Mendambakan Kehidupan Sepak Bola yang Dialektis, Mungkinkah?  

Mendambakan Kehidupan Sepak Bola yang Dialektis, Mungkinkah?  

Mendambakan Kehidupan Sepak Bola yang Dialektis
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Persoalan nyalahin wasit hanya salah satu contoh betapa fans sepak bola masih terjangkit virus illiterate

Hampir semua dari kita yang ngefans sama sebuah klub sepak bolą, pasti pernah nobar dengan orang-orang yang ngefans sama klub rival. Baik itu di kafe-kafe, rumah, kos-kosan, lapangan, hingga pos ronda.

Suasana seperti ini memang seru. Atmosfer rivalitas seolah tak hanya terasa di Camp Nou dan Santiago Bernabeu, Old Trafford dan Ettihad, Allianz Arena dan Signal Iduna Park, hingga San Siro atau Giuseppe Meazza.

Melainkan juga dirasakan oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang di sudut-sudut kecil kota, jalanan, hingga pelosok pedesaan, di mana pun itu.

Tidak berbeda dengan para penonton di stadion. Orang-orang ini juga akan ikut merasakan keringat dingin, ketegangan, kesedihan, hingga euforia.

Meskipun terasa seru, rivalitas antar fans, secara bersamaan, dapat terasa menyebalkan. Salah satunya karena sikap fanatisme buta dari banyak fans yang membuat mereka tidak dapat menerima kekalahan. Serta menyalahkan pihak yang sebenarnya tidak berpengaruh besar atas kekalahan klub kesayangannya itu.

Fenomena “Sok Tahu” Bukti Sikap Illiterate

Bagi saya, yang paling menyebalkan dari sikap fans yang seperti itu, adalah selalu menyalahkan wasit tiap kali klubnya tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Fans dengan kadar fanatisme yang tinggi ketika pertandingan El-Classico, misalnya, baik ketika Barca yang kalah atau Madrid yang kalah, ujung-ujungnya akan nyalahin wasit.

Yang lebih menjengkelkannya lagi, mereka akan menganggap wasit disogok karena kepemimpinannya di lapangan yang dirasa berat sebelah. Kok, bisa gitu lho, mereka berpikiran demikian? Tahu dari mana kalo wasit disogok?

Apakah sudah terbukti dengan melakukan investigasi hingga ke akar persoalannya? Kok, bisa bikin kesimpulan nyeleneh kayak gitu? Sebagai fans Barca, denger perkataan wasit disogok saya nyaris tak terima.

Oke, memang ada isu kalo Barca terjerat skandal suap wasit, seperti yang sudah dilaporkan banyak media beberapa waktu lalu. Tapi kan ini masih dugaan. Belum terbukti kebenarannya.

Itulah fenomena sok tahu yang nyaris selalu menjangkiti fans sepak bola tanah air, terutama jika yang berlangsung adalah laga antar klub rival. Semua pada nyalahin wasit. Goblok-goblokin wasit. Padahal, menjadi wasit bukan profesi yang mudah untuk dijalankan.

Makanya tidak mengherankan jika sosok pengadil lapangan nyaris tidak populer sama sekali di dunia sepak bola. Yang dikenal paling cuma Pierluigi Collina, wasit legendaris yang sering membikin nyali pemain ciut, atau Kazuki Ito, wasit Winning Eleven yang terkenal ganas itu. 

Tapi, saya tak akan bicara banyak soal pengadil lapangan yang dalam hidupnya selalu beririsan dengan umpatan, cacian dan makian.

Yang hendak saya bicarakan adalah soal kualitas literasi sepak bola kita, yang masih rendah ketika fenomena nyalah-nyalahin wasit atau umpatan picisan terjadi. Persoalan nyalahin wasit hanya salah satu contoh betapa fans sepak bola masih terjangkit virus illiterate.

Betapapun Klisenya, Literasi (Sepak Bola) adalah Koentji!

Saya tak akan meletakkan literasi pada definisinya yang nyaris kelewat purba itu, yakni melahap banyak buku. Justru, sikap literate, kata Iqbal Aji Daryono—dalam sebuah tulisannya, “Arogansi Buku-buku”—bukan sesederhana sikap membaca teks, apalagi sekadar mau membaca buku.

Penulis prolifik itu melanjutkan bahwa literasi adalah sikap rakus akan pengetahuan, sekaligus sikap berusaha memahami pengetahuan dengan holistik dan komprehensif, dari beragam sudut pandang, dan proses pemahaman itu dijalankan dengan kritis bahkan skeptis.

Dengan meminjam definisi di atas sebagai pijakan, bisa dilihat benang merahnya; fans kita merasa sudah pintar hanya karena mereka rajin menonton pertandingan sepak bola, dan seolah sama sekali tak butuh pengetahuan tambahan yang berkaitan dengan tetek-bengek sepak bola. 

Tak perlu memahaminya dengan holistik dan komprehensif. Tak perlu baca-baca literatur tentang bola, rutin dengerin siniar, dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan sepak bola.

Kondisi seperti ini kian diperparah dengan perdebatan ngawur, karena tak cukup bekal memahami informasi tentang sepak bola tadi.  Implikasinya, perdebatan yang ujung-ujungnya lari ke caci maki antar fans di media sosial mulai mengerucut ke konflik fisik di kehidupan nyata. 

Kurangnya literasi dapat membuat beberapa oknum suporter bertindak tak terkendali. Tak pelak, kondisi seperti ini membuat suporter sepak bola kita harus nerima kenyataan dapat stigma negatif dari masyarakat.

Padahal, tanpa adanya euforia sekelompok suporter, hambar rasanya dunia sepak bola. Pada titik dilema seperti ini serta untuk mengatasi persoalan konflik, baik verbal maupun fisik, saya mulai kepikiran bahwa literasi sepak bola, biar bagaimanapun klisenya dibicarakan, tetap mutlak dibutuhkan.

Untuk mencapai tahap itu, pertama-tama, mau tidak mau harus dimulai dari suporter itu sendiri. Harus ada kesadaran bersama bahwa pengetahuan sepak bola kita masih terbatas.

Buktinya, ketika tim kita kalah, hal-hal receh lah yang jadi alasan. Kita belum sepenuhnya punya inisiatif untuk nyecroll portal-portal bola macam Panditfootball.com, yang kuat analisisnya dalam mengupas taktik suatu pertandingan tertentu, atau rutin dengerin siniar yang obrolan sepak bolanya dialektis dan diskursif.

Bahkan, tidak perlu jauh-jauh ke soal kemampuan menganalisa jalannya pertandingan, terkait aturan dasar, seperti handball atau offside pun, tidak sedikit dari para fans yang masih belum benar-benar memahaminya.

Selain itu, perlu disadari bahwa ada begitu banyak informasi soal sepak bola ditulis dan dibicarakan setiap harinya. Keberlimpahan informasi ini mesti kita tanggapi dengan bijak.

Tak cukup hanya dengan satu informasi saja lalu buru-buru mau ngomongin soal kekalahan tim kita, misalnya. Kita perlu banyak baca informasi sebagai perbandingan.

Jadi, literasi sepak bola berkaitan pula dengan cara kita memilah informasi. Atau, tepatnya, beririsan dengan literasi media.  Sesuatu yang oleh The National Leadership Conference on Media Literacy disebut sebagaikemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam beragam bentuk.”

Kedua, literasi sepak bola itu perlu didukung sepenuhnya oleh pemerintah atau penyelenggara klub. Tidak usah muluk-muluk. Bisa dimulai dengan mempelopori gerakan kecil-kecilan. Seperti dengan menyediakan Matchday Programme (MP) tiap jelang pertandingan.

MP adalah sejenis booklet berukuran A4 yang memuat susunan pemain, statistik, sesekali juga wawancara dengan pelatih.  Sekadar disclaimer, di Inggris, MP sudah diproduksi sejak 1888, berbarengan dengan dimulainya kompetisi liga Inggris untuk pertama kali.  Jadi, tak heran jika sepak bola di sana begitu maju.

Gambaran tersebut hanya sekelumit contoh yang bisa ditiru pihak operator klub atau pemerintah. Masih banyak inovasi berkaitan dengan literasi sepak bola yang mesti dipikirkan. Mau nggak mau sesegara mungkin gerakan literasi sepak bola diagendakan secara masif.

Selain untuk meluaskan wawasan, melalui literasi sepak bola, fans tanah air juga dapat menjadi semacam pressure group yang nantinya akan turut mengawal segala bentuk keputusan yang diambil pemerintah.

Kita mendambakan iklim sepak bola yang dihuni para penggemar yang bajik dan bijak. Perdebatan-perdebatan di ruang virtual maupun publik diisi oleh perdebatan yang substantif, sublim, nggak dangkal.

Selain itu, fanatisme yang diusung adalah fanatisme yang sehat. Sehingga, ketika dewi fortuna sedang tidak berpihak pada klub yang kita dukung, kita dapat berlapang dada: nggak langsung mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu.

Inisiatif kita tidak lagi inisiatif picisan. Inisiatif kita inisiatif mulia: menyelami samudera pengetahuan sepak bola secara utuh.

Dengan cara begitu, sangat mungkin dalam beberapa tahun ke depan kehidupan sepak bola di tanah air menjadi lebih dialektis. Layaknya dihuni perkumpulan para filsuf, yang mau berpikir sebelum bertindak, dan berdialektika sebagai jalan memecah segala persoalan. Dan, itu yang kita dambakan, Bung

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Muhammad Ghufron

Pemuja estetika Total Football FC Barcelona. Sesekali suka melamun

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel