Perkara Nyalah-Nyalahin Wasit, Bukan Hanya Soal Kurangnya Literasi

Perkara Nyalah-Nyalahin Wasit, Bukan Hanya Soal Kurangnya Literasi

Perkara Nyalah-Nyalahin Wasit Bukan Hanya Soal Kurangnya Literasi
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Kurangnya literasi bukan menjadi satu-satunya penyebab munculnya kecenderungan menyalahkan sang pengadil lapangan

Pendapat Muhammad Ghufron dalam opini Mendambakan Kehidupan Sepak Bola yang Dialektis, Mungkinkah? terkait fenomena menyalahkan wasit yang muncul dari kurangnya literasi pada suporter membuat saya tergelitik.

Bagi mas Ghufron, banyak di antara suporter kita yang masih terjangkit virus ‘illiterate’ soal sepak bola, di mana nyalah-nyalahin wasit menjadi salah satu buktinya.

Di dalam opininya, mas Ghufron memang hanya mengambil contoh kasus adu mulut antara para suporter klub-klub sepak bola Eropa di Indonesia, atau secara lebih spesifik fans-fans Barcelona dan Real Madrid, sebagai bahan analisisnya terhadap fenomena nyalah-nyalahin wasit.

Padahal, persoalan semacam ini juga marak terjadi di kalangan penggemar klub-klub sepak bola tanah air. Berangkat dari hal ini, dengan lebih berfokus pada kasus sepak bola Indonesia, saya ingin menambahkan bahwa kurangnya literasi bukan menjadi satu-satunya penyebab munculnya kecenderungan menyalahkan sang pengadil lapangan.

Saat membahas terkait persoalan suporter, bagi saya, analisa mas Ghufron hanya melihat dari sisi kurangnya literasi pada suporter saja, tanpa melihat hal-hal lain di luar suporter itu sendiri yang juga dapat menjadi pemicu kecenderungan mengkambinghitamkan wasit

Sebab, jika ingin mengurai suatu masalah akan lebih baik jika kita melihatnya secara menyeluruh. Sepak bola perlu dilihat sebagai suatu sistem, jadi satu persoalan memiliki keterkaitan dengan persoalan lain.

Justru Wasit yang Menjadi Biang Kerok

Sebagai penikmat sepak bola nasional kurang lebih sejak tahun 2005, saya cukup mengikuti perkembangan olahraga kecintaan masyarakat tanah air ini, mulai dari liga, wasit, suporter, federasi, hingga tim nasional.

Terkait wasit, menurut saya, era Liga 1 menjadi periode dengan tingkat akumulasi kinerja wasit terburuk yang pernah saya lihat. Sehingga, fenomena menyalahkan wasit dalam diri banyak suporter lokal juga bisa muncul dari sini.

Dan saat kinerja sang pengadil lapangan semakin buruk, justru orang pertama yang harus memperkaya diri dengan literasi adalah wasit dulu, baru setelah itu suporter. Kita semua berharap wasit bisa jauh lebih paham dan mengerti tentang aturan sepak bola dibandingkan dengan suporter.

Namun, kenyataannya wasit-wasit ini—terutama di liga Indonesia—error-nya gak ketulungan. Saya akan berangkat dengan sebuah contoh kasus biar jelas, yaitu pertandingan antara Persija vs Rans pada tanggal 22 Oktober 2023.

Saat itu, sangat jelas terlihat bahwa tendangan Witan Sulaeman di masa perpanjangan waktu sudah melewati garis gawang, namun wasit tidak menyatakannya sebagai gol.

Ketika situasi seperti ini terjadi, masa iya, kita sebagai suporter nyalahin ibu-ibu kantin stadion, gak nyambung dong. Dan ini hanya satu dari buanyaknya kasus-kasus kesalahan wasit yang saya lihat.

Di dalam tulisan mas Ghufron juga dijelaskan bahwa masih ada beberapa suporter yang belum paham aturan dasar sepak bola seperti offside atau handball. Kalau boleh saya katakan, jangankan suporter, wasit kita aja kadang masih bingung dan banyak yang salah terkait 2 hal tersebut.

Berapa kali kita melihat kasus di mana pemain jelas-jelas offside, tapi wasit malah bilang tidak, atau sebaliknya, pemain jelas-jelas onside tapi malah dianggap offside sama wasit.

Jadi, yang perlu saya tekankan di sini ialah supporter gak akan tiba-tiba nyalahin wasit kalo emang keputusannya bener. Sudah banyak bukti di media sosial terkait keputusan wasit yang memang benar dan sesuai dengan aturan, dan para suporter pun menerima hal tersebut. 

Supporter Menjadi Korban dari Kinerja Buruk Wasit

Menjadi keliru rasanya ketika kita hanya berfokus pada peningkatan literasi suporter tanpa meningkatkan kinerja wasit. Selain memperparah fenomena nyalah-nyalahin wasit, pertandingan yang berakhir dengan ‘tidak adil’ juga malah bisa memperuncing permusuhan di antara suporter.

Permusuhan seperti ini biasanya berawal dari beberapa pihak yang tidak dapat menerima kekalahan karena merasa dicurangi. Sehingga, apabila peningkatan literasi suporter dibarengi dengan peningkatan kualitas wasit, maka pihak yang kalah mungkin bisa lebih legawa menerima kekalahan, tanpa perlu mencari kambing hitam atau pelampiasan.

Jadi, mau setinggi apapun literasi suporter, masalah tidak akan selesai kalau ternyata wasitnya sendiri kurang literasi terkait aturan permainan. Bagi saya, sangat lucu kalau suporter adalah orang pertama yang harus meningkatkan literasi sementara wasitnya sendiri dalam aturan-aturan yang dasar pun masih banyak yang keliru.

Yang Bisa Menjadi Solusi

Forum transparansi wasit bisa menjadi solusi untuk bisa mengurangi misuh-misuh suporter terhadap kinerja wasit. Sejauh ini, upaya peningkatan kualitas wasit masih hanya dalam bentuk sanksi serta pembinaan, dan saya rasa ini masih belum cukup.

Sebab, pihak klub serta para suporter juga perlu mengetahui mengapa seorang wasit bisa mengeluarkan atau membuat keputusan-keputusan tertentu dalam sebuah pertandingan. Sehingga, kehadiran forum transparansi yang dapat diakses seluruh kalangan akan menjadi signifikan.

Selain itu, memasangkan microphone kecil pada wasit juga bisa menjadi solusi yang layak dicoba. Dengan bantuan mic, para penonton bisa lebih memahami apa saja yang melatarbelakangi tiap-tiap pengambilan keputusan yang dilakukan wasit sepanjang pertandingan, serta bagaimana wasit mengkomunikasikan keputusan tersebut dengan para pemain atau staf klub.

Dengan demikian, selain memperoleh kejelasan, para suporter juga akan tercerdaskan dan ketegangan antar suporter dapat diminimalisir, tanpa perlu langsung melemparkan berbagai tuduhan kosong satu sama lain selepas pertandingan.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Refi Gilang Maulana

Freshgraduate dari fakultas yang masuknya ga perlu pinter pinter amat

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel