliahan tentang filosofi pendidikan, psikologi perkembangan anak, dan bekal kemampuan pedagogi, di mana ketiga hal ini teramat penting. Tapi, tentu saja, hal semacam ini tidak dapat digeneralisasi terjadi di semua kampus.

Selanjutnya, mahasiswa yang tergabung dalam program Kampus Mengajar tidak hanya berasal dari jurusan keguruan. Ini menyebabkan kolaborasi yang terkesan asal-asalan.

Alhasil, program kerja yang dilakukan selama penugasan sebatas yang penting jalan. Tidak ada landasan yang kuat mengenai apa pentingnya program kerja tersebut dilaksanakan.

Terakhir, program kerja yang dijalankan mahasiswa kecil kemungkinan akan berkelanjutan ketika mereka sudah selesai bertugas. Kebanyakan sekolah akan kembali ke setelan pabrik. Kembali ke berbagai program kerja yang, ya, sudah selesai begitu saja.

Mengenai agen perubahan dalam dunia pendidikan, semuanya memang harus menjadi agen perubahan itu. Semuanya harus berbenah dan terus mengupayakan perubahan ke arah yang lebih baik. Ini bukan cuma peran mahasiswa, tapi juga pemerintah, kampus, kepala sekolah, guru, dan kita semua (masyarakat).

Sematan agen perubahan pada mahasiswa yang terus digelorakan justru pada akhirnya akan menjadi penjara. Mahasiswa tidak bisa meninjau secara kritis berbagai kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Mahasiswa malah terkesan menjadi sales program pemerintah.

PLP Versi VIP yang Penuh Citra Positif

Saya melihat program Kampus Mengajar terkesan mirip seperti Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP), tapi versi VIP atau eksklusif.

Saya katakan VIP karena berbagai fasilitasnya seperti pengakuan 20 SKS, uang BBH, dan bantuan UKT. Semua fasilitas inilah yang sebenarnya menjadi motif paling utama mayoritas mahasiswa mengikuti Kampus Mengajar.

Program yang terlihat seolah menunjukkan transformasi pendidikan ini sebenarnya tidak begitu transformatif. Tidak ada perubahan yang esensial.

Yang ada cuma perubahan bungkusnya saja yang jadi lebih cantik. Kecantikan bungkus inilah yang justru menipu mata dan menganggapnya sudah bertransformasi

Hal yang paling nyeleneh menurut saya adalah ending dari program ini yang penuh citra positif. Di akhir penugasan, mahasiswa, dosen, dan pihak sekolah diarahkan untuk membuat video testimoni. Jelas, namanya testimoni maka yang keluar, ya, yang baik-baik saja meskipun fakta sebenarnya ngaco semua.

Ironisnya, testimoni ini akan ditampilkan dan digelorakan ketika sosialisasi program Kampus Mengajar angkatan selanjutnya, juga lewat berbagai media.

Seolah-olah program ini sangat berdampak membawa perubahan dengan embel-embel Merdeka Belajar. Padahal, faktanya masih ada feodalisme, eksploitasi, dan berbagai permasalahan lainnya.

Tapi, bukan berarti saya tidak setuju dengan program Kampus Mengajar. Saya juga mengakui bahwa tujuan dari program ini sebenarnya bagus. Akan tetapi, pada tingkat pelaksanaannya masih digerogoti banyak penyakit.

Alih-alih mendiagnosis penyakit dan mencari obatnya pemerintah justru menggaungkan keberhasilan dengan mengambil sampel dari beberapa sekolah.

Hal seperti ini justru mengaburkan masalah esensial pendidikan kita. Citra positif yang ditampilkan akan memberi kesan bahwa dunia pendidikan kita saat ini baik-baik saja, padahal faktanya tidak.

Jadi, pemerintah dalam segala kebijakannya seharusnya melakukan evaluasi dan refleksi yang mendalam, serius, dan menyeluruh.

Evaluasi dan refleksi seperti ini justru akan membongkar kekurangan dan kegagalan pelaksanaan program sehingga dapat dicarikan solusi perbaikannya. Bukan malah sibuk menggaungkan citra positif dan branding terhadap program-program yang masih bermasalah.

Penulis

Femas Anggit Wahyu Nugroho

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng. Seorang mahasiswa PGSD di Universitas Muria Kudus.
Opini Terkait
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel