Klasemen Liga 1 musim 2023/24 sudah mencapai kata final pada 30 April kemarin. Saya sendiri sebenarnya nggak peduli dengan siapa yang jadi juara sekaligus lolos ke kompetisi AFC Championship karena, ya, sudah ketebak.
Justru yang lebih menarik perhatian banyak penggemar Liga 1, termasuk saya (yang sebenarnya OTW pensiun), adalah persaingan mengamankan tempat di kasta teratas musim depan.
Sejak tahun lalu, persaingan di papan bawah klasemen malah lebih sering dibahas, dan paling santer di musim yang baru selesai ini.
Ada 3 klub yang resmi terdegradasi dari Liga 1 di musim 2023/24. Kalo diurut dari bawah, 2 di antaranya merupakan klub langganan zona degradasi.
Yang pertama adalah Persikabo 1973, yang menamatkan Liga 1 di posisi juru kunci alias 18. Klub ini sebelumnya dikenal sebagai TIRA Persikabo atau PS TNI yang mulanya dibeli dari Persiram Raja Ampat.
Di atas Persikabo 1973 ada tim eks Persikubar yang ujug-ujug cosplay jadi Persebaya, lalu ganti jadi Bonek FC, terus Surabaya United, dan akhirnya jadi Bhayangkara FC.
Nah, klub degradasi selanjutnya adalah RANS Nusantara FC. Saya sendiri lebih suka menyebutnya eks Cilegon United. Pasalnya, apa yang dilakukan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina terhadap nama klub tersebut malah menanggalkan identitas dan kebanggaan masyarakat Cilegon.
Ada yang senang klub siluman—bukan saya yang bilang, lho, ya—macam RANS Nusantara menyusul 2 klub jalur instan di atas mengarungi kasta kedua di musim depan.
Ya, hitung-hitung buat pembelajaran kalau mau sukses di Liga 1 itu harus dengan perjuangan bertahap, bukan dengan cara instan macam jual-beli saham klub dan berganti identitas.
Tapi, apakah semua suporter yang menggandrungi kompetisi Liga 1 memang berharap RANS Nusantara yang layak menemani Persikabo 1973 dan Bhayangkara FC turun kasta?
Arema FC dan “Misi Penyelamatan”-nya
Tidak sedikit yang berharap, termasuk saya sendiri, bahwa yang harusnya melorot ke Liga 2 adalah Arema FC. Kalau nggak percaya, coba cek, entah itu di X (dulunya Twitter) atau di Instagram, tiap klub bermaskot Singa ini nongol pasti banyak yang nyinyirin.
Dan yang nyinyir ini bukan cuma akun-akun suporter Persebaya atau Persib, yang notabene rival Aremania. Bahkan, tidak sedikit orang Malang yang juga ikut berharap Arema FC degradasi.
Ditambah lagi selama hampir 1 musim liga berjalan, Singo Edan nyungsep di zona merah. Sehingga, banyak insan sepak bola Indonesia yang menduga, serta berharap, bahwa klub tersebut yang akan hengkang dari Liga 1.
Kalau kalian pantengin X atau Instagram Extra Time Indonesia alias ETI, Mafia Wasit, Media Suporter, serta jamaah akun Instagram Troll Football Indonesia, mereka semua punya harapan serupa.
Eh, tahu-tahu sejak Pekan 32, Arema FC malah keluar dari zona merah. Kok, bisa? Mereka secara mengejutkan berhasil mengalahkan tim pemuncak klasemen, Borneo FC, saat itu.
Hasil tersebut membuat klub dengan warna khas biru ini meninggalkan 2 kawannya, yaitu Persikabo 1973 dan Bhayangkara FC, di zona degradasi.
Ya, sebenarnya bukan cuma tim berjuluk Pesut Etam itu saja yang menjadi party pooper dan dituding ikut dalam “Misi Penyelamatan” Arema FC. Ada juga PSM dan Persija, yang notabene adalah klub bergengsi, atau Dewa United, yang prestasinya bisa dibilang lumayan, yang malah keok sama Singo Edan.
Selain itu, Arema FC juga menjadi tim yang paling sering dapat hadiah penalti di musim ini, yaitu 14 kali. Yang paling membekas mungkin penalti yang mereka peroleh saat melawan Persebaya di Stadion I Wayan Dipta.
Meski akhirnya gagal berbuah gol, tapi keputusan menghadiahkan mereka penalti tersebut sangat kontroversial.
Makanya, mau dibilang bukan “Misi Penyelamatan”, tapi, kok, banyak yang janggal? Hmmm… mencurigakan.
Mengapa Arema FC Harusnya Degradasi Saja
Lalu, kenapa banyak suporter klub-klub sepak bola Indonesia yang ngotot berharap Arema FC degradasi? Ini semua tak terlepas dari Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 yang beritanya viral sampai ke telinga pejabat FIFA.
Tragedi mengenaskan yang merenggut ratusan nyawa suporter Arema FC ini masih belum menemui kejelasan dan para korban masih belum mendapatkan keadilan sampai saat ini.
Terus, ke mana pihak klub saat para korban dan keluarga korban terlunta-lunta di jalan hukum? Hilang kayak orang ditagih utang.
Lebih parahnya lagi, alih-alih mundur demi “Usut Tuntas”, Arema FC malah masih ngotot ingin ikut berkompetisi di tengah serbuan cancel hampir se-Indonesia. Dasar muka tembok!
Bahkan, pada Januari 2023, Arek Malang yang melakukan demonstrasi karena kecewa dengan sikap klub yang ogah ikut “Usut Tuntas” malah dijebloskan ke penjara.
Penyebabnya? Mereka dinilai melakukan pengerusakan logo yang nggak seberapa penting dan berharganya dibanding nyawa korban tragedi yang dihempaskan gas air mata.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, Aremania nampaknya mulai lupa dengan tragedi Kanjuruhan. Tuntutan “Usut Tuntas” dikudeta oleh tuntutan agar Arema FC lolos dari jerat degradasi.
Stadion I Wayan Dipta—kandang sementara mereka—mulai ramai dengan gemuruh chants dan joget nggak jelas, menggusur isak air mata para korban dan keluarga yang kalah di jalan hukum. Mulai banyak yang gak duwe isin dicaci sana-sini.
Ini yang bikin Arema FC punya julukan baru: klub nirempati, diplesetin jadi Nirempati FC. Nggak suporter, nggak manajemen, bahkan juga beberapa pemainnya, jadi tone deaf.
Seruan “Usut Tuntas” pun akhirnya dipelesetkan jadi “Usung Kulkas” oleh banyak orang saking sebalnya sama entitas beban kompetisi sepak bola Indonesia satu ini. Sebagian Aremania yang gantung syal juga sama muaknya. Saya pun juga ikut marah.
Bukan hanya sikap tidak bertanggung jawab mereka yang mengundang amarah banyak pihak, namun juga perubahan beberapa regulasi yang diakibatkan oleh Nirempati FC ini. Sebut saja, larangan suporter tamu datang ke stadion atau beberapa laga yang diadakan tanpa penonton.
Belum lagi, banyak Aremania yang malah kembali ke setelan pabrik: memelihara rivalitas purba dengan Persebaya.
Baca Juga: Sepak Bola dan Pemujaan Kolosal
Makanya, menurut saya, Arema FC yang maha nirempati ini memang layak untuk didegradasi dari Liga 1 sebagai hukum karma. Bahkan, kalau bisa, Arema FC sekalian degradasi ke Liga 3.
Kalau betulan terjadi, ini mungkin bisa jadi bahan introspeksi diri. Ya, siapa tahu, kalau mereka serius introspeksi masalah lain seperti dualisme Arema yang dari dulu tidak pernah kenal kata selesai akan ikut dituntaskan. Masa kalah sama Persebaya yang sudah selesai sejak lama?
Lalu, kenapa saya ngotot pengen Arema FC didegradasi? Kenapa nggak berharap klub ini sekalian dibubarin aja?
Ya, kalau bubar malah keenakan, dong. Saya ingin Arema FC merasakan sakitnya dimusuhi hampir seluruh Indonesia, berdiri untuk dicaci, bahkan sampai dikucilkan dari pergaulan sepak bola nasional karena nggak serius dalam menyikapi Tragedi Kanjuruhan.
Namun, sayang beribu sayang, Arema FC akan tetap ikut Liga 1 musim depan. Jadi, buat Arema FC: Selamat, kalian sudah berhasil kabur dari hukum karma. Bermainlah sepuas kalian. Anggap saja Tragedi Kanjuruhan itu dongeng karangan haters. Semoga Jerome Polin jadi Aremania.
Gusti Allah mboten sare…