Benar yang dikatakan mbak Rania Alyaghina dalam tulisannya “Lelah dengan rutinitas dan ide mandek? Ke kamar mandi saja!”, bahwa saat di kamar mandi ide meluncur dengan deras.
Bahkan ide pikiran yang aneh sekalipun atau mempertanyakan hal-hal yang sudah banyak orang klaim. Seperti saya saat ini, yang mempertanyakan…. affah iyahh Surabaya itu Kota Pahlawan?
Di setiap perayaan ulang tahun Surabaya, pesta-pesta rakyat di Surabaya, perayaan Hari Pahlawan, bahkan branding city Surabaya, pasti nggak pernah luput narasi bahwa Surabaya adalah Kota Pahlawan.
Seolah-olah Surabaya adalah si paling Kota Pahlawan, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Di setiap perayaannya, pakaian ala militer tempo dulu adalah simbol yang khas untuk menunjukkan bahwa Surabaya adalah Kota Pahlawan.
Surabaya bukan satu-satunya daerah yang melawan kolonial
Iyaapps saya tauu, alasan utama mengapa Kota Pahlawan disematkan pada Surabaya karena kota ini memiliki sejarah pemberontakan pada bangsa kolonial. Inggris khususnya, pertama kali pasca kemerdekaan tepat pada 10 November 1945 yang saat itu disematkan pula sebagai Hari Pahlawan.
Nggak hanya sampai di situ aja, keberanian arek-arek Suroboyo juga digadang-gadang menginspirasi daerah-daerah lain untuk melawan bangsa kolonial.
Namun, atas dasar itu, seolah-olah kita membengkokkan sebuah sejarah, dan menafikan sebuah sejarah daerah lain begitu saja tentang berbagai pemberontakan, berbagai perlawanan, berbagai perang yang ada di Indonesia, khususnya di kawasan Nusantara yang menjadi cikal bakal Indonesia.
Misalnya, bagaimana kita menanggapi pertempuran Medan Area pada Oktober 1945 dan Lima Hari Pertempuran di Semarang pada 15-19 Oktober 1945 yang berlangsung sebelum perang Surabaya? Pertempuran Ambarawa di Jawa Tengah, Bandung lautan api, perang puputan margarana di Bali, bagaimana dengan itu semua?
Jauh sebelum Indonesia merdeka, masih banyak perang besar lainnya. Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Saparua di Ambon, Maluku (1817), Perang Padri Sumatera Barat (1803-1838) dan berbagai perang lainnya yang banyak sekali jumlahnya. Dan, menurut saya perang pra kemerdekaan itu justru yang menjadi landasan, motivator atas kemerdekaan dan perang pasca kemerdekaan.
Lantas, mengapa perang di Surabaya lebih diistimewakan? Hingga menjadi penyematan Kota Pahlawan pada Surabaya, sekaligus peringatan Hari Pahlawan. Padahal, kota atau daerah yang lain di negeri ini juga sibuk berperang, nggak adem ayem ngopi bareng sama bangsa kolonial.
Pemimpin bangsa dan Pahlawan nggak hanya terlahir di Surabaya
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa penyematan Kota Pahlawan pada Surabaya dikarenakan kota tersebut melahirkan para pemimpin bangsa, bahkan tidak sedikit terlibat langsung dalam sebuah perang. Bung Tomo misalnya, ada pula MT Haryono dan Ir. Soekarno.
Iyaaa saya mengakui hal itu. Tapi argumentasi tersebut dan hubungannya dengan klaim Surabaya sebagai Kota Pahlawan menurut saya masih kurang. Maksud saya, nggak hanya Surabaya tok gitu lo yang melahirkan para pemimpin bangsa dan pahlawan.
Baca Juga: Perang Bintang Pilkada Jakarta
Bung Hatta misalnya dari Bukit Tinggi, Agus Salim dari Sumatra, Raden Kartini dari Jawa Tengah, dan masih banyak lainnya yang berasal dari berbagai daerah dari Sabang hingga Merauke. Jadi, Surabaya bukan satu-satunya daerah yang menetaskan para pemimpin bangsa dan pahlawan Indonesia.
Selain itu, taman makam pahlawan juga nggak hanya ada di Surabaya. Hampir semua daerah di Indonesia itu memiliki makam pahlawan, yang menunjukkan bahwa disitu juga telah berlangsung peperangan dan muncul pahlawan pembela bangsa.
Romantisisasi sejarah
Melalui narasi tersebut, dan sebagaimana kebanyakan penyematan identitas pada sebuah daerah di Indonesia, tidak lebih berdasarkan pada bentuk romantisasi sejarah yang pernah ada di kota tersebut.
Pada akhirnya, kita mengagung-agungkan sejarah, mendewa-dewakannya, bahkan mengabadikannya, dengan berangsur-angsur puluhan bahkan ratusan tahun mendatang. Padahal pengagungan sejarah itu nggak baik, nggak berpikir ke depan. Hanya berbekal pada kehebatan masa silam. Peradaban semakin hancur kalo hanya mendewakan sejarah.
Begitupun dengan Surabaya yang mendewakan sejarahnya. Mengagungkan historisitasnya dengan menyematkan “Kota Pahlawan” sebagai identitasnya. Melalui perang 10 November, dijadikannya simbol bahwa Surabaya seolah-olah pantas menyandang identitas tersebut.
Surabaya kelam, terjebak dan terpaku dalam historisitasnya sendiri. Surabaya melupakan apa sebenarnya esensi dari pahlawan itu sendiri, apa itu heroisme, dan bagaimana nilai itu seharusnya melekat pada masyarakat Surabaya.
Pergeseran nilai heroisme: berani
Salah satu nilai-nilai heroik, nilai-nilai kepahlawanan yang barangkali sering dipegang oleh masyarakat Surabaya adalah wani atau berani.
Makna ini juga tersemat dalam istilah “Surabaya” itu sendiri. Konon katanya, Sura alias Suro itu memiliki makna berani, dan Baya itu bermakna bahaya, yang berarti berani akan bahaya.
Begitupun ketika kita mendengar istilah “Bonek” yang merupakan akronim dari Bondho Nekat, alias berbekal keberanian. Secara filosofis mungkin nilai heroik berani ini sangat memiliki makna yang mendalam dan terkandung kental dalam masyarakat Surabaya. Jadi, seolah-olah sikap berani itu tertanam lekat pada masyarakat Surabaya.
Dari akar sejarahnya sendiri, istilah Bonek dicetuskan pertama kali oleh Slamet Urip Pribadi, wartawan Jawa Pos pada 1989. Ia memilih akronim Bondho Nekat itu karena memang Surabaya dikenal akan sejarah kepahlawanannya, keberaniannya, bahwa ketika pertandingan Persebaya vs Persija Jakarta di GBK, para suporter nekat berbondong-bondong ke Jakarta.
Namun, seiring berjalannya waktu, apa yang disebut berani di sini mengalami pergesaran makna. Bonek, yang kala itu menjadi nama dari sebuah suporter sepak bola Persebaya, sangat terkenal dengan nilai keberanian mereka. Karena ulah oknum, wujud-wujud destruktif seperti tawuran seakan melekat pada Bonek.
Mulai dari pendewaan membabi buta pada sejarah kepahlawanan, hingga pelencengan makna nilai-nilai heorik kepahlawanan, masih yakinkah kita mengklaim Surabaya sebagai Kota Pahlawan?