Mental Health Snobs dan Industri Konten Self Improvement

Mental Health Snobs dan Industri Konten Self Improvement

Mental Health Snobs dan Industri Konten Self Improvement
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Seseorang yang memiliki kecenderungan mental health snobs itu adalah pribadi yang membosankan dan tentu saja nggak asik banget kalau diajakin nongkrong.

Pernah nggak nemuin orang yang suka banget mengonsumsi hal-hal yang berbau psikologi? Nggak ada yang salah sii, bagus malah. Karena dengan dia mempelajari psikologi, dia bisa jadi aware terhadap diri dan mentalnya.

Namun yang menjadi masalah adalah ada oknum langsung mengadopsi apa yang telah ia baca dan lihat mentah-mentah. Lalu merasa si paling melek mental health. Bahkan tak jarang malah jadi orang yang playing victim, merasa seseorang telah “mengganggu” kesehatan mentalnya dan jadi orang suka judge orang lain dengan dalih melindungi mental health-nya.

Orang-orang seperti ini biasanya sebatas mempelajari psikologi dari postingan media sosial. Misalnya Instagram dan Tiktok. Konten yang berseliweran biasanya berisi kalimat afirmasi, yang menurut saya terkesan cengeng dan menye-menye. Seperti “tenang yaa…”, “gapapa kok..”, “jangan nangis..”, “nanti juga sampai..” dan lain-lain.

Nggak ada yang salah siii. Karena bagi sebagian orang afirmasi positif semacam itu lumayan berpengaruh.

Baca Juga: 5 Hal yang Dapat Kamu Lakukan Saat Depresi (Bukan Psikolog)

Mental health snobs yang annoying

Tapi yaaa gitu. Perilaku orang-orang ini—yang suka konsumsi konten psikologi mentah-mentah dan merasa si paling, jatuhnya sok! Jadilah mental health snobs, yakni orang-orang yang sok atau si paling ngerti soal mental health dan segala lini kehidupannya dikaitin sama isu kesehatan mental.

Lebih dari itu, orang mental health snobs ini kebanyakan gampang tersinggung alias baperan. Saya pernah menemukan orang seperti ini di tongkrongan. Misalnya, dia pernah mengeluh soal dimarahi atasan. Yaa karena dia molor juga sihh buat ngumpulin tugas dari bosnya. Terus dia pengen healing jalan-jalan ke Bali, demi mental health-nya katanya. Lalu ada lah teman yang lain yang nyeletuk “halah dikit-dikit healing,”

Yaa nggak salah sii soal healing-nya. Tapi daripada healing, mungkin istilah tepatnya coping mechanism kali yaaa. Alias cara atau strategi yang dilakukan seseorang untuk mengatasi stres.

Tapi nggak sampe situ aja. Setelah orang mental health snobs ini diceletuki demikian, dia marah-marah. Ngata-ngatain teman yang nyeletuk tadi, dan mengatakan bahwa orang tersebut telah melukai kesehatan mentalnya, membuat mentalnya terganggu, dan lain-lain. Yang ujungnya menceramahi kita soal kesehatan mental. Wes pokoknya nggak bisa disenggol deh mental health snobs ini.

Serius, sebenernya kami nggak apa-apa kalau dia sharing soal isu-isu kesehatan mental. Mungkin jadi ketularan aware sama isu tersebut. Tapi ya gitu, kami nggak kuat sama orangnya yang baperan. Terlebih, apa yang “mengganggu”nya itu yaa hasil dari perbuatannya sendiri. Contohnya yaa tadi, dia dimarahin bosnya, yaa karena dianya molor. Terus setelah dimarahi, bukannya memperbaiki dan nggak mengulanginya lagi, tapi dia malah pundung, menjauh dan mengabaikan bosnya, dan malah kepikiran healing. Jadinya kayak lari dari masalah.

Jadi boleh dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan mental health snobs itu adalah pribadi yang membosankan dan tentu saja nggak asik banget kalau diajakin nongkrong.

Konten self improvement dan kepentingan industri

Adanya orang-orang golongan mental health snobs ini tidak lepas dari adanya konten self improvement. Iyaa, memang menjadi pembuat konten dan penulis genre self improvement itususah-susah gampang. Tidak hanya sekadar membuat kata-kata.

Apalagi sekarang banyak bias mengenai self improvement yang digandrungi oleh banyak orang. Jika merujuk pengertiannya, self improvement adalah sebuah kegiatan yang meliputi upaya meningkatkan kemampuan diri, bakat, minat, potensi maupun kesadaran diri yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Sederhananya, self improvement merupakan langkah pengembangan diri yang dimulai dari individunya sendiri. Tapi justru akun-akun self improvement malah seperti menjadi akun-akun pemberi afirmasi belaka.

Akun-akun tersebut seharusnya lebih memotivasi viewers atau pembacanya untuk lebih produktif. Bukan malah memvalidasi kemalasannya. Alih-alih menuliskan kalimat “Yaudah nggak apa-apa yaa, berhenti dulu masih ada hari esok,” seperti yang sering muncul di beranda dan explore, lebih baik menuliskan “Ayo dikiit lagi bisa..” Mungkin teman yang saya ceritakan tadi adalah salah satu korbanya.

Karena banyaknya konten-konten seperti itu, dan pasarnya ada, banyak malah. Saya jadi bertanya-tanya,  “apa jangan-jangan para pembuat akun yang mengklaim sebagai akun self improvement itu hanya sekadar ikut-ikutan tren?”

Maksud saya begini, jangan-jangan mereka menulis dan memproduksi konten seperti itu hanya karena kepentingan industri? Yaa kepentingan industri ini bisa berarti memang berangkat dari rasa peduli atau peka terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat seputar mental health. Tapi besar kemungkinan aji mumpung melihat potensi atau peluang pasar yang berkembang saat ini untuk numpang eksis.

.

Penulis

Jewellius Kistom M

Penulis Self Improvement

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel