Jujur saja, sewaktu baca opini dari Mas Ahmad Maulana soal baliho caleg sampah visual dan minim gagasan, saya senyum-senyum sendiri.
Bukan bermaksud apa-apa. Di satu sisi, saya setuju kalau baliho-baliho kampanye memang sampah visual. Tapi, di sisi lain, saya juga tahu kenapa baliho seperti ini masih dipake sama para calon anggota legislatif (caleg).
Logika sederhananya, kalau banyak masyarakat seperti Mas Ahmad yang tidak suka, harusnya gak bakal ada yang pake cara yang sama. Sebab, kita tahu pemilu sudah berlangsung dari tahun 1955 dan di tahun itu baliho partai juga sudah marak digunakan.
Sebelum beranjak lebih lanjut, saya mau bilang kalau opini balasan berikut bukan bermaksud untuk merasa paling benar. Hanya saja, saya sebagai orang yang pernah belajar komunikasi politik dan membahas tentang fenomena ini di skripsi saya merasa gatal ingin menulis balasan, sebagai alternatif pemikiran.
Opini Mas Ahmad ini menurut hemat saya bias dan hanya berkutat pada alam pikirannya saja. Sebab, dalam melihat fenomena sosial dan politik, kita harus punya cakrawala berpikir yang luas agar kita punya solusi yang pas dari permasalahan tersebut.
Baca Juga: Pilpres 2024 Butuh Sosok Nurhadi-Aldo
Baliho Memang Gak Dibuat Untuk Menyampaikan Gagasan
Dalam opininya, Mas Ahmad misuh-misuh karena baliho caleg yang kebanyakan hanya menjual gimick dan minim gagasan. Menurut saya nih, mas, baliho kampanye memang bukan buat ngasih gagasan kok, karena kalaupun mau ditambah gagasan, emang mereka punya? hehe.
Baliho adalah langkah awal bagi para caleg untuk menyampaikan pesan politiknya. Lalu, apakah pesan politik harus berbentuk gagasan dan inovasi? Jawabannya adalah tidak!
Caleg berharap dengan memasang baliho mereka bisa dikenal oleh para calon pemilih di setiap daerah pemilihannya (dapil). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas si caleg tersebut.
Jadi, kalau di opini mas Ahmad dibilang, “yang penting tau dulu, soal gagasan bisa nanti” atau “sebenernya, mereka mau jual gagasan atau jual muka sih?”
Ya, memang tujuan mereka itu jual muka biar masyarakat tahu dulu. Survei elektabilitas di iklim demokrasi kita masih dibilang cukup penting. Soalnya hasil survei ini akan menjadi tolak ukur caleg untuk mengambil keputusan lebih lanjut.
Tak jarang juga kita lihat ada beberapa caleg yang memasang baliho sebelum masa kampanye dimulai bahkan dari sebelum orang tersebut daftar. Tujuan dari baliho kan untuk membentuk perspektif masyarakat tentang caleg tersebut.
Mas Ahmad juga mengeluhkan pesan-pesan seperti “wayahe wong tulus tampil” dan “cah alumni uin.” Lah, justru ini pesan politik yang ingin disampaikan, mengingat pesan-pesan seperti inilah yang mudah ditangkap oleh masyarakat kita.
Target Pasar Baliho Bukan Orang-Orang yang Kenal Socrates, Mas!
Kalo mas Ahmad ini risih sama baliho yang ada di pinggir-pinggir jalan, itu tandanya Anda bukan target pasarnya. Bukan juga bagi orang-orang yang kenal Socrates… hehe.
Sejatinya, tidak ada politisi yang mau membakar uangnya begitu saja. Di belahan bumi manapun semua politisi pasti mau untung.
Jadi, para politisi, dalam hal ini caleg, akan selalu mengikuti trend yang disukai masyarakat. Sangat tidak mungkin mereka melakukan hal yang merugikan dalam kampanyenya, apalagi dengan iklim persaingan yang cukup ketat.
Dari sini, kita bisa tarik benang merahnya. Orang-orang yang tidak suka baliho seperti mas Ahmad ini jumlahnya masih kecil dibanding mereka yang masih belum merasa terganggu.
Letak baliho hampir seratus persen ada di pinggir jalan. Dengan memasang foto segede gaban, caleg-caleg ini berharap masyarakat bisa setidaknya lebih tahu atau kenal dulu dengan sosok mereka. Karena letaknya dipinggir jalan, pesan politik yang disampaikan cenderung bersifat ringan dan tidak terlalu banyak.
Hal ini bertujuan agar semua orang yang lewat bisa dengan cepat melihat dan membaca pesan tersebut. Ya, masak mau bikin baliho dengan “gagasan” sepanjang dua paragraf, misalnya. Orang-orang malah keburu lewat sebelum tau intinya dong!
Kemudian, terkait yang disampaikan oleh Mas Ahmad di akhir opininya tentang kalimat persuasi, kalimat mudah diingat, dan brand ambasador, ini semua sudah dilakukan oleh caleg itu sendiri.
“Wes wayahe wong tulus tampil” dan “cah alumni uin” itu apa coba kalau bukan kalimat-kalimat persuasi dan mudah diingat.
Kedua contoh di atas sebenarnya menjadi bukti kalau para caleg sudah melaksanakan saran dari mas Ahmad. Jadi, Mas Ahmad ini memberikan saran kepada caleg balihonya harus seperti apa, tapi calegnya sendiri sebenarnya udah ngelakuin… Lucu sih. Memang secara substansi berbeda, tapi, secara metode, mereka sudah melakukannya.
Tata Letak Baliho Lebih Mendesak
Di media sosial sempat viral tentang suasana kampanye di Jepang, di mana baliho dan poster diletakkan secara teratur dan para calon berkampanye menyampaikan gagasannya di stasiun.
Nah, fenomena seperti inilah yang bisa kita jadikan pelajaran. Masalanya, pemerintah kita ini memang susah, sih, buat diajak rapi dikit. Bukan cuma perkara baliho saja, tapi ada banyak, salah satunya soal kondisi kabel listrik di pinggir jalan yang masih banyak yang semrawut.
Lalu, soal Pemilu, KPU sampai saat ini masih belum kaffah dalam mengurusinya. Mereka kebanyakan hanya berkutat pada pendaftaran, logistik, aturan, dan pemilihan saja. Padahal, menurut hemat saya, masih banyak urusan lain, yang merupakan turunan dari itu semua, yang harus ditangani.
Utamanya, soal tata letak baliho. Jangan sampai ada baliho yang memotong jalur pedestrian. KPU harus berani mengeluarkan aturan terkait siapa saja yang berhak menurunkan baliho yang menghalangi orang lagi jalan ini.
Kemudian, berikan space khusus bagi para caleg untuk menempelkan poster atau balihonya, di mana lokasi dan penempatan baliho pun perlu diatur sedemikian rupa. Pokoknya, gimana caranya agar bisa tersusun rapi dan terkesan tidak mengganggu pemandangan.
Sebab, kalau tidak ada aturan yang lebih spesifik atau tegas soal tata letak, maka baliho-baliho kampanye akan selamanya dipandang sebagai sampah visual.