Mengenang Tabloid Soccer dan Ingatan-ingatan Baik Tentangnya

Mengenang Tabloid Soccer dan Ingatan-ingatan Baik Tentangnya

Mengenang tabloid soccer
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali Ramdhan

Berkat Soccer, saya memahami bahwa sepak bola bukan pertunjukan dangkal semacam opera sabun.

Terima kasih kepada Soccer Mania yang selama ini setia mendampingi kami. Ibarat suporter, Anda menjadi penyemangat kami. Mohon maaf atas semua kesalahan yang pernah kami lakukan. “Peluit panjang” telah dibunyikan.”

Begitulah bunyi halaman belakang Soccer edisi 13/XV, Sabtu, 11 Oktober 2014. Sudah 9 tahun tabloid sepak bola mingguan itu pamit pada penggemar sepak bola tanah air.

Layaknya seorang teman, Soccer merekatkan waktu remaja kami dengan sepak bola. Jika tidak berlebihan, sebagian pengetahuan kami ihwal sepak bola diperoleh dari bertungkus-lumus dengan Soccer.

Saat itu, tabloid Soccer harganya masih lebih murah dibanding sebungkus nasi telur Warmindo. Hanya 5000 rupiah saja. Selain itu, mereka bermurah hati memberi poster pemain maupun tim!

Poster dari Soccer berupa potret pemain seperti misalnya Gianfranco Zola, Francesco Totti, Mario Balotelli, Mesut Ozil, hingga Kingsley Coman. Untuk poster tim, Soccer pernah menyajikan poster timnas Brazil, Belanda, Spanyol maupun klub seperti Ajax dan Bayern.

Bagi penggemar, poster semacam ini bisa ditempel di dinding kamar, sekaligus sebagai penegasan bahwa “aku bukan suporter karbitan!”

Dikutip dari buku Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas, dan Media (2017), pangsa pasar Soccer ialah anak-anak SMP dan SMA. Berbeda dengan Bola yang digandrungi penikmat sepak bola yang lebih berumur.

Tabloid ini istiqomah mewartakan sepak bola dan futsal. Itu saja! Tak seperti kompetitornya yang masih menerbitkan kabar olahraga lain selain sepak bola.

Buat saya, sejak ia pamit sampai saat ini, belum ada yang sanggup menggantikannya. Soccer ini pas untuk disebut “si paling pewarta bola!”

Memantik Imaji, Memperkaya Informasi

Soccer mulai mewarnai kehidupan pencinta bola tanah air sejak 8 Juni 2000, dua hari sebelum perhelatan Euro 2000 di dua negara, Belanda dan Belgia.

Awalnya, tabloid yang diterbitkan Kompas Gramedia ini berbentuk majalah bernama Hai Soccer pada Januari 1998.  Sebelumnya, sudah ada tabloid Bola yang diedarkan sejak 1984. Setelah Soccer resmi diedarkan, tabloid ini menjadi pesaing terdekat Bola yang tutup pada akhir Oktober 2018 lalu.

Sebagai pembaca setia Soccer, sesekali saya pernah melamun bahwa tanpa peran jurnalisme Soccer, barangkali sepak bola hanya bisa dinikmati permukaannya saja.

Artinya, sepak bola yang dihelat di berbagai belahan dunia sana tidak akan sampai pada taraf pewartaan yang detail, sublim, analitik, dan unik. Berkat reportase Soccer inilah pemuja sepak bola kian termanjakan, tertarik untuk terus-menerus menilik sepak bola dari berbagai aspeknya.

Berulang kali ketika saya membaca reportase Soccer ihwal hasil Liga Champions misalnya, saat itu juga saya seolah menjadi fans imajiner yang dibawa terbang sedekat mungkin dengan Eropa.

Berkat Soccer, saya memahami bahwa sepak bola bukan pertunjukan dangkal semacam opera sabun. Sepak bola punya kekuatan magis untuk untuk membangkitkan gairah, mendobrak selera, hingga memunculkan rasa bangga.

Ia menghadirkan pemaknaan yang serupa dengan ucapan Maradona, “sepak bola bukan cuma permainan atau cabang olahraga, sepak bola itu agama.” Ia juga mengingatkan saya pada Pele yang berujar, “saya menyembah bola dan memperlakukannya seperti Tuhan.”

Itu semua muskil terjadi tanpa peran magic journalism media. Istilah ini merujuk sebuah genre sastrawi dalam dunia jurnalisme yang dipopulerkan Ryszard Kapuscinski dalam bukunya, The Soccer War (1992).

Saya menemukan magic journalism itu dalam sebagian besar reportase Soccer. Reportase-reportase yang menubuh tampak pada setiap artikel Soccer. Sepak bola disampaikan dengan cara unik, sesekali menggunakan metafora dan alegori untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi.

Mereka menyajikan elemen-elemen cerita yang biasa ditemukan dalam sejumlah karya fiksi. Mulai dari penokohan dan karakterisasi, penggunaan teknik plot, hingga detail penggambaran suasana terasa begitu intim.

Untuk menghasilkan reportase macam itu tentu saja membutuhkan etos jurnalisme yang kuat. Kendati mengadopsi unsur-unsur dalam sastra, toh semua materi harus berdasarkan fakta. Bukan mengada-ada, apalagi melebih-lebihkannya.

Saya yakin penulis di Soccer tentu menghindari kecenderungan semacam itu. Mereka menulis dengan hati-hati hingga detil peristiwa disorot dengan baik. Hal-hal unik dari sepak bola seperti tangis penonton di tribun, bocah yang memasuki lapangan demi menemui idola, penjaja suvenir, hingga ritual para pemain juga tak luput untuk disorot.

Tendensi mencari sensasi tak saya temui di Soccer. Reportase macam itu hanya akan membuat tulisan terasa alay dan tak menarik.

Di Indonesia, jurnalisme sastrawi dalam sepak bola juga bisa ditemui dalam karya-karya Shindunata. Hal itu bisa kita lihat dalam trilogi sepak bola yang dihasilkannya: “Air Mata Bola”, “Bola Di Balik Bulan”, dan “Bola-bola Nasib”.

Menyelamatkan dari Kekecawaan

Soccer mampu menebalkan iman saya pada sepak bola saat klub pujaan berkali-kali menghadirkan kekecewaan.

Kali ini saya sepakat dengan Pele. Saya nyaris memperlakukan sepak bola seperti Tuhan. Bangun pada dini hari bukan untuk ibadah, melainkan menonton Messi dan kawan-kawannya meliak-liuk dengan bola di lapangan.

Sesekali dalam momen semacam itu, saya dihadapkan pada situasi yang memuakkan atas sepak bola.

Beruntung Soccer mengisi dan menyelamatkan saya dari kekecewaan. Berkatnya, batal pula niat pensiun sebagai penggemar Barcelona yang pada 2014 puasa gelar.

Kala itu, Soccer datang menguatkan bahwa sepak bola itu kompleks, tak cuma soal menang-kalah. Ia datang untuk menghibur.

Benar jika kolumnis sepak bola Walter Lutz, sebagaimana dikutip Sindhunata, pernah berujar, “kendati perang, krisis, bencana, skandal permainan, suap-menyuap perwasitan, pengkhianatan terhadap fair-play, sepak bola tidak pernah lapuk dan mati, malahan senantiasa ada dan terus menghibur dunia.”

Ingatan-ingatan baik tentang Soccer berkaitan dengan ruang imajiner yang mereka sediakan sebagai wahana menyenangkan untuk terus mencintai sepak bola. Rasa-rasanya, kini musykil menemukan tabloid seloyal dan setotal Soccer dalam menyajikan sepak bola.

Kendati mengaku kalah update informasi, Soccer memiliki beberapa keunggulan sebagai media cetak mingguan. Terbit sekali seminggu membuat informasi yang disajikan lebih mendalam.

Berita yang diperoleh sudah kami gali, lebih dalam dengan beragam pengayaan. Ini membuat artikel yang disajikan lebih komprehensif.  Selain itu, sebagai media cetak, kami memiliki keunggulan dalam segi visual. Kami bisa merancang artikel agar menarik dinikmati dan informatif. Begitu pula dengan cover yang digarap spesial. Soccer Mania pasti terhibur dan lebih mudah mencerna informasi yang disajikan”.

Begitulah jawaban Soccer edisi 12/XIV Sabtu, 28 September 2014 saat ditanya soal aktualitas berita.

Sekalipun media-media sepak bola bermunculan dalam format digital, Soccer akan terus hidup di relung pembacanya. Soccer tidak pamit, yang pamit hanyalah bentuk fisiknya. Ingatan pembaca bersamanya akan terus abadi.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Muhammad Ghufron

Pemuja estetika Total Football FC Barcelona. Sesekali suka melamun

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel